- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Tanah Air: Puisi dan Lagu

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
KITA mengenali beragam sebutan: Nusantara, Indonesia, Tanah Air, dan Ibu Pertiwi. Sekian sebutan masih ada meski kita belum membuat catatan dan menelusuri jalan ingatan. Konon, sebutan-sebutan itu memiliki latar dan pemaknaan berbeda saat digunakan dalam pamrih kekuasaan, perdagangan, dakwah, keilmuan, dan pariwisata.
Pada hari-hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan, kita iseng melacak penggunaan Tanah Air dalam pelbagai teks. Kita sekadar mengadakan dokumentasi, bukan untuk ulasan sejarah atau kajian politis. Teks-teks besar atau kecil dalam arus keaksaraan Indonesia memiliki keistimewaan saat terjadi pemihakan sebutan Tanah Air.
Kita mulai dengan puisi gubahan Ajip Rosidi termuat dalam buku Cari Muatan (1959). Di situ, kita bertemu puisi dijuduli “Tanah Air”. Puisi dihadirkan dalam arus revolusi belum selesai. Ajip Rosidi menulis: Ada hidjau pegunungan/ Ada biru lautan/ Ada hidjau/ Ada biru/ Langit dan hatiku// Adalah aku putjuk tatapan/ Ada putjuk/ Ada tatapan/ Ada putjuk senapan/ Mengarah ke dadaku// Hidjau pegunungan, biru lautan/ Bukannja harapan adalah ketakutan/ Hidjau pegunungan, biru lautan/ Bukanlah ketenteraman adalah antjaman.
Kita membaca itu sambil membuka lembaran-lembaran masa lalu, terutama masa 1950-an. Indonesia belum tenang, terus mengalami pergolakan politik. Kemuliaan (alam) Indonesia sedang dibuktikan dengan revolusi mengalami pelbagai gangguan dan kesalahan.
Seruan agar menegakkan kedaulatan Indonesia dilakukan melalui beragam ikhtiar. Pengisahan tentang Tanah Air digencarkan melalui pidato, seni pertunjukan, sastra, lagu, lukisan, tari, dan lain-lain.
Di kancah sastra, Ajip Rosidi berjanji untuk mengabdi pada Tanah Air. Ia mengisahkan: Adalah karena tjintaku/ Adalah karena kutjinta/ Langit merah, djalan berdebu/ Rumah musnah, djalan terbuka/ Bunga merah, bunga biru/ Kembang wera, kembang djajanti/ Tanah jang kudjedjak rindu/ Kan kurangkum dalam mati. Perwujudan mengartikan Tanah Air itu kesetiaan, keberanian, ketabahan, dan ketulusan. Tanah Air bukan sekadar kata-kata mengarah imajinasi indah.
Kita beralih ke teks lagu gubahan Pak Dal, masa 1950-an. Lagu berjudul “Tanah Airku” dibawakan oleh anak-anak. Lagu dianggap manjur menumbuhkan kebanggaan dan pengorbanan pada Tanah Air. Kita mengikuti imajinasi untuk anak dalam deru revolusi. Lirik buatan Pak Dal: Dibawah langit djernih biru/ Terletak indah Tanah Airku/ Subur makmur tanah pusaka/ Kudjaga dengan djiwa raga/ Indonesia, Tanah Airku, kita tjinta padamu/ Kudjundjung tinggi namamu Tanah Airku. Kata-kata dipilih agar mudah dimengerti anak-anak. Kita mengandaikan mendengar lagu itu merdu dan penuh semangat.
Kita bandingkan pilihan kata dalam lagu gubahan Ibu Sud, bukan membandingkan nada. Ibu Sud juga menggubah lagu berjudul “Tanah Airku”. Lirik mengesankan gara-gara sering dibawakan di pelbagai jenjang sekolah, sejak masa 1950-an sampai sekarang. Kita membaca lirik bakal ingat nada: Tanah Airku tidak kulupakan/ Kan terkenang selama hidupku/ Biarpun saja pergi djauh/ Tidak akan hilang dari kalbu/ Tanahku jang kutjintai/ Engkau kuhargai// Walaupun banjak negeri kudjalani/ Jang masjhur permai dikata orang/ Tetapi kampung dan rumahku/ Disanalah kurasa senang/ Tanahku tak kulupakan/ Engkau kubanggakan. Lirik di bagian belakang jarang terdengar.
Ibu Sud sudah menggubah lagu anak-anak sejak masa 1920-an. Sekian lagu mengabadi sampai sekarang. Pada lagu berjudul “Tanah Airku”, kita mendapat ajakan agar terjadi kepemilikan Tanah Air. Ketetapan untuk mencintai dan membala Tanah Air dilakukan dengan beragam cara. Kita menganggap lirik buatan Ibu Sud itu lebih mengesankan ketimbang buatan Pak Dal. Dua lagu dari masa lalu membuktikan ada siasat pertumbuhan makna Tanah Air melalui kata dan nada.
Kita lanjutkan menekuni puisi-puisi gubahan Jajak MD dibuat untuk anak-anak. Puisi-puisi mengenalkan keberagaman atau bhinneka tunggal ika. Sekian puisi dimuat dalam buku berjudul Tanah Airku Tercinta (1981). Suasana sudah berganti. Gubahan puisi-puisi berlatar Orde Baru. Indonesia sedang gencara dengan pembangunan nasional dijanjikan merata. Kita mengartikan pembangunan tidak cuma berpusat di Jawa.
Puisi terpilih berjudul “Saudaraku di Timur II”. Anak-anak dalam persatuan meski lahir dan tumbuh di pulau-pulau berbeda. Jajak MD mengungkapkan: Pembangunan kini dimulai/ dari pantai naik ke gunung/ Para nelayang menerima uluran/ petani menikmati kesempatan/ mengembangkan// Anak-anak mulai berkumpul/ bercelana dan belajar/ di tengah pikuknya orang tua/ menebang pohon/ menyiapkan desa// Kebersamaan dan gotong royong/ mendasarinya/ hidup rukun/ hidup bersahaja/ sama rasa/ dalam suka dan duka.
Puisi menggamblangkan propaganda ketimbang mengundang anak-anak belajar perbedaan berpijak cinta Tanah Air. Kita menilai puisi terlalu dibebani oleh pembangunanisme dan pesan-pesan klise biasa disampaikan para pejabat.
Propaganda makin terbaca dalam buku berjudul Indonesia, Tanah Airku Tercinta (1979) buatan pemerintah dalam kepentingan pengajaran sejarah. Penulisan buku bertujuan: “… usaha ikut menumbuhkan dan menanamkan semangat cinta Tanah Air dan bangsa dalam sanubari anak didik kita sebagai tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita Proklamasi.”
Buku serius dan tampang memiskinkan imajinasi. Konon, pengajuan fakta-fakta dipentingkan demi “kebenaran” sejarah. Kita mengenang rezim Orde Baru memang sangat memerlukan pengajaran sejarah dalam pamrih politis. Kebijakan berakibat murid-murid malah jenuh (belajar) sejarah saat tetap ingin memuliakan Tanah Air. Begitu.
