- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
.jpg)
BOGOR - Belantara Foundation bekerja
sama dengan PT. Agincourt Resources, Program Studi (Prodi) Manajemen Lingkungan
Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan dan LPPM Universitas Pakuan
menyelenggarakan kegiatan Belantara Learning Series Episode 13 (BLS Eps.13) dengan
tema “Peluang Koeksistensi Dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli” pada
Kamis, 4 September 2025.
BLS Eps. 13 secara luring dipusatkan di Auditorium Lantai 3
Gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan di Bogor, sedangkan daring
melalui aplikasi Zoom dan live streaming Youtube Belantara Foundation. Lebih
dari 780 peserta berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang digelar secara hybrid
tersebut.
Kegiatan ini juga didukung oleh Forum Konservasi Orangutan
Indonesia (FORINA) dan Pusat Riset Primata Universitas Nasional serta
menggandeng enam universitas sebagai kolaborator yang mengadakan acara “Nonton
dan Belajar Bareng” BLS Eps.13 bagi mahasiswa dan dosen di masing-masing
universitas. Enam universitas tersebut yaitu Universitas Pakuan, Universitas
Riau, Universitas Andalas, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Nusa Bangsa
dan Universitas Tanjungpura.
Baca Lainnya :
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang0
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan0
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat0
- Gatal Kepala dan Sebal0
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta 0
Pada tahun 2023, International Union for the Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) telah mempublikasikan dokumen panduan
tentang konflik dan koeksistensi manusia-satwa liar. Tujuan utamanya adalah
untuk menjelaskan berbagai langkah komprehensif dan efektif yang harus
dipertimbangkan sebelum penerapan penanganan konflik dan koeksistensi
manusia-satwa liar. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan masukan mengenai
langkah apa saja yang dapat digunakan dalam pengelolaan konflik dan
koeksistensi manusia-satwa liar.
Indonesia merupakan salah satu negara “Biodiversity Country”
yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi sehingga menjadi rumah bagi berbagai
jenis satwa liar unik dan kharismatik, salah satunya adalah orangutan tapanuli
(Pongo tapanuliensis). Direktur Konservasi dan Genetik, Ditjen KSDAE
Kementerian Kehutanan RI, Nunu Anugrah, saat memberikan keynote speech
menjelaskan bahwa tantangan pelestarian orangutan termasuk orangutan tapanuli
(Pongo tapanuliensis) cukup kompleks dan melibatkan berbagai faktor, baik yang
disebabkan oleh aktivitas manusia maupun perubahan alam.
Beberapa tantangan utamanya adalah fragmentasi dan
menyempitnya habitat, perburuan dan perdagangan ilegal, isolasi populasi dan
risiko genetik penyakit, kesadaran dan pendidikan, serta konflik dengan
manusia. Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia telah melindungi
orangutan tapanuli secara hukum melalui Peraturan Menteri LHK No.
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, dan berbagai inisiatif telah dilaksanakan
untuk mendorong koeksistensi antara manusia dan orangutan tapanuli.
“Inisiatif yang dilakukan seperti restorasi habitat,
perlindungan serta pengamanan populasi dan habitat orangutan, rehabilitasi
orangutan karena jumlah populasinya yang rendah, perlindungan intensif pada
kantong-kantong habitat orangutan, pengawasan dan penegakan hukum, serta penyadartahuan
dan edukasi publik,” papar Nunu.
Di kesempatan yang sama, Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset
Zoologi Terapan BRIN, Wanda Kuswanda, pada keynote speechnya mengungkapkan
bahwa orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) adalah spesies kera besar yang
telah dipisahkan dari orangutan sumatera (Pongo abelii) pada akhir tahun 2017
lalu.
Menurut Daftar Merah IUCN, orangutan tapanuli berstatus
kritis (Critically Endangered) atau sangat terancam punah karena habitatnya
terbatas hanya di Hutan Batangtoru, Tapanuli Selatan di Sumatera Utara.
Berdasarkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan
Pemerintah Indonesia 2019-2029, populasi orangutan tapanuli diperkirakan
berjumlah 577-760 individu saja.
Orangutan tapanuli hanya dapat dijumpai di Hutan Batangtoru
yang meliputi tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan
Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Luasan Lanskap Batangtoru
diperkirakan seluas 240–280 ribu hektare dan yang menjadi habitat orangutan
tapanuli hanya sekitar 138.435 ha (49%) serta terpisah dalam tiga blok habitat.
Orangutan tapanuli sangat menyukai tanaman budidaya yang ditanam masyarakat
sehingga dapat menimbulkan konflik.
“Upaya mitigasi konflik antara manusia dan orangutan
tapanuli harus menjadi prioritas multi pihak. Prinsip dasar dalam mitigasi
konflik adalah keselamatan bagi manusia dan orangutan tapanuli. Mitigasi
konflik dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghapus risiko kerugian dan
korban yang mungkin terjadi pada kedua belah pihak. Terwujudnya koeksistensi
sangat bergantung pada kita sebagai manusia yang diberi amanah sebagai khalifah
di bumi, dangan menyetarakan pemenuhan kepentingan manusia dan kebutuhan untuk
orangutan,” kata Wanda.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dr Dolly
Priatna pada paparannya menuturkan bahwa saat ini koekistensi atau hidup
berdampingan secara harmonis antara manusia dengan satwa liar sudah menjadi
keniscayaan. Salah satu cara yang dapat diaplikasikan adalah menggunakan
pendekatan C2C, atau Conflict to Coexixtence.
“Bagaimana mengubah konflik menjadi sebuah koeksistensi.
Pendekatan yang holistik dan adaptif ini menerapkan empat prinsip utama, yaitu
menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, serta
mengedepankan holisme. Hasil utama yang diharapkan dari pendekatan ini adalah
pelestarian satwa liar, hidup berdampingan, perlindungan habitat, dan
mengamankan mata pencaharian dan aset masyarakat,” ujar Dolly.
Dolly yang juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas
Pakuan menambahkan, untuk membangun dan mewujudkan koeksistensi antara manusia
dengan satwa liar yang berkelanjutan diperlukan adanya kondisi kunci dan
langkah konkret, antara lain perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan,
keterlibatan masyarakat dan pendidikan.
Lalu, adanya manajemen konflik manusia-satwa liar,
terwujudnya penghidupan masyarakat yang berkelanjutan, berjalannya penegakan
hukum yang tegas, penelitian llmiah dan pemantauan secara regular, kolaborasi
dan kemitraan multi pihak, serta adanya kebijakan yang mendukung di tingkat
pusat dan daerah, adanya komitmen jangka panjang dari para pihak, serta
berjalannya pelestarian dan perlindungan habitat satwa liar.
“Kami percaya bahwa dengan adanya kemauan dan komitmen
bersama, serta kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, pelaku
usaha, NGO, masyarakat lokal, serta media, mimpi kita bersama untuik
menciptakan lingkungan, di mana manusia dan satwa liar dapat hidup berdampingan
secara harmonis dapat diwujudkan,” pungkas Dolly.
Direktur Hubungan Eksternal PT Agincourt Resources, Sanny
Tjan, menegaskan bahwa acara seminar nasional yang didukung perusahaan melalui
Belantara Foundation sebagai penyelenggara, merupakan kegiatan untuk membangun
kesadaran publik serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati, termasuk pelestarian orangutan tapanuli beserta
habitatnya.
Menurut Sanny, keberhasilan konservasi keanaekaragaman
hayati salah satunya dapat dicapai melalui kolaborasi multipihak yang berjalan
berkesinambungan. Kolaborasi ini perlu menghadirkan kontribusi nyata dari
seluruh elemen sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing untuk mewujudkan
kehidupan yang selaras atau living in harmony.
“Dengan mengadopsi konsep pentahelix yang menyinergikan
akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media, kita dapat menemukan
pendekatan inovatif sekaligus memperkuat implementasi program pelestarian
orangutan tapanuli. Namun, hal ini membutuhkan koordinasi yang erat serta
komitmen berkelanjutan dari semua pihak sesuai peran masing-masing,” tutur
Sanny.
Associate Fellow Departemen Antropologi, FISIP Universitas
Indonesia dan Co-founder Anama Consulting, Sundjaya, mengatakan bahwa strategi
konservasi orangutan tapanuli berbasis masyarakat lokal mulai berkembang dan
penting. Etnografi, metode riset dalam antropologi, dapat menjadi langkah awal
memahami aspek sosial kultural masyarakat di sekitar hutan dan interaksi mereka
dengan orangutan tapanuli.
Melalui analisis mendalam dan menyeluruh, etnografi dapat
memperkuat strategi dan kebijakan konservasi yang melibatkan pengetahuan dan
budaya masyarakat adat atau komunitas lokal, terutama untuk mengoptimalkan
faktor-faktor yang dapat mendorong partisipasi aktif mereka dalam pelestarian
orangutan tapanuli.
Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Prof Sri
Setyaningsih, dalam sambutannya, berharap bahwa seminar nasional ini dapat
menjadi wadah bagi semua pihak untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, serta
gagasan baru, tentang bagaimana mewujudkan koeksistensi yang nyata di lapangan.
“Kami berterima kasih kepada Belantara Foundation, PT
Agincourt Resources, serta mitra lainnya, yang telah mendukung penuh acara ini
sehingga berjalan dengan lancar dan sukses. Semoga seminar ini membawa manfaat
besar bagi upaya konservasi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia”
pungkasnya.
Turut hadir narasumber yang memiliki segudang pengalaman
pada bidang pelestarian orangutan beserta habitatnya di Indonesia secara
berturut-turut yaitu Dr Sri Suci Utami Atmoko (Ketua Pusat Riset Primata &
Dosen Fakultas Biologi dan Pertanian Universitas Nasional), Onrizal (Dosen
Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara), Edy Hendras Wahyono (Orangutan
Foundation International), serta dimoderatori oleh Sardi Duryatmo (Pemimpin
Redaksi Majalah Trubus periode 2020-2023). (fadlik al iman)
