- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Melindungi Surga Terakhir, Investigasi Greenpeace Ungkap Rencana Besar Industri Nikel di Raja Ampat
.jpg)
JAKARTA - Setelah kampanye
#SaveRajaAmpat yang mendapat dukungan publik luas, Greenpeace Indonesia
meluncurkan sebuah laporan yang mengungkap rencana penambangan nikel di Raja
Ampat secara utuh. Laporan ini menguak bagaimana ancaman tambang nikel masih
mengintai kawasan konservasi penting di dunia tersebut, kendati pemerintah
baru-baru ini menyatakan mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP)
aktif di Raja Ampat.
Dalam laporan berjudul “Surga yang Hilang? Bagaimana
Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling
Penting di Dunia”, Greenpeace membeberkan bahwa total ada 16 izin pertambangan
nikel di Raja Ampat, meliputi lima izin aktif dan 11 izin yang sebelumnya
pernah diterbitkan–tetapi sudah dibatalkan atau kedaluwarsa. Sebanyak 12 dari 16 izin yang ditemukan
tersebut berada dalam kawasan Geopark Global UNESCO.
Beberapa poin kunci temuan Greenpeace di antaranya:
Baca Lainnya :
- Bang Icin: Pendaki Ilegal dan Merusak Harus Ditindak Tegas, Blacklist...!0
- Ranger Gede Pangrango Rapatkan Barisan, Amankan Ribuan Pendaki Tertipu BC Nakal0
- JATAM: Tambang Raja Ampat Potret Pola Perampasan Berulang, Bukti Negara Dijarah Oligarki Ekstraktif0
- Mentan Ungkap Kejanggalan Data Beras di Cipinang, Diduga Permainan Mafia Pangan0
- KKP Tangkap 2 Kapal Ikan Asal Malaysia di Selat Malaka0
Dua izin yang sebelumnya dibatalkan atau kedaluwarsa, tapi
diterbitkan kembali pada 2025.
Tiga izin lain yang sebelumnya dibatalkan atau kedaluwarsa
yang aktif kembali setelah perusahaan menggugat ke pengadilan dan menang.
Izin yang sebelumnya diterbitkan untuk pertambangan nikel di
Kepulauan Fam. Izin ini mencakup area tujuan wisata terkenal Piaynemo.
Sejumlah politically exposed persons (PEPs) di balik tambang
nikel aktif di Raja Ampat.
Rantai pasok bijih nikel dari Raja Ampat ke PT IWIP di
Maluku Utara.
Rencana pembangunan smelter di Sorong, yang secara tak
langsung menandakan bahwa ancaman tambang nikel di Raja Ampat belum berlalu.
Pencabutan empat IUP di Raja Ampat tidak serta-merta
menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan yang telah berlangsung.
Preseden tentang pengaktifan kembali IUP yang telah dicabut sudah pernah
terjadi di Raja Ampat. Hal ini menandakan bahwa ancaman kerusakan lingkungan
akibat tambang nikel di Raja Ampat belum sepenuhnya hilang dengan pencabutan
izin.
“Kami khawatir pernyataan pemerintah tentang pencabutan izin
itu hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik. Maka dari itu,
Greenpeace bersama 60 ribu orang yang sudah menandatangani petisi akan terus
memantau supaya Raja Ampat betul-betul dilindungi. Pemerintah harus melindungi
seluruh Raja Ampat dan menghentikan semua rencana penambangan nikel serta
rencana pembangunan smelter di Sorong,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye
Hutan Greenpeace Indonesia. Arie juga menyebut pemerintah semestinya mencabut
pula izin PT Gag Nikel, demi pelindungan Raja Ampat secara menyeluruh.
Acara media briefing dan diskusi peluncuran laporan Surga
yang Hilang juga turut menghadirkan narasumber dari berbagai sektor yakni, Dwi
Januanto Nugroho (Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Kementerian
Kehutanan), Dian Patria (Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V Komisi
Pemberantasan Korupsi), Angela Gilsha (aktor), dan Ahmad Aris (Direktur Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan), yang bergabung secara daring.
Bersama dengan Greenpeace Indonesia, Angela Gilsha ikut
menyaksikan kerusakan akibat tambang nikel yang terjadi di Raja Ampat di awal
bulan Mei ini. Sebagai pecinta wisata bawah laut, Angela dikagetkan dengan
keberadaan tambang nikel di wilayah Global Geopark UNESCO. Angela juga
menceritakan pengalamannya yang dikejar oleh petugas keamanan tambang nikel di
Pulau Kawe saat sedang mengambil gambar.
“Saya sempat kaget, karena saya berpikir… ini ada izinnya,
kan? Kok, kami dikejar-kejar seperti buronan. Kalau ada izinnya, harusnya
enggak apa-apa orang mau melihat sedikit. Masa enggak boleh?” kata Angela yang
mengaku terus dikejar sampai kapalnya berada di luar batas pulau.
Ahmad Aris menegaskan bahwa semua pulau yang dilaporkan
dalam laporan Greenpeace Indonesia bukan hanya masuk kategori pulau kecil,
tetapi pulau sangat kecil (tiny island). Pulau-pulau ini dilindungi oleh
peraturan dari kegiatan yang sifatnya eksploitatif. Menurut Aris, pulau-pulau
kecil bentang alamnya sebagian besar diisi oleh laut, sehingga kegiatan
eksploitatif, seperti tambang nikel, berpotensi mengubah hingga merusak bentang
alam yang ada di pulau tersebut.
Dalam paparannya, Dian Patria juga menyoroti berbagai
tantangan tata kelola pertambangan di Indonesia. Terkait dengan indikasi temuan
kerugian negara yang dirasakan akibat ekspansi tambang nikel, Dian menekankan
tentang besarnya kerugian tak kasat mata dibandingkan kerugian materiil.
“Kalau kita bicara kerugian (akibat nikel), kita dapat
berapa sih sebenarnya? Dibandingkan dengan memulihkan karang, lingkungan yang
rusak, itu mungkin nggak seberapa. Bagi saya, rasanya (kerugian materiil)
mungkin tidak sebanding dengan kalau kita bicara tentang dampak lingkungan,
dampak sosial, dan sebagainya ya,” ucap Dian. Pernyataan ini menegaskan kembali
pentingnya mempertanyakan harga sebenarnya dari industri nikel yang selama ini
digadang-gadang sebagai keran investasi.
Sementara itu, Januanto mengapresiasi aksi Greenpeace
Indonesia yang telah menggugah publik untuk ikut mendesak pemerintah Indonesia
untuk membenahi sektor penegakan hukum lingkungan. “Yang perlu kita benahi
adalah proses terkait pengawasan terutama terkait izin-izin yang dikeluarkan.
Ini adalah momen yang bagus. Ketika kontrol sosial dari kawan-kawan sangat
kuat,” katanya. “Ini adalah langkah-langkah korektif yang dapat kami ambil ke
depannya.”
