- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
.jpg)
JAKARTA – Krisis sampah plastik di
Indonesia masih menjadi persoalan lingkungan yang belum terselesaikan.
Penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang menyebabkan kelebihan
kapasitas, pencemaran sungai dan laut, hingga temuan mikroplastik dalam air, udara,
dan produk konsumsi seperti air minum dalam kemasan (AMDK), menjadi bukti nyata
bahwa persoalan ini telah melampaui isu kebersihan lingkungan dan memasuki
ranah kesehatan publik.
Data dari World Bank (2021) Indonesia
memproduksi sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahunnya, dan sekitar
4,9 juta ton sampah plastik tidak tertangani dengan baik, misalnya tidak
dikumpulkan, dibuang ke tempat pembuangan terbuka, atau bocor dari tempat
pembuangan akhir yang tidak dikelola dengan semestinya.
Ketidakseriusan untuk mengolah sampah plastik ini juga
menyebabkan sekitar 83% dari sampah plastik yang mencemari lautan ke laut
berasal dari aliran sungai, sementara sisanya, sebesar 17%, langsung dibuang
atau hanyut dari wilayah pesisir.
Baca Lainnya :
- Untuk Kelestarian Alam, Belantara Foundation Bersama Mitra Tak Lelah Mananam Pohon 0
- Satu Langkah, Satu Kayuhan: Hentikan Polusi Plastik, Kembalikan Langit Biru0
- Sidak Aktivitas Penambangan Ilegal di Pulau Citlim, KKP Temukan Kerusakan Ekosistem0
- Peusangan Elephant Conservation Initiative, Komitmen Prabowo Lestarikan Gajah di Aceh0
- Tim KKN PPM UGM Hitung Jejak Karbon Selama Pengabdian di Banggai Kepulauan0
Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
menerbitkan Peraturan Menteri tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh
Produsen. Regulasi ini menjadi langkah awal penting untuk mendorong tanggung
jawab produsen dalam mengurangi dampak lingkungan dari produk dan kemasan yang
mereka hasilkan, sesuai dengan semangat Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah.
Namun, enam tahun setelah diterbitkan, implementasi
peraturan pengurangan sampah masih menghadapi tantangan serius, minim penegakan
hukum, dan belum ada target ambisius untuk sistem guna ulang. Komitmen produsen
untuk mengurangi kemasan sekali pakai seperti saset multilayer belum menjadi
prioritas, sementara berbagai program yang diklaim sebagai solusi, seperti daur
ulang kimia belum terbukti berjalan.
Greenpeace Indonesia holds a
Beach Clean Up and Brand Audit activity at Loang Baloq beach in Mataram, Lombok
Island, West Nusa Tenggara on Saturday, 29 October 2022. The activity is
followed by dozens of volunteers from High School and University students in
Mataram, to push the companies and brands doing Extended Producer
Responsibility (EPR) on their past consumption waste management.
Sebagai respon atas kondisi ini, Greenpeace Indonesia
menyelenggarakan Multi Stakeholder Forum: Implementasi Peta Jalan Pengurangan
Sampah. Forum ini dihadirkan sebagai ruang diskusi terbuka antara pemerintah,
produsen, dan masyarakat sipil untuk meninjau kembali capaian implementasi peta
jalan, mengidentifikasi tantangan, dan mendorong langkah konkret pengurangan
sampah plastik di masa depan.
Forum ini juga menjadi momen penting untuk menyoroti potensi
sistem guna ulang sebagai alternatif nyata terhadap model ekonomi berbasis
plastik sekali pakai yang selama ini mendominasi.
“Kita tidak bisa terus menambal krisis plastik dengan solusi
tambal-sulam di hilir. Akar masalahnya ada di hulu, di produksi plastik sekali
pakai yang terus digenjot tanpa kendali. Saatnya industri mengambil tanggung
jawab penuh, dan mendukung sistem guna ulang sebagai solusi nyata yang adil dan
berkelanjutan,” tegas Ibar Akbar, Juru Kampanye Bebas Plastik Greenpeace
Indonesia.
Greenpeace Indonesia menekankan bahwa penguatan skema Extended
Producer Responsibility (EPR) merupakan langkah krusial untuk
memastikan produsen tidak lagi lepas tangan atas sampah dari produk mereka,
dengan mengambil tanggung jawab penuh sejak dari desain, distribusi, hingga
pengelolaan pasca konsumsi secara transparan dan berkelanjutan.
“Extended Producer Responsibility bukan
sekadar formalitas birokrasi, ini soal siapa yang bertanggung jawab atas krisis
plastik yang kita hadapi hari ini. Tanpa transparansi dan sanksi nyata, peta
jalan pengurangan sampah hanya akan menjadi janji kosong di atas kertas.” tegas
Ibar.
Di tengah tantangan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,
Greenpeace menyoroti pentingnya solusi guna ulang untuk sachet dan pouch sekali
pakai sebagai langkah strategis atasi krisis sampah plastik. Jika didukung
standar, infrastruktur, dan kebijakan yang tepat, sistem guna ulang berpotensi
menyumbang nilai ekonomi bersih hingga Rp 1,5 triliun pada 2030 (AZWI; 2024). Di
sisi lain, sistem ekonomi guna ulang dapat menciptakan sebanyak 4,4 juta
lapangan kerja bersih secara kumulatif di seluruh sektor ekonomi selama periode
2021–2030, di mana 75% di antaranya berpotensi diisi oleh perempuan (Riset: Bappenas, UNDP, Kedubes
Denmark).
Hundreds of people join A
Plastic Free 2023 march in Jakarta. Greenpeace Indonesia joins with dozens NGOs
and communities hold the fifth Plastic Free campaigns to stop single usage
plastic.
“Kita punya kesempatan emas untuk mengubah arah, dari
ekonomi plastik menuju ekonomi guna ulang. Inisiatif sudah ada, tinggal kemauan
politik dan keberanian industri yang perlu ditingkatkan,” lanjutnya.
Greenpeace percaya bahwa krisis sampah plastik tidak bisa
diselesaikan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi nyata antara
pemerintah, industri, dan masyarakat sipil untuk menghadirkan kebijakan dan
solusi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Forum ini diharapkan menjadi titik
balik dalam memperkuat komitmen semua pihak, serta memperluas dukungan terhadap
sistem guna ulang sebagai bagian dari transisi menuju masa depan yang lebih
bersih dan sehat bagi semua.
