Buku Pelajaran dan Ketokohan

By PorosBumi 07 Agu 2025, 07:36:18 WIB Tilikan
Buku Pelajaran dan Ketokohan

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

DI buku pelajaran SD masa Orde Baru, kita mengingat sejarah itu tokoh-tokoh. Buku berjudul Indonesia Tanah Airku Tercinta (1979) terbitan Balai Pustaka memiliki pengantar terbukti berpengaruh di kepala murid-murid: Kita mengutip: “Pengetahuan mengenai sejarah bangsa sendiri sangatlah perlu karena akan dapat menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan pada bangsa dan negara sendiri.”

“Di masa penjajahan (Belanda dan Jepang), sejarah bangsa kita telah diputar-balik dan disembunyi-sembunyikan, sehingga kebanyakan pemuda yang memperoleh kesempatan masuk sekolah di masa itu sama sekali tidak mengetahui dan memahami sejarah bangsanya yang sesungguhnya. Kebanyakan mereka itu bahkan menganggap pahlawan-pahlawan bangsa seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Trunojoyo, dan lain-lain sebagai pengkhianat bangsa karena begitulah yang diajarkan kepada mereka.”

Kita diajak mengingat babak silam saat para pengajar di sekolah-sekolah masa kolonial memberi kesesatan sejarah kepada murid-murid bumiputra. Dulu, buku-buku pelajaran disusun oleh para sarjana dan pengajar Belanda. Mereka memiliki kepentingan-kepentingan (politis) dalam pengajaran sejarah berakibat murid-murid bumiputra sulit mengetahui ketokohan di Nusantara. Sejarah justru disengaja menjadikan murid-murid bumiputra “tertutup” dari kebenaran-kebenaran.

Pada 1946, sekian bulan setelah Proklamasi, buku berjudul Sedjarah Indonesia susunan Sanoesi Pane dipelajari para murid dalam arus revolusi. Buku terbitan Balai Pustakan itu mengenalkan sejarah melalui para tokoh dan perang-perang pernah terjadi di Indonesia. Buku cetakan ketiga mengartikan pengajaran sejarah gencar dilakukan di sekitar Perang Dunia II.

Ada bab cukup panjang berjudul “Perang Diponegoro”. Kita membaca lagi dan mengutip mumpung peringatan 200 tahun Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Perang terjadi pada 1825-1830. Kita berjarak jauh tapi buku-buku lawas agak sedikit “mendekatkan” meski tak selalu benar.

Pada masa awal kemerdekaan, penjelasan tentang perang ingin berdampak besar agar tumbuh keberanian demi kedaulatan Indonesia. Heroisme pun disemai dengan pengenalan tokoh-tokoh besar. Pada saat terjadi perang kemerdekaan, murid-murid melalui buku Sanoesi Pane “merekonstruksi” Perang Jawa dan mengenali ketokohan Pangeran Diponegoro.

Kita mengandaikan menjadi murid saat Proklamasi menentukan nasib Indonesia dan revolusi sedang membara membawa seribu risiko. Murid mendapat pengenalan: “Pangeran Diponegoro, nama ketjilnja Ontowirjo, ialah poetera Soeltan Amangkoe Boewono III jang soeloeng dari garwa ampejan, Ia lahir kira-kira tahoen 1715. Mojangnja, Ratoe Ageng, djanda Soeltan Amangkoe Boewono I, mendirikan seboeah gedoeng ditanah datar dekat Djokja. Tempat itoe diseboetnja Tegalredjo. Diponegoro dibawa oleh Ratoe Ageng kesana dan ditempat itoelah ia diasoeh. Ratoe Ageng sangat saleh. Banjak santri jang mengoendjoengi Tegalredjo. Demikianlah, Diponegoro poen djadi alim benar….”

Murid-murid bertemu tokoh dalam asuhan religius. Mereka mudah mencocokkan dengan gambar Pangeran Diponegoro tercetak di buku pelajaran atau poster. Penampilan tokoh memang mengesankan kesalehan. Pengenalan melalui gambar kadang mencipta imajinasi membutuhkan keselarasan dengan studi kepustakaan digunakan dalam pembuatan buku-buku pelajaran (sejarah).

Heroisme mulai disampaikan agar murid-murid memiliki bekal mengingat Perang Diponegoro atau Perang Jawa: “Menoeroet keterangan Diponegoro, soerat itoe baroe dimoelai ketika kedengaran boenji senapang dan meriam. Roepanja lasjkar Belanda telah datang menjerang. Diponegoro poen menjoeroeh pasoekan-pasoekan jang ada disekelilingnja melawan lasjkar Belanda.”

“Diponegoro mendapat kabar bahwa barisan-barisannja telah moendoer sebab lasjkar Belanda lebih koeat. Mangkoeboemi mendesak Diponegoro melarikan diri. Mereka itoe naik koeda. Beberapa lamanja mereka itoe dikedjar oleh serdadoe-serdadoe Belanda jang berkoeda, akan tetapi mereka itoe dapat djoega melarikan diri…. Demikianlah permoelaan Perang Diponegoro itoe pada 20 Djoeli tahoen 1825.”

Murid-murid biasa penasaran dengan perang. Mereka ingin (lekas) mengetahui pihak-pihak meraih kemenangan atau menanggunggkan kekalahan. Perang itu tak seimbang dalam taktik dan persenjataan. Para murid berharap Pangeran Diponegoro menang. Sejarah tak selalu sesuai “keinginan” murid-murid. Perang penting dalam sejarah itu membuat murid-murid tersadarkan penangkapan Pangeran Diponegoro.

Tahun-tahun berlalu, buku-buku dipelajari pada masa revolusi dan masa Orde itu terlupakan. Kita bisa membuat sangkaan buku-buku pelajaran itu wajib mendapatkan ralat berdasarkan sumber-sumber “sahih” kepustakaan dalam beragam bahasa. Studi-studi mengenai Pangeran Diponegoro atau Perang Jawa mengungkapkan hal-hal “baru” menjadikan murid-murid atau peminat sejarah tak harus merujuk buku-buku pelajaran lama pernah diajarkan di sekolah-sekolah.

Kita mendapat hasil kajian serius oleh Peter Carey melalui buku berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2012). Studi dilakukan selama puluhan tahun. Para pembaca menemukan “kejutan-kejutan” sambil tergoda membandingkan dengan sumber-sumber bacaan berbeda. 

Peter Carey menjelaskan Perang Jawa (1925-1830): “… Untuk pertama kali, suatu pemerintahan kolonial Eropa berhadapan dengan pemberontakan masyarakat yang meliputi sebagian besar wilayah pulau itu. Sebagian besar Jawa tengah dan timur, serta banyak daerah pasisir (pantai utara) terlibat. Dua juta orang Jawa – sepertiga jumlah seluruh penduduknya – menderita akibat perang, seperempat luas seluruh daerah pertanian Jawa rusak, dan sekitar 200.000 orang Jawa menjadi korban.”

Buku tiga jilid bila terbaca oleh murid atau guru bakal menimbulkan pemahaman “berbeda” dibandingkan saat mereka membaca buku-buku pelajaran sejarah dibuat berdasarkan kurikulum-kurikulum (biasa) berganti, dari masa ke masa.

Pengenalan atas peran dan pengaruh Pangeran Diponegoro terus diusahakan Peter Carey. Di suguhan berbeda, para pembaca membuka halaman-halaman buku berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855 (2014) susunan Peter Carey. Kita pernah membaca buku-buku pelajaran lawas memuat halaman untuk biografi Pangeran Diponegoro boleh terpikat dengan kecermatan Peter Carey menghimpun pelbagai sumber untuk diceritakan secara panjang.

Penulisan buku itu terpicu: “sejarah kini kelihatannya kurang dihargai di Republik ini.” Ia pun mengungkapkan: “Sejak Indonesia merdeka pada 1945, baru muncul sedikit kajian tentang Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam bahasa Indonesia.” Kita teringat bab dibuat Sanoesi Pane (1946) memang tak memadai untuk membuat murid-murid mengenali dan menghormati Pangeran Diponegoro.

Pada 2023, terbit buku berjudul Pembalasan Dendam Diponegoro: Awal dan Akhir Hindia Belanda susunan Martin Bossenbroek. Kita mendapat gambaran heroik saat perang berkobar di Jawa abad XIX: “Di depan mata, Diponegoro seperti telah siap. Dia berpakaian serba putih dalam gaya Arab dengan tiga keris mencuat di sabuknya. Namun, di dalam hati, ia belum siap. Sementara itu pertempuran berkobar… Penampilan Diponegoro, jubah putih berkibar di atas kuda hitam mengkilat  dengan empat kakinya yang putih, tidak luput dari perhatian.”

Kita mengenang perang dan tokoh. Kita belajar lagi sejarah, tak selalu melalui buku-buku pelajaran di sekolah. Konon, buku-buku pelajaran kadang tak mengakrabkan murid-murid dengan sejarah tapi memberi kejenuhan dan “pemaksaan” demi nilai berupa angka. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment