Desakan Agenda Reforma Agraria Kepada Para Pemimpin Dunia dari Bogota

By PorosBumi 23 Jun 2025, 07:03:18 WIB Global
Desakan Agenda Reforma Agraria Kepada Para Pemimpin Dunia dari Bogota

BOGOTA – Desakan kepada para pemimpin dunia untuk menjalankan agenda reforma agraria menggema dengan kencang di Bogota. Sebanyak 1000 orang delegasi dari 90 negara di dunia berkumpul selama seminggu untuk duduk bersama dalam satu forum di pusat budaya dan sejarah Kolombia itu.

Pertemuan tingkat tinggi ini mempertemukan perwakilan dari komunitas akar rumput, organisasi rakyat, aktivis, para pembuat kebijakan, organisasi internasional, pemerintah, dan akademisi. Membicarakan situasi krisis agraria dan iklim global yang telah memasuki fase kritis.

Mereka datang dengan kesadaran penuh dan komitmen untuk menyatakan darurat agraria dan iklim. Mendesak seluruh pengambil kebijakan pada level global dan nasional agar segera mengambil langkah penting, memastikan masa depan dunia yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

Baca Lainnya :

Bogota dengan perbaduan budaya dan pembangunan modernnya adalah pusat sejarah  kolonialisme dan gerakan perlawanan rakyat Kolombia. La Canderia, sebuah distrik di pusat kota, dengan jalan berbatuannya menyimpan banyak kisah kelam penjajahan oleh bangsa Spanyol. Plaza de Bolivar adalah tempat terbaik mengawali perjalanan penuh sejarah ini. Tempat dimana Simon Bolivar bersama rakyat Kolombia memulai gerakan kemerdekaannya.

Sama seperti mayoritas negara berkembang lainnya, Kolombia menghadapi situasi ketimpangan yang akut atas penguasaan tanah dan kekayaan alam. Pekerjaan rumah yang belum selesai pasca kemerdekaan dan berdirinya Republik Kolombia. Saat ini sekitar 60% penduduk desa tidak mempunyai tanah.  Sementara 1 % kelompok menguasai 47% tanah di pedesaan.

“Ini adalah masa transformasi, tidak hanya untuk Kolombia, tetapi juga kebijakan dan tata kelola pertanahan di seluruh dunia,” kata Marcy Vigoda, Direktur International Land Coalition.

“Di saat ketidaksetaraan, konflik agraria, dan krisis iklim, GLF menawarkan kesempatan langka bagi masyarakat untuk mendengarkan, belajar, dan mengambil tindakan kolektif dalam mendukung jutaan orang yang kehidupan dan mata pencahariannya bergantung pada tanah. Jika kita serius ingin membangun dunia yang adil dan berkelanjutan, hal itu harus dimulai dengan masyarakat dan hubungan mereka dengan tanahnya,” lanjut Marcy.

Presiden Kolombia Gustavo Petro telah menunjukkan komitmennya untuk memperkuat sistem pertanian pangan yang lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan. Sebuah keputusan politik yang ditujukan untuk melindungi hak atas tanah rakyat dan lingkungan.

“Dan kami telah melakukannya, bahu-membahu, dengan masyarakat, mendengarkan suara mereka, dan menghormati tradisi mereka,” ujar Gustavo Petro.

 

Menagih Komitmen Para Pemimpin Dunia

Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menagih komitmen para pemimpin dunia untuk segera menempatkan reforma agraria sebagai agenda prioritas pemerintahan nasional dan global. “Saya pikir sebagian besar situasi yang terjadi di Kolombia, juga terjadi di banyak Negara Asia dan Afrika, termasuk Indonesia”, lanjutnya.

Di Indonesia, situasi ketimpangan penguasaan tanah semakin akut di mana 1% penduduk menguasai hampir 68 % tanah dan kekayaan alam. Sementara 99% lainnya berebut di antara yang tersisa.

Situasi ini berbanding lurus dengan lonjakan letusan konflik agraria. Dalam catatan KPA, dalam 10 tahun (2015-2024) sedikitnya terjadi terjadi 3.234 dengan luas mencapai 7 juta hektar akibat perampasan tanah untuk investasi skala besar. Perusahaat sawit, tambang dan pembangunan infrastruktur serta industri pertanian berdampak besar terhadap petani dan masyarakat adat.

“Di Indonesia reforma agraria merupakan mandat konstitusi sebagai jalan untuk melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu kolonialisme atas tanah dan kekayan alam. Ini saya kira spiritnya sama dengan perjuangan kemerdekaan di berbagai negara di belahan dunia” Dewi mengungkapkan.

Namun pada kenyataannya, implementasi reforma agraria masih jauh dari apa yang telah dimandatkan oleh konstitusi. Praktek-praktek perampasan tanah masih terjadi dan bahkan cenderung meningkat. Ketidakberpihakan pemerintah berpadu dengan kebijakan di tingkat global yang kontra reforma agraria, menjadikan cita-cita konstitusi itu semakin menjauh.

“Itulah mengapa kami di Indonesia terus melakukan perlawanan terhadap kebijakan global yang di satu sisi seringkali menjadi alasan pemerintahan nasional hanya menjalankan program sertifikasi tanah, alih-alih reforma agraria. Program yang pada ujungnya justru melegalkan ketimpangan itu sendiri,” kata Dewi.

Sebagai koalisi besar yang juga melibatkan organisasi internasional dan pemerintahan global, forum ini sudah sepatutnya mengambil peran yang lebih besar lagi dimana badan-badan PBB seperti IFAD dan FAO menekan pemerintahan negara untuk menjalankan reforma agraria.

“Terkadang kami menghadapi kesulitan untuk duduk bersama dengan pemerintahan nasional karena mereka lebih mendengarkan masukan organisasi antar-pemerintah ketimbang organisasi masyarakat sipil”, tukasnya.

 

Deklarasi Bogota, Panduan Masa Depan yang Lebih Adil dan Berkelanjutan

 

 

Dewi menyerukan agar segera ada tindakan nyata untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah ini. “Bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam reformasi struktural yang lebih konkrit,” tegasnya.

“Global Land Forum ini menjadi momentum untuk semua pihak berkomitmen mendorong reforma agraria sebagai agenda prioritas pada aras global dan nasional,” sebut Dewi.

Dewi menceritakan kembali pengalaman KPA bersama gerakan masyarakat sipil di Indonesia saat menggelar GLF 2018. Melalui forum tersebut, gerakan masyarakat sipil di Indonesia berhasil mendorong Presiden menandatangani Perpres Reforma Agraria. Meskipun masih terdapat catatan kritis, lahirnya peraturan tersebut menjadi tonggak sejarah sejak disahkan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 di Indonesia.

“Di tengah tingginya ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria dan konflik agraria yang tengah dihadapi petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan di Kolombia, Indonesia dan di belahan dunia lainnya, maka reforma agraria merupakan agenda yang harus diprioritaskan dan dijalankan sesegera mungkin oleh Pemerintah di seluruh dunia, pesan Dewi menutup pembicaraannya.

“Kita berada di momen kritis dalam aksi nasional terkait tanah, perdamaian, dan transformasi pedesaan, dan kami berharap apa yang muncul dari Bogotá akan bergema jauh melampaui batas-batas Kolombia – membuktikan bahwa adalah mungkin untuk menempatkan orang dan wilayah di pusat kebijakan publik,” kata Javier Lautaro Medina dari Komite Penyelenggara Nasional dan Cinep/PPP.

Kolombia untuk pertama kalinya menyelenggarakan GLF. Forum agraria global ke-10 ini hadir pada momen penting dalam upaya negara tersebut menjalankan agenda reforma agraria, keadilan iklim, dan transformasi sistem pertanian-pangan. Melalui dialog, pertukaran pembelajaran, dan keterlibatan para pengambil kebijakan. Forum ini diharapkan mampu mendorong kebijakan tata kelola pertanahan yang lebih iklusif, berkelanjutan dan berpusat pada rakyat.

Pengalaman ILC bersama anggota dan jaringan selama tiga dekade dalam mempertemukan berbagai aktor untuk memajukan tata kelola pertanahan adalah modal penting yang harus terus diperkuat.

Forum ini diselenggarakan dari 14-19 Juni 2025. Dipandu oleh Komite Penyelenggara Nasional yang beranggotakan hampir 50 organisasi untuk memastikan kepemimpinan dan partisipasi Kolombia yang bermakna di setiap level. GLF ke-10 ini akan melahirkan Deklarasi Bogota, sebagai panduan pengambil kebijakan di tingkat global, nasional dan gerakan masyarakat sipil untuk memastikan masa depan hak atas tanah, sistem pangan dan lingkungan yang adil, berkelanjutan dan berpusat pada kepentingan rakyat.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment