- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Desakan Agenda Reforma Agraria Kepada Para Pemimpin Dunia dari Bogota
.jpg)
BOGOTA – Desakan kepada para pemimpin
dunia untuk menjalankan agenda reforma agraria menggema dengan kencang di
Bogota. Sebanyak 1000 orang delegasi dari 90 negara di dunia berkumpul selama
seminggu untuk duduk bersama dalam satu forum di pusat budaya dan sejarah
Kolombia itu.
Pertemuan tingkat tinggi ini mempertemukan perwakilan dari
komunitas akar rumput, organisasi rakyat, aktivis, para pembuat kebijakan,
organisasi internasional, pemerintah, dan akademisi. Membicarakan situasi
krisis agraria dan iklim global yang telah memasuki fase kritis.
Mereka datang dengan kesadaran penuh dan komitmen untuk
menyatakan darurat agraria dan iklim. Mendesak seluruh pengambil kebijakan pada
level global dan nasional agar segera mengambil langkah penting, memastikan
masa depan dunia yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Baca Lainnya :
- Greenpeace Dukung Kongres Dunia Pertama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari Tiga Kawasan Hutan0
- Belum Tertandingi Hingga Kini, Rekor Dunia Ikan Tuna Sirip Biru Seberat 678,58 Kg Dipancing Manual 0
- Dampak Kebijakan Tarif Impor AS Terhadap Indonesia0
- Dari Tokyo, SBY Ajak Masyarakat Dunia Kembali ke Jalur Kerja Sama, Kemitraan, dan Kolaborasi0
- Rekor Baru Bitcoin: Imbas dari Pelantikan Donald Trump?0
Bogota dengan perbaduan budaya dan pembangunan modernnya
adalah pusat sejarah kolonialisme dan
gerakan perlawanan rakyat Kolombia. La Canderia, sebuah distrik di pusat kota,
dengan jalan berbatuannya menyimpan banyak kisah kelam penjajahan oleh bangsa
Spanyol. Plaza de Bolivar adalah tempat terbaik mengawali perjalanan penuh
sejarah ini. Tempat dimana Simon Bolivar bersama rakyat Kolombia memulai
gerakan kemerdekaannya.
Sama seperti mayoritas negara berkembang lainnya, Kolombia
menghadapi situasi ketimpangan yang akut atas penguasaan tanah dan kekayaan
alam. Pekerjaan rumah yang belum selesai pasca kemerdekaan dan berdirinya
Republik Kolombia. Saat ini sekitar 60% penduduk desa tidak mempunyai
tanah. Sementara 1 % kelompok menguasai
47% tanah di pedesaan.
“Ini adalah masa transformasi, tidak hanya untuk Kolombia,
tetapi juga kebijakan dan tata kelola pertanahan di seluruh dunia,” kata Marcy
Vigoda, Direktur International Land Coalition.
“Di saat ketidaksetaraan, konflik agraria, dan krisis iklim,
GLF menawarkan kesempatan langka bagi masyarakat untuk mendengarkan, belajar,
dan mengambil tindakan kolektif dalam mendukung jutaan orang yang kehidupan dan
mata pencahariannya bergantung pada tanah. Jika kita serius ingin membangun
dunia yang adil dan berkelanjutan, hal itu harus dimulai dengan masyarakat dan
hubungan mereka dengan tanahnya,” lanjut Marcy.
Presiden Kolombia Gustavo Petro telah menunjukkan
komitmennya untuk memperkuat sistem pertanian pangan yang lebih adil, tangguh,
dan berkelanjutan. Sebuah keputusan politik yang ditujukan untuk melindungi hak
atas tanah rakyat dan lingkungan.
“Dan kami telah melakukannya, bahu-membahu, dengan
masyarakat, mendengarkan suara mereka, dan menghormati tradisi mereka,” ujar
Gustavo Petro.
Menagih Komitmen Para Pemimpin Dunia
Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika
menagih komitmen para pemimpin dunia untuk segera menempatkan reforma agraria
sebagai agenda prioritas pemerintahan nasional dan global. “Saya pikir sebagian
besar situasi yang terjadi di Kolombia, juga terjadi di banyak Negara Asia dan
Afrika, termasuk Indonesia”, lanjutnya.
Di Indonesia, situasi ketimpangan penguasaan tanah semakin
akut di mana 1% penduduk menguasai hampir 68 % tanah dan kekayaan alam.
Sementara 99% lainnya berebut di antara yang tersisa.
Situasi ini berbanding lurus dengan lonjakan letusan konflik
agraria. Dalam catatan KPA, dalam 10 tahun (2015-2024) sedikitnya terjadi
terjadi 3.234 dengan luas mencapai 7 juta hektar akibat perampasan tanah untuk
investasi skala besar. Perusahaat sawit, tambang dan pembangunan infrastruktur
serta industri pertanian berdampak besar terhadap petani dan masyarakat adat.
“Di Indonesia reforma agraria merupakan mandat konstitusi
sebagai jalan untuk melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu kolonialisme atas
tanah dan kekayan alam. Ini saya kira spiritnya sama dengan perjuangan
kemerdekaan di berbagai negara di belahan dunia” Dewi mengungkapkan.
Namun pada kenyataannya, implementasi reforma agraria masih
jauh dari apa yang telah dimandatkan oleh konstitusi. Praktek-praktek
perampasan tanah masih terjadi dan bahkan cenderung meningkat.
Ketidakberpihakan pemerintah berpadu dengan kebijakan di tingkat global yang
kontra reforma agraria, menjadikan cita-cita konstitusi itu semakin menjauh.
“Itulah mengapa kami di Indonesia terus melakukan perlawanan
terhadap kebijakan global yang di satu sisi seringkali menjadi alasan
pemerintahan nasional hanya menjalankan program sertifikasi tanah, alih-alih
reforma agraria. Program yang pada ujungnya justru melegalkan ketimpangan itu
sendiri,” kata Dewi.
Sebagai koalisi besar yang juga melibatkan organisasi
internasional dan pemerintahan global, forum ini sudah sepatutnya mengambil
peran yang lebih besar lagi dimana badan-badan PBB seperti IFAD dan FAO menekan
pemerintahan negara untuk menjalankan reforma agraria.
“Terkadang kami menghadapi kesulitan untuk duduk bersama
dengan pemerintahan nasional karena mereka lebih mendengarkan masukan
organisasi antar-pemerintah ketimbang organisasi masyarakat sipil”, tukasnya.
Deklarasi Bogota, Panduan Masa Depan yang Lebih
Adil dan Berkelanjutan
Dewi menyerukan agar segera ada tindakan nyata untuk
mengatasi ketimpangan penguasaan tanah ini. “Bukan hanya dalam kata-kata,
tetapi dalam reformasi struktural yang lebih konkrit,” tegasnya.
“Global Land Forum ini menjadi momentum untuk semua pihak
berkomitmen mendorong reforma agraria sebagai agenda prioritas pada aras global
dan nasional,” sebut Dewi.
Dewi menceritakan kembali pengalaman KPA bersama gerakan
masyarakat sipil di Indonesia saat menggelar GLF 2018. Melalui forum tersebut,
gerakan masyarakat sipil di Indonesia berhasil mendorong Presiden
menandatangani Perpres Reforma Agraria. Meskipun masih terdapat catatan kritis,
lahirnya peraturan tersebut menjadi tonggak sejarah sejak disahkan
Undang-Undang Pokok Agraria 1960 di Indonesia.
“Di tengah tingginya ketimpangan penguasaan tanah dan
sumber-sumber agraria dan konflik agraria yang tengah dihadapi petani, buruh
tani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan di Kolombia, Indonesia dan di
belahan dunia lainnya, maka reforma agraria merupakan agenda yang harus
diprioritaskan dan dijalankan sesegera mungkin oleh Pemerintah di seluruh
dunia, pesan Dewi menutup pembicaraannya.
“Kita berada di momen kritis dalam aksi nasional terkait
tanah, perdamaian, dan transformasi pedesaan, dan kami berharap apa yang muncul
dari Bogotá akan bergema jauh melampaui batas-batas Kolombia – membuktikan
bahwa adalah mungkin untuk menempatkan orang dan wilayah di pusat kebijakan
publik,” kata Javier Lautaro Medina dari Komite Penyelenggara Nasional dan
Cinep/PPP.
Kolombia untuk pertama kalinya menyelenggarakan GLF. Forum
agraria global ke-10 ini hadir pada momen penting dalam upaya negara tersebut
menjalankan agenda reforma agraria, keadilan iklim, dan transformasi sistem
pertanian-pangan. Melalui dialog, pertukaran pembelajaran, dan keterlibatan
para pengambil kebijakan. Forum ini diharapkan mampu mendorong kebijakan tata
kelola pertanahan yang lebih iklusif, berkelanjutan dan berpusat pada rakyat.
Pengalaman ILC bersama anggota dan jaringan selama tiga
dekade dalam mempertemukan berbagai aktor untuk memajukan tata kelola
pertanahan adalah modal penting yang harus terus diperkuat.
Forum ini diselenggarakan dari 14-19 Juni 2025. Dipandu oleh
Komite Penyelenggara Nasional yang beranggotakan hampir 50 organisasi untuk
memastikan kepemimpinan dan partisipasi Kolombia yang bermakna di setiap level.
GLF ke-10 ini akan melahirkan Deklarasi Bogota, sebagai panduan pengambil
kebijakan di tingkat global, nasional dan gerakan masyarakat sipil untuk
memastikan masa depan hak atas tanah, sistem pangan dan lingkungan yang adil,
berkelanjutan dan berpusat pada kepentingan rakyat.
