- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
JATAM: Tambang Raja Ampat Potret Pola Perampasan Berulang, Bukti Negara Dijarah Oligarki Ekstraktif
.jpg)
JAKARTA - Pertambangan nikel di Pulau
Gag, Raja Ampat, bukan peristiwa baru. Sejak 2017, PT Gag Nikel mendapatkan
izin menambang nikel seluas 13.136 hektare hingga 2047 dengan status Kontrak
Karya. Padahal, luas Pulau Gag hanya 6.500 hektare, seluas 6.034,42 hektare di
antaranya berstatus hutan lindung.
Artinya, perusahaan mendapatkan konsesi dua kali lipat lebih
luas dari luas seluruh daratan pulau. Dengan kata lain, PT Gag Nikel mencaplok
seluruh luas daratan dan perairan Pulau Gag. Dengan luas hanya 6.500 hektare,
Pulau Gag dikategorikan sebagai pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Menurut undang-undang tersebut, pulau kecil tidak boleh
ditambang. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang amar
putusannya menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana saat mengajukan uji materiil
terhadap pasal-pasal krusial mengenai larangan penambangan di pulau kecil, kian
meneguhkan prinsip pulau kecil haram untuk ditambang.
Baca Lainnya :
- Mentan Ungkap Kejanggalan Data Beras di Cipinang, Diduga Permainan Mafia Pangan0
- KKP Tangkap 2 Kapal Ikan Asal Malaysia di Selat Malaka0
- Dari Pesisir Nusa Lembongan, PLN Bangun Kemandirian Ekonomi Melalui Rumput Laut0
- Greenpeace Dukung Kongres Dunia Pertama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari Tiga Kawasan Hutan0
- Pengembangan Tempat Wisata Religi di TN Ujung Kulon, Merangkai Sejarah dan Kelestarian Alam 0
Sementara itu, secara umum Kepulauan Raja Ampat yang kerap
disanjung-sanjung oleh pemerintah sebagai destinasi pariwisata unggulan
Indonesia, tengah menanti perluasan kerusakan ekologi akibat aktivitas
pertambangan di lima konsesi.
Kelima konsesi tersebut dikelola oleh perusahaan yang
berbeda, tetapi komoditasnya sama: nikel, yang seluruhnya serupa bom waktu bagi
keelokan bentang alam Raja Ampat. Padahal, justru karena keelokan dan
keberlanjutan layanan fungsi alamnya itulah, Raja Ampat menjadi destinasi
wisata yang mendunia.
35 Pulau Kecil Dijarah Tambang
Pulau Gag hanya satu dari 35 pulau kecil di Indonesia yang
dijarah kegiatan tambang. Ironisnya, seluruhnya berlangsung dengan restu negara
dan atas nama pembangunan, tak sedikit mengatasnamakan 'pembangunan hijau'.
Saat ini, terdapat 195 izin pertambangan dengan luas total konsesi 351.933
hektare yang mencaplok 35 pulau kecil Indonesia.
Padahal, pertambangan di pulau kecil merupakan petaka bagi
masyarakat dan seluruh kehidupan di dalamnya. Pulau kecil memiliki kerentanan
sangat tinggi terhadap sekecil apa pun perubahan bentang alamnya. Hutan-hutan
di pulau kecil merupakan benteng perlindungan alami bagi masyarakat dan
keanekaragaman hayati. Mulai dari menjaga iklim mikro, mengatur tata kelola
air, menjaga sumber pangan dan sumber air, hingga menjadi salah satu benteng
pertahanan alami dari bencana seperti rob hingga tsunami.
Pertambangan di pulau kecil juga akan menghancurkan
satu-satunya ruang kehidupan warga. Aktivitas pertambangan, apa pun
komoditasnya, memiliki karakter rakus lahan sehingga dapat akan menghancurkan
sumber air, sumber pangan, sumber obat-obatan herbal tradisional, serta
berbagai ruang produksi tradisional warga pulau kecil. Sehingga, pertambangan
di pulau kecil sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan.
Sementara itu, lebih dari 79 orang warga pulau kecil yang
sedang berjuang mempertahankan ruang hidup satu-satunya tersebut
dikriminalisasi tanpa tedeng aling-aling. Warga dipukul, ditangkap,
dikriminalisasi, dan bahkan mendekam di penjara, hanya karena mempertahankan
tanah dan laut yang telah mereka jaga turun-temurun.
Mereka diadang dengan berbagai pasal yang menjerat
kemerdekaan. Mulai dari pasal 310 KUHP mengenai pencemaran nama baik, pasal 162
Undang-Undang Mineral dan Batu bara yang mengatur pidana bagi setiap orang yang
dianggap merintangi kegiatan pertambangan, pasal 170 KUHP mengenai kekerasan
terhadap orang atau barang, hingga pasal 333 KUHP mengenai perampasan
kemerdekaan seseorang.
Padahal, sederet pasal tersebut kerap ditetapkan secara
asal, alias tanpa memiliki dasar hukum yang kuat, yang justru menjadi ancaman
terbesar bagi kemerdekaan dan perjuangan warga pulau kecil mempertahankan ruang
hidupnya. Di pulau kecil Wawonii, misalnya, sudah ada 44 warganya yang
mengalami kriminalisasi tak lama setelah mereka mengadakan aksi menolak
keberadaan konsesi tambang.
Ironisnya praktik penjarahan pulau kecil, seperti Pulau Gag,
didukung penuh oleh negara-korporasi melalui tangan-tangan Kementerian Energi
dan Sumber Daya Manusia (ESDM) yang dipimpin Bahlil Lahadalia. Di saat publik
tengah menyoroti keberadaan konsesi tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat,
khususnya Pulau Gag, Kementerian ESDM dengan lantang mengatakan tak ada masalah
dalam pertambangan nikel di Raja Ampat, tak ada kerusakan.
Ini merupakan sebuah kebohongan luar biasa. Menurut analisis
citra satelit, deforestasi Pulau Gag sepanjang 2017 hingga 2024 telah mencapai
262 hektare. Ini belum termasuk dengan kerusakan wilayah pesisir akibat
sedimentasi bekas galian, kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi yang
terbawa hingga ke laut dan lalu lalang kapal tongkang pengangkut nikel, serta
pantai yang tertutup lumpur.
Bahlil juga secara terang-terangan menepis kekhawatiran
publik mengenai dampak aktivitas pertambangan nikel terhadap pariwisata di
Kepulauan Raja Ampat. Ia menganggap lokasi tambang Pulau Gag yang 'hanya'
berjarak 30 hingga 40 kilometer tidak akan berdampak pada aktivitas pariwisata
Raja Ampat.
Setali tiga uang. Mulai dari bupati dan gubernur kompak
menutupi kerusakan yang terjadi dan membuat konferensi pers untuk menyebutkan
seluruh kerusakan ekologi yang telah terjadi di Pulau Gag adalah hoax. Kini
menjadi sangat jelas bahwa Bupati Raja Ampat Orideko Burdam dan Gubernur Papua
Barat Daya Elisa Kambu tidak pernah berpihak pada kelestarian alam Pulau Gag.
Dalam konteks bernegara, menjadi terang bahwa negara yang
yang seharusnya menjadi pelindung bagi lingkungan dan masyarakat, justru
berperan sebagai kaki tangan korporasi dalam mengeksploitasi sumber daya alam
tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Dengan dalih pembangunan
ekonomi, pemerintah mengabaikan prinsip keberlanjutan dan malah memberikan
legitimasi terhadap praktik yang merusak ekosistem Raja Ampat.
Ketidakpatuhan Terhadap Putusan MA dan MK
Pulau Gag, yang merupakan bagian dari kawasan konservasi
laut dunia, kini berubah menjadi korban kerakusan industri ekstraktif yang
didukung oleh kebijakan yang tidak transparan dan minim akuntabilitas. Tindakan
pemerintah yang secara sistematis menyangkal kerusakan lingkungan dan
menutup-nutupi fakta, lebih dari cukup untuk menunjukkan topeng asli negara
sebagai pelaku utama kejahatan ekologis dan hanya mewariskan utang ekologis
bagi generasi mendatang.
Ini terus berjalan di atas pemerintahan yang terus-menerus
abai terhadap supremasi hukum. Padahal hukum merupakan panglima tertinggi
negara Indonesia yang kerap mendaku diri sebagai negara hukum. Sikap abai ini
tercermin dalam lemahnya penegakan hukum di pulau-pulau kecil seperti Wawonii
dan Sangihe.
Meskipun Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan empat putusan
dan satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tegas melarang aktivitas
pertambangan di wilayah pulau kecil Indonesia dan telah berkekuatan hukum tetap
(Inkracht Van Gewijsde), eksekusi atas keputusan tersebut masih terbatas pada
ranah administrasi perizinan. Namun penghentian total aktivitas di lapangan
sebagaimana mandat utama putusan tersebut tak pernah dilakukan.
Ketidakpatuhan terhadap putusan MA dan MK semakin
memperjelas bahwa negara bukan hanya abai, tetapi juga turut serta dalam
membiarkan kejahatan ekologis terjadi. Pulau Sangihe, misalnya, telah menjadi
simbol perlawanan masyarakat terhadap tambang ilegal, namun meskipun berbagai
putusan hukum telah memenangkan warga, perusahaan tambang tetap beroperasi
tanpa hambatan. Hal yang sama terjadi di Wawonii.
Ketika hukum hanya menjadi formalitas tanpa implementasi,
negara kehilangan legitimasi sebagai pelindung rakyat dan dengan mudah berubah
wujud menjadi penindas bagi rakyatnya sendiri.
Karena itu, kami secara terbuka menantang pemerintah segera
memenuhi tuntutan kami. Kami tidak menginginkan pemerintah yang hanya melakukan
klarifikasi dan berpidato di podium, melakukan penyegelan dan moratorium palsu.
Kami menantang pemerintah untuk melakukan:
1. Mencabut semua regulasi yang melegalkan tambang di pulau
kecil, termasuk Undang-Undang Mineral dan Batu bara dan aturan turunannya.
2. Menyusun perlindungan hukum yang tegas dan tanpa celah
untuk pulau-pulau kecil.
3. Menghapus semua rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang
mengakomodasi kepentingan tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
4. Menghentikan, Mengevaluasi, Mengaudit dan serta mencabut
seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil yang sudah terlanjur dieksploitasi.
5. Berhenti menerbitkan izin tambang baru di pulau kecil
Indonesia.
