- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
.jpg)
TAPANULI UTARA - Masyarakat Adat Huta
Parpatihan di Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli
Utara, Sumatera Utara tidak lagi bisa tersenyum. Senyumnya sudah berganti
dengan tangisan seiring terhentinya air pegunungan Dolok Paung yang selama ini
menjadi sumber kehidupan warga kampung sejak 2012.
Pegunungan Dolok Paung ditetapkan sebagai kawasan reboisasi
pada 1975. Sejak itu, air pegunungan mengalir deras ke kampung Huta Parpatihan
sehingga membuat Masyarakat Adat, termasuk anak-anak riang gembira. Namun,
kebahagiaan itu hanya sesaat. Sebab di tahun 1986, Dolok Paung masuk dalam
konsesi perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL). Hutan alam yang
dulunya rimbun dan kaya ragam hayati dibabat habis, diganti dengan eukaliptus,
pohon industri yang rakus menyerap air tanah.
“Sejak ditanam Eukaliptus, Dolok Paung tidak lagi memberi
air kehidupan bagi kami. Tidak ada lagi air dari pegunungan mengalir ke
kampung. Semua tinggal kenangan, kami sekarang hidup dari sumur bor,” kata
Maratua Simanjuntak, seorang penatua adat Huta Parpatihan dengan nada lirih
pada Sabtu, 6 Agustus 2025.
Baca Lainnya :
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat0
- Gatal Kepala dan Sebal0
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta 0
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat0
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel0
Pria berusia 68 tahun ini menuturkan sejak pohon-pohon hutan
ditebangi, siklus alam di Dolok Paung menjadi terganggu. Pepohonan besar yang
dulu menyimpan cadangan air dalam akar dan tanah hilang begitu saja. Tanah yang
semula gembur dan menyimpan air berubah kering, tandus, dan mudah longsor.
“Perlahan, aliran air dari gunung melemah. Hingga akhirnya
pada 2012, pipa-pipa yang menyalurkan air ke bak penampung di kampung
benar-benar kering. Sejak saat itu, kehidupan Masyarakat Adat berubah drastis,”
ungkap Maratua.
Dikatakannya, hilangnya hutan Dolok Paung bukan sekedar
hilangnya pohon, tapi hancurnya keseimbangan ekologi. Akar-akar pohon hutan yang dulu menyimpan air
hujan, kini tergantikan oleh eukaliptus. “Pohon industri ini justru menyerap
air tanah dalam jumlah besar, membuat cadangan air cepat habis,” terangnya.
Akibatnya, kata Maratua, hutan yang dulu meneduhkan kampung
kini lenyap. Daerah yang dulunya sejuk berubah panas terik. Perubahan
mikroklimat ini membuat Masyarakat Adat merasakan perbedaan suhu yang
signifikan.
Maratua menyebut tanah yang kehilangan tutupan hutan mudah
tergerus hujan. Nutrisi hilang terbawa erosi, membuat ladang-ladang Masyarakat
Adat sulit digarap dan hasil panen menurun drastis.
Meski Masyarakat Adat kini dilanda kekeringan, imbuhnya,
saat musim hujan tiba justru mereka terancam banjir bandang dan longsor. Sebab
tanpa hutan, air hujan tak lagi terserap, melainkan langsung meluncur deras ke
lembah.
Maratua juga menyatakan satwa liar yang dulu hidup di Dolok
Paung kini telah kehilangan habitatnya. Burung, kera, dan berbagai jenis
tumbuhan hutan pun hilang. “Ekosistem alami yang menopang kehidupan Masyarakat
Adat musnah seiring hilangnya hutan,” tandasnya.
Air Bersih Menghilang
Hilangnya hutan dan air juga menciptakan luka sosial.
Perempuan harus memikul beban lebih berat karena bertugas sebagai pengangkat
air. Anak-anak terpaksa belajar dengan tubuh lelah setelah membantu orang
tuanya mengambil air dari lembah.
Rutni Pronika Ginting, seorang ibu rumah tangga asal desa
Tapian Nauli III menceritakan
keluarganya menderita penyakit kulit karena terpaksa menggunakan air
kotor. Tidak ada lagi air bersih di kampungnya. Sebagai seorang ibu, Rutni
mengaku sedih melihat kenyataan ini. “Kami sekeluarga terkena penyakit
gatal-gatal. Kulit merah, bentol, dan perih. Ini kami alami setelah hilangnya
air bersih di kampung,” katanya.
Sementara itu, lahan pertanian yang dulu menjadi tumpuan
ekonomi Masyarakat Adat kian gersang. Kopi, padi ladang, dan sayuran gagal
panen. Masyarakat Adat kehilangan
penghasilan, kemiskinan makin terasa. “Dulu kampung ini sejuk dan ladang kami
subur. Sekarang panas sekali, tanah kering, pohon-pohon tidak lagi rindang.
Hutan sudah hilang, air ikut hilang,” kenang Rutni.
Sofrin Simanjuntak, tokoh Masyarakat Adat Tano Batak,
mengatakan kondisi Huta Parpatihan saat ini menunjukkan bagaimana kerusakan
hutan mempercepat dampak perubahan iklim. Kampung menjadi lebih rentan:
kekeringan saat kemarau, banjir saat hujan deras. Pola musim pun sulit
diprediksi, membuat Masyarakat Adat semakin sulit bertani.
Sofrin menambahkan ironisnya, pemerintah terkesan tutup mata
terhadap kenyataan yang dialami Masyarakat Adat di Huta Parpatihan. Padahal,
ini sudah menyangkut hidup manusia. “Kami hanya minta hutan dikembalikan, air
itu kembali. Kami ingin hidup layak di tanah kami sendiri,” tegas Sofrin
Simanjuntak.
Dikatakannya, bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan, hutan
bukan hanya kumpulan pohon. Hutan adalah sumber air, makanan, obat, dan
kesejukan. Lebih dari itu, imbuhnya, hutan juga menjadi tempat budidaya
kemenyaan (kemenyan), pohon khas Batak yang getahnya menjadi sumber penghidupan
Masyarakat Adat selama turun-temurun.
“Kemenyaan itu sumber ekonomi Masyarakat Adat, ketika hutan
hilang, pohon kemenyaan pun ikut hilang. Maka, kami kehilangan segalanya,”
jelasnya.
Sofrin menerangkan hutan adalah ruang hidup yang menyatukan
identitas, alam, dan manusia. Hilangnya hutan berarti hilangnya masa depan. “Kami
tidak ingin anak cucu kami hanya mendengar cerita tentang air dari gunung. Kami
ingin mereka bisa merasakannya langsung. Ini soal hak hidup,” tegasnya.
Di tengah krisis iklim global, kisah Huta Parpatihan adalah
peringatan keras bahwa kerusakan hutan tak hanya merusak alam, tapi juga
merenggut kehidupan manusia. “Kalau negara tidak hadir, kami akan terus
bersuara. Karena ini tentang masa depan kampung kami,” tutup Sofrin. (Maruli
Simanjuntak)
