- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Krisis Gas Bukti Nyata Indonesia Harus Segera Lepas dari Energi Fosil
.jpg)
JAKARTA - Gangguan pasokan gas
yang terjadi sejak awal 2024, menimbulkan kepanikan industri. Para pelaku
industri mengeluhkan kesulitan mendapatkan pasokan gas, hingga berujung pada
pembatasan kuota pemanfaatan gas dengan harga bumi tertentu (HGBT) yang berlaku
13-31 Agustus 2025, dan meningkatnya harga gas.
Sebagai dampaknya, industri padat energi, seperti kaca,
keramik, baja, petrokimia hingga pupuk, harus berhadapan dengan permasalahan
pasokan gas dan tingginya harga gas, yang menunjukkan betapa rapuhnya pondasi
energi Indonesia yang masih bertumpu pada gas. PHK massal kini menjadi
ancaman nyata bagi industri yang mengandalkan gas, yang tidak hanya mahal
tetapi juga tidak stabil dalam ketersediaannya.
Krisis gas yang sedang terjadi saat ini merupakan bukti
nyata bahwa Indonesia tidak dapat mencapai Ketahanan Energi seperti yang
dicita-citakan Pak Prabowo dalam Pidato Nota Keuangannya pada Jumat, 15 Agustus
2025, jika Indonesia masih bergantung pada energi gas fosil.
Baca Lainnya :
- Menko AHY Tegaskan Pembangunan Infrastruktur Dasar untuk Sinergi Industri dan Transmigrasi0
- Spirit Kebersamaan dan Kesederhanaan di HUT ke-17 Pandutani Indonesia (Patani)0
- Merdeka Dari Kemiskinan, Kelaparan, dan Penderitaan0
- Intervensi Strategis dan Jalan Optimisme Indonesia 0
- Tanah Air: Puisi dan Lagu0
Namun di sisi lain, Pemerintah justru berencana untuk
memperpanjang dan semakin meningkatkan penggunaan gas secara domestik dengan
menambah porsi pembangkit listrik berbahan bakar gas yang akan semakin mengikat
Indonesia pada energi fosil ini untuk puluhan tahun ke depan. Berdasarkan
dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, Pemerintah
dan PLN berencana membangun 10.3 Gigawatt pembangkit listrik tenaga gas baru
dalam 10 tahun ke depan, di mana 90 persennya, yaitu 9.3 Gigawatt, akan dibangun
dalam 5 tahun kedepan.
Menurut Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo
pada saat Diseminasi RUKN dan RUPTL
2025-2034, terdapat perubahan dalam RUPTL yang diterbitkan dibandingkan
dengan usulan RUPTL sebelumnya, dengan semula kapasitas pembangkit gas
direncanakan sebesar 15,2 GW, lalu dikurangi menjadi10,3 GW. Hal ini
diungkapkan oleh PLN dengan proyeksi kemungkinan untuk melakukan impor
kargo LNG ketika kebutuhan domestik bertambah di masa depan.
Jika Pemerintah dan PLN telah menyadari bahwa penambahan
pembangkit gas baru hanya akan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada gas
dan akan membawa risiko impor, maka seharusnya tidak ada penambahan pembangkit
gas baru dalam RUPTL tahun ini. Potensi impor gas di 15 tahun mendatang, justru
akan mempersulit pemerintah untuk mencapai ketahanan energi
Indonesia. Sejalan dengan penurunan produksi gas Indonesia yang telah terjadi
sejak 2013, sebuah studi oleh Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) memproyeksikan bahwa Indonesia
akan menjadi net importir gas pada tahun 2040 jika permintaan gas domestik
semakin meningkat, terutama dengan adanya pembangkit listrik gas baru.
Sementara itu, menurut studi Global Energy Monitor, harga
energi terbarukan, yaitu tenaga surya, telah terbukti semakin kompetitif
dibandingkan listrik berbasis gas di Indonesia. Mahalnya harga gas juga akan
membebani PLN secara keuangan untuk melakukan pembelian bahan bakar.
Berdasarkan studi CERAH, penambahan
kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar gas hingga 10,3 Gigawatt dalam
RUPTL 2025-2034 akan menimbulkan biaya tambahan hingga Rp155,8 triliun/tahun
hanya untuk biaya pembelian bahan bakar gas pembangkit listrik oleh PLN.
Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi energi surya yang
sangat besar dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan transisi energi, yaitu
sekitar 3,200 GW. Namun, potensi
energi surya tersebut baru dimanfaatkan sebesar 270 MW per 2024, atau kurang
dari 1 persen. Padahal penggunaan energi surya akan menciptakan kestabilan
karena tidak bergantung pada pasar global yang rentan dan juga sejalan dengan
agenda Swasembada Energi yang diusung oleh Pemerintahan Prabowo.
Lebih dari itu, percepatan transisi energi bersih dapat
menciptakan lapangan kerja baru yang lebih banyak dan lebih sehat dibandingkan
industri fosil. Berdasarkan riset Greenpeace dan CELIOS,
transisi menuju ekonomi hijau akan menciptakan 19.4 juta lapangan kerja baru
dalam 10 tahun ke depan.
Untuk itu, Greenpeace mendesak pemerintah menghentikan ilusi
“gas sebagai solusi transisi energi”, karena gas terbukti mahal, pasokannya
rentan terganggu bencana maupun geopolitik, dan cadangan dalam negeri yang
semakin terbatas. Untuk mencapai Ketahanan Energi, sudah saatnya Indonesia
fokus mengembangkan energi terbarukan dan lepas dari ketergantungan terhadap
energi fossil, termasuk gas, dan membatalkan rencana penambahan pembangkit gas
baru dalam RUPTL.
