- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
.jpg)
HALMAHERA TIMUR - Pembangunan
Terminal Khusus (Tersus) atau Jetty oleh perusahaan tambang nikel PT Sambaki
Tambang Sentosa (STS) di Dusun Memeli, Desa Pekaulang, Maba, Halmahera Timur
(Haltim), Maluku Utara, telah terbukti menabrak aturan pemanfaatan ruang laut.
Hal ini, sebagaimana tertuang dalam balasan surat dari Direktorat Jenderal
Penataan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik
Indonesia, yang diterima oleh Salawaku Institute.
Dalam surat dengan nomor B.250/DJPRL.6/PRL.140/VI/2025 itu,
menyebutkan bahwa berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU 6/2023) yang mengubah ketentuan
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (UU 27/2007) tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Yang pada Angka 12, Pasal 16 ayat (2) menyebutkan bahwa,
“Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir wajib
memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari Pemerintah
Pusat”. Dan pada Angka 13, Pasal 16A menyebutkan bahwa “Setiap Orang yang
memanfaatkan ruang dari Perairan Pesisir yang tidak memiliki kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang laut dikenai sanksi administratif”.
Baca Lainnya :
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS0
- Penertiban Taman Nasional Tesso Nilo Harus Menyasar Pebisnis Besar Dahulu0
- Desakan Agenda Reforma Agraria Kepada Para Pemimpin Dunia dari Bogota0
- BP Taskin Akan Kembangkan 7 Industri untuk Mengentaskan Kemiskinan di Kabupaten Solok0
- Melindungi Surga Terakhir, Investigasi Greenpeace Ungkap Rencana Besar Industri Nikel di Raja Ampat 0
Dalam surat tersebut juga, menyebutkan, kalau PT STS telah
mengajukan permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) kepada
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut, KKP, namun hingga saat ini KKPRL belum
dapat diterbitkan berkaitan dengan adanya kebutuhan kajian teknis lebih lanjut
terkait potensi konflik sosial dan pencemaran lingkungan.
Berkaitan itu, KKP menegaskan, dengan belum terbitnya KKPRL
yang dimohonkan oleh PT STS maka yang perusahaan seharusnya menghentikan
sementara kegiatan operasional Terminal Khusus sampai KKPRL diterbitkan oleh
Lembaga OSS.
Menanggapi itu, M. Said Marsaoly, Ketua Salawaku Institute
mengatakan, surat resmi dari KKP ini sebagaimana memperjelas bahwa Jetty yang
dibangun PT STS di Memeli adalah pelanggaran hukum yang nyata. Dan lebih
daripada itu, ini tidak sekedar perihal izin administratif melainkan soal masa
depan pesisir, laut, dan masyarakat adat yang hidup dari ruang itu.
“Perusahaan sangat tidak menghargai aturan dan hukum yang
berlaku, dan ini juga harus dipandang sebagai pelanggaran serius. Karena itu,
kami mendesak pemerintah bertindak tegas. Tidak boleh ada kompromi terhadap
pelanggaran ruang hidup,” ujar M. Said Marsaoly yang juga warga Halmahera
Timur.
Senada dengan itu, Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara mengatakan, bahwa Pemerintah harus
mencabut izin usaha pertambangan PT STS. Selain itu juga, aparat penegak hukum,
KKP, Dinas Lingkungan Hidup dan Pemda Haltim agar tidak bungkam.
“Mereka tidak harus menjadi alat pembenaran dari kejahatan
korporasi. Penegakan hukum harus ditegakkan kepada perusahaan, bukan hanya
kepada rakyat yang mempertahankan hak-haknya,” ujar Julfikar Sangaji.
Salawaku Institute dan JATAM Maluku Utara, kemudian mendesak
kepada Polres Halmahera Timur dan Polda Maluku Utara untuk segera melakukan
penyidikan terhadap dugaan tindak pidana lingkungan, pelanggaran tata ruang.
Dan meminta kepada KKP melalui Ditjen PRL untuk menerbitkan Surat Resmi
Penolakan atau Pembatalan atas permohonan KKPRL yang diajukan PT STS. Oleh
sebabnya Jetty tersebut sudah dibangun tanpa dokumen KKPRL yang sah.
Kami, juga meminta Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Halmahera Timur mengeluarkan Surat Resmi Penghentian Aktivitas (SPP) di lokasi
Jetty Memeli, serta memproses sanksi administratif hingga pencabutan izin
kegiatan berdasarkan UU Lingkungan Hidup. Pun meminta Bupati Halmahera Timur
bertindak tegas dengan menerapkan Perda RTRW, sebab pembangunan Jetty Memeli
adalah pelanggaran tata ruang.
Untuk diketahui, Salawaku Institute tertanggal 02 Juni 2025
melayangkan surat ke Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut, Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan nomor 015/SI/V/2025 perihal Permohonan Keterangan
Resmi Terkait Legalitas Terminal Khusus.
