- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Buku Pelajaran dan Ketokohan
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Ritual Pemindahan Benda Pusaka di Situs Kabuyutan Ciburuy Garut0
- Ratusan Jurnalis Terkemuka Dunia Tuntut Akses Masuk ke Gaza0
- AMAN Kecam Perusakan Situs Masyarakat Adat di Minahasa Tenggara0
- Lokasi Ini Diyakini Titik Nabi Musa Membelah Laut Merah dan Menenggelamkan Firaun 0
- Deklarasi Sorong: 7 Wilayah Adat Papua Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat0
DI buku pelajaran SD masa Orde
Baru, kita mengingat sejarah itu tokoh-tokoh. Buku berjudul Indonesia Tanah
Airku Tercinta (1979) terbitan Balai Pustaka memiliki pengantar terbukti
berpengaruh di kepala murid-murid: Kita mengutip: “Pengetahuan mengenai sejarah
bangsa sendiri sangatlah perlu karena akan dapat menumbuhkan kebanggaan dan
kecintaan pada bangsa dan negara sendiri.”
“Di masa penjajahan (Belanda dan Jepang), sejarah bangsa
kita telah diputar-balik dan disembunyi-sembunyikan, sehingga kebanyakan pemuda
yang memperoleh kesempatan masuk sekolah di masa itu sama sekali tidak
mengetahui dan memahami sejarah bangsanya yang sesungguhnya. Kebanyakan mereka
itu bahkan menganggap pahlawan-pahlawan bangsa seperti Pangeran Diponegoro,
Teuku Umar, Trunojoyo, dan lain-lain sebagai pengkhianat bangsa karena
begitulah yang diajarkan kepada mereka.”
Kita diajak mengingat babak silam saat para pengajar di
sekolah-sekolah masa kolonial memberi kesesatan sejarah kepada murid-murid
bumiputra. Dulu, buku-buku pelajaran disusun oleh para sarjana dan pengajar
Belanda. Mereka memiliki kepentingan-kepentingan (politis) dalam pengajaran
sejarah berakibat murid-murid bumiputra sulit mengetahui ketokohan di
Nusantara. Sejarah justru disengaja menjadikan murid-murid bumiputra “tertutup”
dari kebenaran-kebenaran.
Pada 1946, sekian bulan setelah Proklamasi, buku berjudul
Sedjarah Indonesia susunan Sanoesi Pane dipelajari para murid dalam arus
revolusi. Buku terbitan Balai Pustakan itu mengenalkan sejarah melalui para
tokoh dan perang-perang pernah terjadi di Indonesia. Buku cetakan ketiga
mengartikan pengajaran sejarah gencar dilakukan di sekitar Perang Dunia II.
Ada bab cukup panjang berjudul “Perang Diponegoro”. Kita
membaca lagi dan mengutip mumpung peringatan 200 tahun Perang Jawa atau Perang
Diponegoro. Perang terjadi pada 1825-1830. Kita berjarak jauh tapi buku-buku
lawas agak sedikit “mendekatkan” meski tak selalu benar.
Pada masa awal kemerdekaan, penjelasan tentang perang ingin
berdampak besar agar tumbuh keberanian demi kedaulatan Indonesia. Heroisme pun
disemai dengan pengenalan tokoh-tokoh besar. Pada saat terjadi perang
kemerdekaan, murid-murid melalui buku Sanoesi Pane “merekonstruksi” Perang Jawa
dan mengenali ketokohan Pangeran Diponegoro.
Kita mengandaikan menjadi murid saat Proklamasi menentukan
nasib Indonesia dan revolusi sedang membara membawa seribu risiko. Murid
mendapat pengenalan: “Pangeran Diponegoro, nama ketjilnja Ontowirjo, ialah
poetera Soeltan Amangkoe Boewono III jang soeloeng dari garwa ampejan, Ia lahir
kira-kira tahoen 1715. Mojangnja, Ratoe Ageng, djanda Soeltan Amangkoe Boewono
I, mendirikan seboeah gedoeng ditanah datar dekat Djokja. Tempat itoe
diseboetnja Tegalredjo. Diponegoro dibawa oleh Ratoe Ageng kesana dan ditempat
itoelah ia diasoeh. Ratoe Ageng sangat saleh. Banjak santri jang mengoendjoengi
Tegalredjo. Demikianlah, Diponegoro poen djadi alim benar….”
Murid-murid bertemu tokoh dalam asuhan religius. Mereka
mudah mencocokkan dengan gambar Pangeran Diponegoro tercetak di buku pelajaran
atau poster. Penampilan tokoh memang mengesankan kesalehan. Pengenalan melalui
gambar kadang mencipta imajinasi membutuhkan keselarasan dengan studi
kepustakaan digunakan dalam pembuatan buku-buku pelajaran (sejarah).
Heroisme mulai disampaikan agar murid-murid memiliki bekal
mengingat Perang Diponegoro atau Perang Jawa: “Menoeroet keterangan Diponegoro,
soerat itoe baroe dimoelai ketika kedengaran boenji senapang dan meriam.
Roepanja lasjkar Belanda telah datang menjerang. Diponegoro poen menjoeroeh
pasoekan-pasoekan jang ada disekelilingnja melawan lasjkar Belanda.”
“Diponegoro mendapat kabar bahwa barisan-barisannja telah
moendoer sebab lasjkar Belanda lebih koeat. Mangkoeboemi mendesak Diponegoro
melarikan diri. Mereka itoe naik koeda. Beberapa lamanja mereka itoe dikedjar
oleh serdadoe-serdadoe Belanda jang berkoeda, akan tetapi mereka itoe dapat
djoega melarikan diri…. Demikianlah permoelaan Perang Diponegoro itoe pada 20
Djoeli tahoen 1825.”
Murid-murid biasa penasaran dengan perang. Mereka ingin
(lekas) mengetahui pihak-pihak meraih kemenangan atau menanggunggkan kekalahan.
Perang itu tak seimbang dalam taktik dan persenjataan. Para murid berharap
Pangeran Diponegoro menang. Sejarah tak selalu sesuai “keinginan” murid-murid.
Perang penting dalam sejarah itu membuat murid-murid tersadarkan penangkapan
Pangeran Diponegoro.
Tahun-tahun berlalu, buku-buku dipelajari pada masa revolusi
dan masa Orde itu terlupakan. Kita bisa membuat sangkaan buku-buku pelajaran
itu wajib mendapatkan ralat berdasarkan sumber-sumber “sahih” kepustakaan dalam
beragam bahasa. Studi-studi mengenai Pangeran Diponegoro atau Perang Jawa
mengungkapkan hal-hal “baru” menjadikan murid-murid atau peminat sejarah tak
harus merujuk buku-buku pelajaran lama pernah diajarkan di sekolah-sekolah.
Kita mendapat hasil kajian serius oleh Peter Carey melalui
buku berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di
Jawa, 1785-1855 (2012). Studi dilakukan selama puluhan tahun. Para pembaca
menemukan “kejutan-kejutan” sambil tergoda membandingkan dengan sumber-sumber
bacaan berbeda.
Peter Carey menjelaskan Perang Jawa (1925-1830): “… Untuk
pertama kali, suatu pemerintahan kolonial Eropa berhadapan dengan pemberontakan
masyarakat yang meliputi sebagian besar wilayah pulau itu. Sebagian besar Jawa
tengah dan timur, serta banyak daerah pasisir (pantai utara) terlibat. Dua juta
orang Jawa – sepertiga jumlah seluruh penduduknya – menderita akibat perang,
seperempat luas seluruh daerah pertanian Jawa rusak, dan sekitar 200.000 orang
Jawa menjadi korban.”
Buku tiga jilid bila terbaca oleh murid atau guru bakal
menimbulkan pemahaman “berbeda” dibandingkan saat mereka membaca buku-buku
pelajaran sejarah dibuat berdasarkan kurikulum-kurikulum (biasa) berganti, dari
masa ke masa.
Pengenalan atas peran dan pengaruh Pangeran Diponegoro terus
diusahakan Peter Carey. Di suguhan berbeda, para pembaca membuka
halaman-halaman buku berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855
(2014) susunan Peter Carey. Kita pernah membaca buku-buku pelajaran lawas
memuat halaman untuk biografi Pangeran Diponegoro boleh terpikat dengan
kecermatan Peter Carey menghimpun pelbagai sumber untuk diceritakan secara
panjang.
Penulisan buku itu terpicu: “sejarah kini kelihatannya
kurang dihargai di Republik ini.” Ia pun mengungkapkan: “Sejak Indonesia
merdeka pada 1945, baru muncul sedikit kajian tentang Pangeran Diponegoro yang
ditulis dalam bahasa Indonesia.” Kita teringat bab dibuat Sanoesi Pane (1946)
memang tak memadai untuk membuat murid-murid mengenali dan menghormati Pangeran
Diponegoro.
Pada 2023, terbit buku berjudul Pembalasan Dendam
Diponegoro: Awal dan Akhir Hindia Belanda susunan Martin Bossenbroek. Kita
mendapat gambaran heroik saat perang berkobar di Jawa abad XIX: “Di depan mata,
Diponegoro seperti telah siap. Dia berpakaian serba putih dalam gaya Arab
dengan tiga keris mencuat di sabuknya. Namun, di dalam hati, ia belum siap.
Sementara itu pertempuran berkobar… Penampilan Diponegoro, jubah putih berkibar
di atas kuda hitam mengkilat dengan
empat kakinya yang putih, tidak luput dari perhatian.”
Kita mengenang perang dan tokoh. Kita belajar lagi sejarah,
tak selalu melalui buku-buku pelajaran di sekolah. Konon, buku-buku pelajaran
kadang tak mengakrabkan murid-murid dengan sejarah tapi memberi kejenuhan dan
“pemaksaan” demi nilai berupa angka. Begitu.
