- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
.jpg)
Senior Regional Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara, Rayhan Dudayev (paling kanan), berbicara dalam Major Groups and Stakeholders Forum yang menjadi rangkaian Pertemuan Menteri dan Pejabat Lingkungan Hidup Asia Pasifik di Nadi, Fiji, Rabu, 27 Agustus 2025. © Greenpeace
FIJI - Greenpeace Asia Tenggara
membawa cerita #SaveRajaAmpat ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tepatnya
pertemuan para menteri dan pemangku kebijakan di bidang lingkungan hidup di
Asia Pasifik, yang berlangsung di Nadi, Fiji, pada akhir Agustus lalu.
Dalam forum ini, delegasi Greenpeace Asia Tenggara meminta
pemerintah negara-negara Asia Pasifik untuk membahas pentingnya tata kelola
mineral yang dipandang sebagai kunci dalam transisi energi, misalnya nikel. Senyampang
dengan meningkatnya permintaan mineral seperti nikel, kobalt, dan lithium untuk
transisi energi, perlu panduan yang mengatur ketat kewajiban pelindungan
lingkungan dan HAM dalam rantai pasok mineral.
Baca Lainnya :
- Atlet Kroasia Tahan Napas 29 Menit di Bawah Air, Kalahkan Mamalia Laut0
- Harga Emas Stabil, Tren Bullish Terjaga di Tengah Tekanan Dolar0
- Translokasi Badak Jawa: Upaya Nyata Selamatkan Spesies Ikonik0
- 15 Ribu Pohon Ditanam di Jabungan, Warga Masih Menanti Manfaat Ekonomi0
- Surga yang Dibisukan: Dua Dekade Greenpeace Merekam Kisah dan Kesah dari Tanah Papua0
Forum ini, yang diselenggarakan Badan PBB untuk Lingkungan
Hidup (UNEP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Fiji, menjadi
ajang yang mempertemukan pemerintah negara-negara, organisasi antarpemerintah,
dan pemangku kepentingan lainnya di Asia Pasifik untuk membahas masalah
lingkungan hidup dan krisis iklim. Hasil dari forum ini akan dibawa ke
pertemuan dua tahunan Majelis Lingkungan Hidup PBB (United Nations
Environment Assembly) yang bakal dihelat di Kenya pada Desember
mendatang.
Rayhan Dudayev, Senior Regional Campaign Strategist untuk
Greenpeace Asia Tenggara, yang menghadiri pertemuan di Fiji, mengatakan, transisi
energi kerap dijadikan dalih untuk menjustifikasi pertambangan mineral yang
dilabeli ‘kritis’, yang dalam praktiknya mengabaikan dampak-dampak lingkungan
dan sosial. “Misalnya, seiring dengan masifnya tambang nikel di negara-negara
Selatan seperti Indonesia, kawasan kaya keanekaragaman hayati seperti Raja
Ampat terancam rusak.”
Dalam kampanye#SaveRajaAmpat,
Greenpeace Indonesia mengungkap ancaman tambang nikel yang mengintai kawasan
yang kerap dijuluki sebagai “surga terakhir di Bumi” ini. Tambang nikel di Raja
Ampat telah memicu deforestasi, sedimentasi, dan polusi yang menghancurkan
terumbu karang dan ekosistem laut lainnya. Aktivitas tambang nikel di Raja
Ampat juga merusak habitat di daratan, serta memperparah pelanggaran hak-hak
masyarakat adat Papua yang sudah lama terjadi.
Pada 10 Juni lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan
pencabutan empat dari lima tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat. Kendati
begitu, hingga saat ini belum ada surat pencabutan resmi dari pemerintah.
Greenpeace mendesak pelindungan secara penuh dan permanen untuk lingkungan
hidup dan hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal, dari kepentingan
industri ekstraktif yang merusak.
Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Dunxin Weng, menyampaikan intervensi dalam Senior Officials Meeting yang menjadi rangkaian dalam Pertemuan Menteri dan Pejabat Lingkungan Hidup Asia Pasific di Nadi, Fiji, Kamis, 28 Agustus 2025. © Greenpeace
“UNEA harus menghasilkan resolusi yang mengatur tata kelola
mineral secara adil dan berkelanjutan, di mana pelindungan hak asasi manusia
dan padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau
FPIC) dari masyarakat adat dan komunitas lokal wajib dilakukan. Kami juga
mendesak negara-negara anggota untuk menetapkan kawasan-kawasan tertentu yang
rentan dan punya nilai kultural, seperti wilayah masyarakat adat dan situs
warisan dunia UNESCO, bebas dari aktivitas pertambangan mineral,” kata Dunxin
Weng, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara di Malaysia.
Laporan
UNESCO menemukan adanya tumpang tindih konsesi tambang minyak, gas,
dan mineral dengan kawasan situs warisan dunia. Merujuk laporan itu, sekitar
sepertiga situs warisan dunia juga dibebani izin-izin tambang. Di kawasan Asia
Pasifik angkanya bahkan lebih tinggi: 42 persen atau 35 dari 84 situs warisan
dunia tumpang tindih dengan izin-izin ekstraktif.
Greenpeace Asia Tenggara juga mendesak peserta pertemuan
agar dampak invasi militer dan konflik bersenjata terhadap lingkungan hidup
dibahas dalam perhelatan UNEA di Kenya pada akhir tahun nanti. Tekanan untuk
gencatan senjata dan perdamaian perlu diintegrasikan dengan pemulihan
lingkungan dan upaya membangun ketahanan, untuk negara dan masyarakat yang
menjadi korban serangan militer.
Konflik bersenjata di banyak tempat di dunia, apalagi
genosida yang terjadi di Gaza yang diperparah dengan bungkamnya komunitas
internasional yang sebenarnya punya kekuatan untuk menghentikan kekejaman
Israel, telah jelas menghancurkan ekosistem dan melanggar hak asasi atas
lingkungan hidup yang sehat.
“Forum ini harus mengingat kembali kajian awal yang
diluncurkan UNEP pada Juni 2024.
Laporan tersebut menyatakan bahwa serangan militer Israel ke Gaza telah
menimbulkan dampak-dampak ekologis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Masyarakat Gaza menghadapi risiko meningkatnya kerusakan tanah, air, dan polusi
udara, serta kerusakan ekosistem yang tak bisa dipulihkan. Semua itu
memperburuk penderitaan yang mereka tanggung akibat operasi militer Israel,”
tambah Rayhan.
