- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Penertiban Taman Nasional Tesso Nilo Harus Menyasar Pebisnis Besar Dahulu
.jpg)
SENIN —Upaya penertiban kawasan hutan
oleh Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam kawasan Taman
Nasional Tesso Nilo (TNTN) dilakukan secara sembrono dan tidak didasarkan pada
perencanaan pemulihan. Kunjungan Satgas PKH pada 10 Juni 2025 menyampaikan
perintah kepada seluruh masyarakat untuk relokasi secara mandiri dari kawasan
TNTN.
Proses relokasi ini dikabarkan paling lambat dilakukan pada
22 Agustus 2025. Proses ini dikhawatirkan menimbulkan letusan konflik besar,
apabila Satgas PKH atas nama negara melakukan tindakan penertiban dengan
pendekatan militeristik dan represif.
Selanjutnya, WALHI Riau melihat pola penyitaan aset kebun
kelapa sawit di kawasan hutan dalam kasus Surya Darmadi dan PT Duta Palma tidak
boleh terulang. Proses penyitaan hingga pengalihan aset kepada PT Agrinas Palma
Nusantara, tidak menunjukkan upaya serius negara untuk memulihkan hak
masyarakat adat dan lokal serta pemulihan lingkungan. Negara membiarkan
perusahaan yang dibentuknya untuk melanggengkan konflik dan aktivitas ilegal di
kawasan hutan.
Baca Lainnya :
- Desakan Agenda Reforma Agraria Kepada Para Pemimpin Dunia dari Bogota0
- BP Taskin Akan Kembangkan 7 Industri untuk Mengentaskan Kemiskinan di Kabupaten Solok0
- Melindungi Surga Terakhir, Investigasi Greenpeace Ungkap Rencana Besar Industri Nikel di Raja Ampat 0
- Bang Icin: Pendaki Ilegal dan Merusak Harus Ditindak Tegas, Blacklist...!0
- Ranger Gede Pangrango Rapatkan Barisan, Amankan Ribuan Pendaki Tertipu BC Nakal0
Mengingat Ulang Riwayat Penetapan Taman Nasional
Tesso Nilo
Kawasan yang kini menjadi TNTN awalnya merupakan kawasan
hutan produksi terbatas yang masuk dalam areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) PT Inhutani IV. Ketika itu tutupan hutan alamnya dalam kondisi baik, yang
mana diketahui ada sekitar 360 jenis flora tergolong dalam 165 marga dan 57
suku untuk setiap hektarnya. TNTN juga dikenal sebagai habitat bagi beraneka
ragam jenis satwa liar langka, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus),
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis Primata, 114 jenis
burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang.
Secara kebijakan, awalnya areal yang disiapkan menjadi
Kawasan konservasi TNTN berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor:
SK.255/Menhut II/2004 tanggal 19 Juli 2004 dan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 adalah seluas ±83.068 ha.
Selanjutnya, luas ini diperbaharui secara definitif menjadi
±81.793 ha melalui Keputusan Menhut Nomor: Sk.6588/Menhut-VII/KUH/2014 tentang
Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo. Olah citra satelit WALHI
Riau menunjukkan kondisi areal tersebut pada 1997 dan 2004 mempunyai kerapatan
hutan ±78.274 ha.
Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, di mana tutupan
hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 ha atau 15,36% hutan alam
dari total luas arealnya. Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, di mana
tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 ha atau 15,36% hutan
alam dari total luas arealnya.
Aktivitas Masyarakat di Taman Nasional Tesso Nilo
Secara administrasi TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan
Indragiri Hulu. Berdasarkan data Eyes on The Forest (EoF) dalam laporan Kondisi
Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo tahun
2010, penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh masyarakat sejatinya telah
berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi areal ini menjadi kawasan
konservasi.
Aktivitas masyarakat dipicu oleh tiadanya aktivitas PT
Inhutani IV yang izinnya kemudian dicabut pada 2002. Aktivitas yang dilakukan
masyarakat adalah berupa persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet.
Namun hasil dari usaha perkebunan kerap gagal karena gangguan gajah sehingga
masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar.
Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005.
Hal inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif
baik dari perorangan hingga cukong dalam kawasan TNTN. Berdasarkan laporan EoF
yang sama, Kawasan Hutan Tesso Nilo merupakan wilayah kelola bagi 19 kelompok
hak ulayat. Perlu diketahui, pada saat penetapan kawasan konservasi TNTN, telah
ada enam desa terbangun di lokasi tersebut.
Keenam desa itu yakni: Desa Air Hitam, Desa Lubuk Batu
Tinggal, Desa Simpang Kota Medan, Desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Kesuma, dan
Desa Segati. Barulah pada 2007, terjadi pemekaran satu desa bernama Desa Bagan
Limau. Perambahan pasca penetapan TNTN berlanjut pada areal kerja dua izin HPH
yaitu PT Siak Raya Timber (SRT) dan PT Hutani Sola Lestari yang tidak aktif dan
kemudian dicabut.
Selain itu, pasca 2004 juga tercatat ada satu aktivitas
perusahaan perkebunan kelapa sawit (PT Inti Indosawit Subur) dan lima
perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di area zona buffer atau
sekitar TNTN yang kemungkinan besar turut berkontribusi pada terjadinya
perambahan di kawasan TNTN, seperti yang
dilakukan PT RAPP.
Berdasarkan data Eyes on The Forest (EoF) dalam
laporan Kondisi Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman
Nasional Tesso Nilo tahun 2010, penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh
masyarakat sejatinya telah berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi
areal ini menjadi kawasan konservasi. Aktivitas yang dilakukan berupa persiapan
lahan perkebunan kelapa sawit dan karet hingga akhirnya siap untuk ditanam.
Namun hasil dari usaha perkebunan ini dinilai tidak sesuai
harapan sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar.
Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005. Hal ini yang
kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari
perorangan, cukong, hingga korporasi.
Tabel daftar perusahaan di zona buffer TNTN
No |
Nama Perizinan |
No SK |
Luas |
1. |
PT Riau Andalan Pulp
& Paper |
SK.291/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2020 |
338.536 Ha |
2. |
PT Arara Abadi |
SK.406/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2021 |
296.262 Ha |
3. |
CV Putri Lindung
Bulan |
SK.522.21/IUPHHK-HTI/I/2003/005 |
2.500 Ha |
4. |
PT Rimba Lazuardi |
SK.79/Menhut-II/2007 |
23.340 Ha |
5. |
PT Rimba Peranap
Indah |
SK.598/Kpts-II/1996 |
11.620 Ha |
6. |
PT Inti Indosawit
Subur (HGU) |
156/HGU/BPN/2004 TGL
11/11/2004 |
1.405 Ha |
Selain soal terbuka akses TNTN karena adanya perizinan
kehutanan di buffer, hal lain yang membuat laju alih fungsi
hutan alam menjadi kelapa sawit diakibatkan dua hal. Pertama, peran penegak
hukum yang tidak tegas menindak praktik ilegal ini. Bahkan masifnya alih fungsi
dengan pendirian pemukiman malah diakui secara administratif oleh negara.
Kedua, rencana pemulihan TNTN dengan program revitalisasi
Tesso Nilo dirusak oleh ketentuan UU Cipta Kerja. Ketentuan Pasal 110A dan 110B
UU Cipta Kerja telah menghapus pertanggungjawaban pidana aktivitas perkebunan
di kawasan hutan yang sudah dimulai sebelum November 2020. Hal ini memperparah
penguasaan kawasan hutan untuk kebun sawit dan memberikan kebebasan pada para
pelaku kejahatan kehutanan dalam melanjutkan aktivitas ilegalnya.
Penertiban untuk Pemulihan TNTN dan Perlindungan
Hak Masyarakat
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah
Kelola Rakyat WALHI Riau menyebut penertiban dalam kawasan TNTN harus dilakukan
dengan dua semangat penting: menghormati HAM dan berorientasi pada pemulihan
lingkungan hidup.
Andri Alatas, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru menyebut
penertiban dalam kawasan TNTN harus dilakukan dengan dua semangat penting:
menghormati HAM dan berorientasi pada pemulihan lingkungan hidup. Karena itu,
menurut dia penertiban di kawasan TNTN harus dilakukan selaras dengan upaya
penyelesaian konflik dan pemulihan hak masyarakat. Selanjutnya, proses ini
harus dengan tegas memperhatikan beberapa kluster kelompok berdasarkan luas
penguasaan. Beberapa kelompok yang harus di kluster, yaitu:
- Masyarakat
yang menguasai kurang dari 5 hektar dan telah melakukan aktivitas lebih
dari 5 tahun secara terus menerus (memperhatikan Peraturan Pemerintah 24
Tahun 2021); (memperhatikan ketentuan Pasal 110B ayat (2) UU 18/2013
sebagaimana diubah oleh UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja)
- Masyarakat
atau perusahaan yang menguasai lebih dari 25 hektar (memperhatikan
Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan);
dan
- Masyarakat
yang menguasai lahan antara 5-25 hektar (butuh identifikasi lebih lanjut
apakah dapat dimasukkan ke kelompok pertama atau kedua).
"Ada masyarakat yang dibiarkan negara untuk menetap,
beraktivitas ekonomi, dan melakukan aktivitas sosial lainnya di lokasi tersebut
selama belasan tahun. Adanya desa definitif dan sarana prasarana menunjukkan
besarnya peran negara membiarkan atau bahkan mengakselerasi penguasaan dan
aktivitas ilegal di sana. Kesalahan dengan melakukan aktivitas pembiaran ini
tidak boleh diulang dengan tindakan represif dan militeristik," ucap
Andri.
Andri juga menegaskan, penegakan hukum kepada pemodal yang
mempunyai areal perkebunan besar harus diutamakan. Hukum harus dikerjakan
secara selektif dan tidak dengan mudahnya menyasar mereka yang lemah.
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah
Kelola Rakyat WALHI Riau, mengatakan pemulihan kawasan TNTN harus ditinjau dari
dua aspek, lingkungan hidup dan sosial.
"Kita sepakat bahwa upaya penertiban ini mendukung
upaya pemulihan kawasan TNTN. Namun aspek sosial juga harus dipertimbangkan.
Hal ini dapat dimulai dengan mengidentifikasi subjek dan objek pengelolaan.
Upaya pemulihan TNTN juga sebaiknya dilakukan dengan melibatkan masyarakat
korban atau masyarakat terdampak. Pemberian waktu jangka benah yang patut dapat
secara pararel dilakukan secara perlahan dengan proses pergantian tanaman
kelapa sawit dengan tanaman hutan. Tidak menutup kemungkinan, pendekatan kemitraan
konservasi dibuka untuk memberi ruang keberlanjutan hidup kepada masyarakat,
bukan kepada tuan tanah atau pebisnis besar,” tambah Eko.
Menurut Eko, generalisasi tenggat waktu tiga bulan yang
diberikan Satgas PKH untuk relokasi kepada semua pihak hanya akan memicu
konflik besar. Relokasi ini bukan sekedar persoalan pindah rumah, jauh dari itu
masyarakat harus memastikan pekerjaan pengganti untuk memenuhi kebutuhan hidup
hingga kelanjutan pendidikan anak mereka yang berpotensi putus sekolah.
Guna menyelamatkan hutan alam tersisa di TNTN, pemerintah di
berbagai level harus memastikan komitmen pengawasannya. Selain itu, pemerintah
perlu mendorong masyarakat terlibat aktif dalam upaya perlindungan yang selaras
dengan aspek ekonomi berpotensi meningkatkan partisipasi untuk melindungi hutan
alam tersisa, termasuk pemulihannya.
"Selain itu, preseden buruk, perampasan aset yang
bermuara pada pengalihan pengelolaan PT Agrinas Palma Nusantara tidak boleh
diulang. Negara harus tegas dalam komitmen pemulihan TNTN. Meminimalkan
penggunaan tindakan represif dan penegakan hukum secara selektif harus jadi
suatu yang integral guna menyelesaikan persoalan ini," tutup Eko.
(rel)
