- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Kegetiran dan Semangat Hidup Katri, Korban Salah Tangkap Tragedi 1965
Resensi Buku
.jpg)
Handoko Widagdo
Pencinta buku
Baca Lainnya :
- Iklan: Waktu dan Bola 0
- SBY Menggebrak dengan Lukisan Keprihatinan Anti Perang0
- Birding Bersama Ellena, Penulis Buku GET TO KNOW THEM: Introduction to Singapore Common Birds Folk0
- Tahlil & Doa 7 Hari Wafatnya Hj Euis Nurlaila Binti KH Idam Damiri 0
- Atmosfer (Suasana) Belajar (Kok) Dicipta?0
TRAGEDI 1965 dan setelahnya telah
memakan banyak korban. Bahkan mereka yang tidak paham politik, ikut menjadi
korban. Korban akibat salah tangkap atau bahkan akibat fitnah bertebaran di
banyak tempat. Mereka ditangkap hanya karena ada anggota keluarganya yang
menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), ada temannya yang PKI atau
bahkan difitnah karena ada orang yang tak suka padanya.
Mereka-mereka ini ”diciduk” dan ditahan tanpa proses
pengadilan. Masa depan mereka dan keluarganya musnah seketika. Sayang sekali -
karena mereka itu dilabeli sebagai anggota PKI, banyak dari mereka yang memilih
bungkam. Sebab jika berani bersuara, maka nasipnya akan semakin buruk. Bukan
saja nasib dirinya, tetapi juga nasip keluarganya. Bukankah jaman Orde Baru ada
kebijakan ”Bersih Diri dan Bersih Lingkungan?” Ketakutan dan kekhawatiran
membuat mereka ini diam.
Syukurlah, satu-dua orang ada yang sudah berani
mengungkapkan kepahitan hidupnya melalui tulisan. Pengungkapan pengalaman pahit
ini tentu sangat berat. Sebab seakan membuka kembali borok yang bernanah.
Seandainya pun dirinya sudah kuat untuk mengungkapkan pengalamannya, belum tentu
keluarganya menyetujuinya. Bahkan dalam banyak kasus, keluarganya lebih takut
menerima akibat pengungkapan kepahitan tersebut daripada yang bersangkutan.
Katri adalah salah satu orang yang berani mengungkapkan
kepahitan yang melanda hidupnya. Meski dalam bentuk fiksi (novel), namun
pengalaman nyata Katri tergambar jelas bagaimana hidupnya hancur lebur hanya
karena dia ikut ditangkap. Katri, seorang gadis yang kenes harus menjadi
perempuan yang penuh penderitaan.
Katri adalah korban salah tangkap. Ia tidak seharusnya
ditangkap. Sebab dia tidak melakukan apa pun yang melanggar hukum. Hanya karena
ikut berkesenian di desanya, Katri jatuh cinta kepada pembimbing seninya.
Padahal sang pembimbing sudah mempunyai istri. Hubungan yang terlarang tersebut
membuat Katri hamil dan harus dinikahkan dengan Agus sang seniman kaya. Katri
tidak pernah berpikir bahwa kegiatan berkeseniannya, dan kasus selingkuhnya
dengan Agus adalah suatu tindakan makar yang melawan Negara.
Karena kakak-kakak lelakinya ada yang menjadi anggota PKI
dan suaminya adalah tokoh Lekra, Katri ikut ditangkap. Bahkan ia ditembak saat
terjadi penggerebekan di rumahnya. Saat itu Katri hamil 7 bulan. Peluru
tersebut tak membunuhnya, karena meleset beberapa senti saja.
Namun pipinya hancur diterjang peluru. Katri yang berhasil
melarikan diri dari rumah, akhirnya mendapat pertolongan di sebuah rumah sakit.
Tapi nasibnya tak membaik. Setelah melahirkan bayinya, ia dijemput tentara dan
ditahan. Katri mendekam dalam tahanan sempit bersama bayinya. Ia harus
berdesakan dengan tahanan perempuan lainnya. Katri dibebaskan begitu saja pada
tahun 1968.
Namun Katri harus kembali ditahan karena ia sempat
mengunjungi Wasno, kakak lelakinya yang buron. Katri dianggap menyembunyikan
buronan berbahaya. Bahkan Heru dan Tomi, keduanya adalah anggota Angkatan Laut
- KKO, ikut menerima akibat karena mengantar Katri saat mengunjungi Wasno. Heru
adalah anggota KKO yang sebenarnya dijodohkan kepada Katri oleh Wasno. Heru
yang masih cinta kepada Katri, membantu Katri untuk mencari Wasno. Heru dan
Tomi dipecat dari ketentaraan karena dianggap bersekongkol dengan anggota PKI.
Katri harus berpindah-pindah rumah tahanan. Ia juga
mengalami siksaan yang luar biasa supaya ia mengaku sebagai tokoh penting PKI.
Dalam beberapa kejadian penyiksaan, Katri hampir meregang nyawa. Namun
keinginannya untuk terus hidup membuat semangatnya terus menyala.
Katri sempat dipindahkan ke Jakarta karena dijadikan saksi
bagi Heru dan Tomi. Di Jakarta inilah ia mengalami penderitaan lahir batin
karena ia diperkosa oleh seorang tentara yang menjaganya. Perkosaan itu
mengakibatkan Katri hamil dan melahirkan seorang bayi.
Saat ditahan di Jakarta inilah Katri bertemu dengan seorang
tahanan mantan tentara. Hendro adalah seorang tentara yang sangat dekat dengan
Sukarno. Meski Hendro bukan seorang PKI, namun karena dia dekat dengan Sukarno,
Hendro ikut ditahan.
Masa itu memang siapa saja bisa bernasib buruk. Apalagi
kalau mempunyai hubungan dengan PKI dan dekat dengan Sukarno yang dianggap
sebagai musuh Orde Baru. Setelah bebas Hendro melamar Katri. Mereka hidup
bahagia bersama dua anak Katri sebelumnya dan dua anak Katri dari Hendro
setelah mereka menikah.
Keteguhan hati Katri dan semangat hidupnya telah
menyelamatkan kehidupan. Bukan hanya kehidupan Katri yang terus berlangsung,
namun kehidupan keempat anaknya (Yudi anak dari Agus; Agus anak dari hasil
perkosaan tentara yang menjaganya dan Timur dan Kaka - dua anak dari Hendro,
setelah mereka bebas).
Masih banyak perempuan dan orang-orang lain yang mengalami
nasib seperti Katri. Bahkan banyak dari mereka yang kehilangan nyawanya. Namun
saat ini mereka atau keluarganya belum berani mengungkapkan kekejaman yang
mereka alami. Sebab mereka mengalami ketakutan yang lebih dahsyat daripada
kesakitan fisik yang mereka alami.
Kini zaman telah berubah. Orde Baru telah tumbang. Sudah
saatnya Negara mengakui kesalahan masa silamnya. Negara harus mengakui bahwa
telah bersalah menahan dan membunuh banyak orang yang sebenarnya tidak ada
sangkut-pautnya dengan peristiwa 1965. Negara harus meminta maaf.
