- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Esai Budaya
.jpg)
Sebuah Mural gigantik tentang Sagu Papua,
di salah satu tembok di Taman Ismail Marzuki, Jakarta berukuran sekitar 7,5 mx
2,5 meter, karya komunitas Jakarta Art Movement dan sejumlah individu dan
kelompok seniman Street Art
Bambang Asrini
Widjanarko
Baca Lainnya :
- Kegetiran dan Semangat Hidup Katri, Korban Salah Tangkap Tragedi 19650
- Iklan: Waktu dan Bola 0
- SBY Menggebrak dengan Lukisan Keprihatinan Anti Perang0
- Birding Bersama Ellena, Penulis Buku GET TO KNOW THEM: Introduction to Singapore Common Birds Folk0
- Tahlil & Doa 7 Hari Wafatnya Hj Euis Nurlaila Binti KH Idam Damiri 0
Penulis,
pelukis dan kurator seni
“AGAR perut rakyat terisi, Kedaulatan Rakyat
perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam
miskin. Melainkan rakyat tidak berdaya” – Bung Hatta, dalam untaian esai-esai
di buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, 1971.
Mungkin saja Hatta salah, dengan api semangat di tahun
50-70an, ia lantang berpidato ada yang tidak beres dengan jalannya roda
pembangunan. Jika mengutip data BPS saat ini ‘konon perut rakyat selalu
terisi’. Sebab limpahan beras di Indonesia pada semester I tahun 2025, yang
diserap terutama oleh Bulog, surplus dibandingkan dengan konsumsi.
Yang berarti semenjak Januari hingga Juni 2025 mencapai
18,76 juta ton. Sedangkan konsumsi diperkirakan 15,43 juta ton, menghasilkan
surplus sekitar 3,33 juta ton. Rakyat untuk sementara ‘hampir tidak selalu
lapar’, dengan ketersediaan beras yang cukup itu.
Namun, Hatta bisa jadi benar. Tatkala Juni ini, Bank Dunia
atau World Bank telah menaikkan garis kemiskinan global. Menimbang akurasi
adopsi ukuran purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli
terbaru,--yang harusnya Indonesia masuk di negara menengah menjelang ‘negara
dikatakan maju’. Tetiba anjlok selama satu dasawarsa ini, tak pelak
implikasinya tingkat kemiskinan terkoreksi, Indonesia dikategorikan ‘negara
melarat’; dan World Bank menafsir 192 juta populasi rakyat Indonesia tentu saja
‘diambang kelaparan’ terutama di sebagian wilayah Indonesia Timur.
Meski pemerintah, seperti biasa tak segera tergopoh-gopoh
merespon ‘penyesuaian standar garis kemiskinan Bank Dunia itu’, yang selayaknya
BPS mengubah metode penghitungan garis kemiskinan saat ini. Hal itu, memang
realitas bahwa perlunya penggunaan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of
Basic Needs (CBN). Terutama fenomena kelas menengah telah melorot menjadi
‘kelas menengah yang melarat’.
Tak mengulik standar milik BPS, Pemerintah lebih
mengedepankan, misalnya membangun 30 ribu koperasi di desa-desa menjawab upaya
‘mengentas kemiskinan’. Dengan kepastian kebijakan itu diharapkan menyesuaikan
standar OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development),
organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi. Sebuah forum global untuk
penyebaran info, ilmu-pengetahuan dan hub untuk data-data, analisa dan praktik
tersahih dalam kebijakan publik dunia, yang Indonesia dalam proses mengakses
keanggotaan.
Kunci utamanya, rakyat harus berdaya sebagai Hatta sebut di awal
tulisan. Kita semua tahu, Proklamator itu tenar dengan terobosan jenialnya yang
disebut Hattanomics. Yakni, memprioritaskan tiga pilar konsep pemberdayaan
ekonomi rakyat: Penguasaan Aset Negara, Kontrol pada Perusahaan Privat dan
Kemandirian Ekonomi pada Pembentukan Koperasi yang semuanya berhulu pada UUD
1945.
Pasal 33 ayat (1), menjadi tonggak kuat fundamen legalitas
pun falsafi Koperasi, yang mentransmisi pesan ‘Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan’; dari seluruh aktifitas dan
implementasi bentukan koperasi.
Hatta dengan semangat skeptisnya pada watak dan karakter
orang Indonesia, terutama birokrat dan pejabatnya mewanti-wanti. “Bahwa
koperasi menguatkan kemandirian ekonomi rakyat, jangan memecahkannya dengan
politik kotor para pengurus pusatnya, sebab azasnya demokrasi, kekeluargaan dan
kebersamaan’, ujar Hatta tegas.
Kemandirian
Pangan ala Pemberdayaan via Seni
Realita terjadinya ketakberdayaan rakyat, yang secara
refleks direspon dengan membumikan konsep tinggi Asta Cita misalnya, lewat
salah satunya adalah prioritas Kemandirian Pangan bisakah terkait dengan seni?
Yang tentu saja adalah pertanyaannnya kemudian, seberapa efektifkah dan
bagaimana konsep dan strateginya?
Sebagai kurator seni, pelukis dan penulis tentu saja
jawabnya adalah sangat bisa. Tentu saja pedoman utamanya Hatta, yang pernah
menjalani hidup di Eropa dan meneliti di kawasan negara-negara maju di
Skandinavia semenjak tahun 40-an awal, Koperasi yang dianggap modern adalah
berkarakter: demokrasi, kekeluargaan dan kebersamaan, yang tak bisa
ditawar-tawar!
Jika dijabarkan konsep Hatta itu, sebagai berikut. Satu,
seni itu pada dasarnya adalah ungkapan energi yang sangat personal serta demokratis
dan tumbuh di wilayah-wilayah sangat khusus meski teknologi informasi
mengglobal, namun endapan memori kolektif tiap daerah di Indonesia memiliki
warisan kultural yang kaya dan sangat membeda.
Dalam artian, bahwa secara personal dan kolektif, seni itu
membuat orang-orang daerah memberdayakan keinginan-keinginan personal dan
kolektifnya yang sangat khas, yang menjadi miliknya. Yang kedua, adalah kekeluargaan,
bahwa endapan seni yang mengerak adalah keistimewaan ekspresi kultural yang
sangat istimewa dengan ciri memiliki semangat kekeluargaan.
Artinya seni bisa menjadi perekat atas nasib bersama, sebab
dengan klasifikasi, sifat dan curahan ekspresi yang memiliki
kemiripan-kemiripan komunal antar para pelaku seni di daerah-daerah. Dengan
demikian mereka menjadi kekuatan dan potensi kuat untuk bersama, bergerak dan
mengikat satu dan lainnya dalam ekspresi kultural, berupa karya-karya seni.
Yang terakhir adalah kebersamaan. Jika kita menimbang
kebersamaan, maka ingatan kita ada pada klasifikasi dan struktur ideologi
sosialis. Yakni kebutuhan untuk hidup secara ekonomi, nilai-nilai lokalitas
serta isu-isu sosial bisa dibagi dan pencarian solusi bersama secara rata dan
adil. Hatta membuktikan betapa efektifnya nilai kebersamaan menguatkan struktur
masyarakat sosialis dengan ketimpangan kaya-miskin yang sangat minim. Berbagai
fasilitas publik yang terakses dan saling terkait untuk menopang jika terjadi
kegoncangan dan cacat sosial yang terjadi dalam komunitas-komunitas yang
spesifik.
Masyarakat gotong-royong adalah mungkin utopia, namun itu
adalah darah dan pastinya DNA masing-masing kultur-kultur etnisitas di seluruh
pelosok Tanah Air.Tiga hal fundamen dasar itu, manifestasinya adalah ekspresi
kultural yang bisa disempitkan dalam karya-karya seni tradisi pun yang paling
terkini, yakni yang mampu menangkap segala fenomena dan isu-isu sosial dengan
pendekatan-pendekatan karakter dasar kolektif manusia Nusantara.
Dalam pemahaman penulis, makna Kemandirian Pangan, secara
sederhana bisa dimanifestasikan dalam tiga pilar utama, yakni ikatan antara:
Produsen-Distributor-Konsumen! Maka yang terjadi adalah keterikatan yang saling
sambung-menyambung antar tiga pilar itu, tak terpisah yang jika salah satunya
kedodoran, makan berdampak pada yang lain.
Maka, bagaimana peran seni yang memberi kontribusi pada
‘pemberdayaan’ pada tiga pilar utama itu? Perlu dikasifikasikan peran dan
sektor apa saja yang bisa secara meresap dan menguatkan akar-akar jalinan dan
irisan-irisan antar tiga pilar utama dan dengan masing-masing ‘habitatnya’.
Misalnya, kultur mendasar karakter-karakter petani dan
nelayan pun peternak, kecukupan dan kenyamanan menumbuhkan produksi Sembilan
Bahan Pokok. Kemudian jaringan dan model-model kultural akses-akses transmisi
rantai pemasok dan distribusi para pembawa produknya dengan teknologi terkini,
sampai perilaku konsumsi dan daya beli masyarakatnya di tiap daerah di Tanah
air.
Seni akan memerankan perlunya imajinasi, dalam hal ini
kreatifitas untuk menoleh kembali pada kebijaksanaan tradisi, tanpa mengabaikan
teknologi pun menyemai intuisi-intuisi purba setiap manusia secara kolektif
untuk bersama membangun konsep lama sebagai arti: Gotong-Royong.
Yang pada akhirnya mengakselerasi, mengetuk kantung-kantung
terdalam kumpulan para peternak, nelayan atau petani untuk menjaga kebersamaan,
saat sama dengan semangat kekeluargaan ditularkan pada keberimbangan dan
kesetaraan dalam distribusi ekonomi yang hakikatnya adalah bangga menjadi
bagian merayakan keberbedaan poduk-produk daerahnya sendiri. Demokrasi bukan
lagi jargon namun dibawa turun ke bumi hari ini. Tak mudah, namun sekali lagi,
bukan utopia.
Karya
Bambang Asrini, Wanted: New Gold, drawing mixed media, on Paper, 60x40cm,2025
Karya Bambang Asrini, ‘Truth: Monumen Nasional’, Drawing mixed media on paper, 60x40cm, 2025
