- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Deklarasi Sorong: 7 Wilayah Adat Papua Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat

SORONG - Desakan untuk mengesahkan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat kembali bergaung. Kali ini dari
Kota Sorong, Papua Barat Daya. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Region Papua
menyelenggarakan konsultasi publik pada tanggal 31 Juli 2025. Acara yang
digelar untuk membuka ruang partisipasi publik dalam proses legislasi RUU
Masyarakat Adat ini melahirkan Deklarasi 7 Wilayah Adat Tanah Papua di Sorong.
Melalui deklarasi ini, masyarakat adat di 7 wilayah adat di
Tanah Papua yang hadir dalam konsultasi publik ini mendeklarasikan dua poin
pernyataan sikap. Pertama, bahwa mereka mendesak Badan Legislasi DPR RI untuk
mengakomodasi hasil-hasil konsultasi publik RUU Masyarakat Adat Region Papua
sebagaimana yang terlampir pada deklarasi ini. Kedua, mereka juga mendesak
Presiden RI, Prabowo Subianto beserta pimpinan DPR RI untuk segera mengesahkan
UU Masyarakat Adat dalam masa sidang tahun 2025.
“Berbagai peraturan yang ada selalu dibenturkan mengenai
keberadaan masyarakat adat dan ruang hidupnya. RUU MA diharapkan bisa
menganulir kompleksitas pengkauan masyarakat adat yang selama ini menemui
banyak hambatan,” kata Erasmus Cahyadi, Sekretaris Jendral AMAN.
Baca Lainnya :
- Sekolah Wong Cilik, Sandiwara Generasi (C)emas0
- Kepala BP Taskin Siap Sampaikan Keluhan Warga Adat Jimbaran kepada Presiden0
- Rempah-rempah: Komoditas Strategis dalam Sejarah Penjajahan Indonesia0
- Jangan Asal Klik! Penipuan Berkedok Paket Bisa Kuras Data dan Uangmu0
- Ingin Mulai Jadi Kreator Konten? Ini 9 Alat Pemotretan Yang Kamu Butuhkan0
Hampir dua dekade sejak pertama kali diusulkan tahun 2009,
RUU Masyarakat Adat masih belum juga disahkan. Sepanjang itu pula, masyarakat
adat tak kunjung mendapatkan pelindungan hukum. Padahal, RUU Masyarakat Adat
sudah tiga kali masuk ke dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas)
pada 2014, 2024, dan 2025.
Menurut Frida Klassin, perwakilan komunitas masyarakat adat,
keterlibatan masyarakat adat dalam perancangan RUU Masyarakat Adat sangat
krusial, karena regulasi ini akan sangat berpengaruh pada ruang hidup
masyarakat adat yang makin tergerus habis. “Apa jadinya masyarakat adat kalau
tidak ada RUU Masyarakat Adat? Khususnya di Papua, bahasa, marga, dusun,
kampung, laut, hingga hutan, itu melekat dengan masyarakat adat. Saya mencatat
setiap aspirasi kami yang hidup, kami yang tinggal, kami yang punya. Tanah Papua
bukan tanah kosong. Tanah Papua adalah tanah marga,” tegas Frida.
Mengundang pemerintah daerah setempat, akademisi, serta
komunitas masyarakat adat di Tanah Papua, konsultasi ini dirancang untuk
mewadahi aspirasi dari berbagai sektor. Greenpeace Indonesia ikut mengawal
proses konsultasi publik ini sebagai fasilitator.
“Secara khusus, Papua merupakan wilayah dengan keragaman
masyarakat adat yang sangat tinggi dan struktur sosial-budaya yang khas. Di
tengah ancaman ekspansi industri ekstraktif, pembangunan infrastruktur, dan
perubahan tata ruang, kebutuhan akan pelindungan hukum bagi masyarakat adat
Papua menjadi sangat mendesak. RUU Masyarakat Adat harus mampu mengakomodasi
hak kolektif masyarakat adat Papua dalam kerangka otonomi khusus, pluralisme
hukum, serta pengakuan terhadap sistem nilai lokal yang hidup dan dinamis,”
ujar Rossy You, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Papua Barat Daya, Ahmad
Nausrau, menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat bukan sekadar produk hukum
formal, tetapi adalah sarana transformasi keadilan sosial, keadilan ekologis,
dan penguatan identitas bangsa.
“Negara harus menjamin bahwa masyarakat adat mendapatkan
pelindungan atas tanah dan wilayahnya, atas budayanya, dan atas sistem nilai
yang mereka junjung tinggi. Saya mengajak semua pihak untuk menjadikan proses
ini sebagai bagian dari gerakan bersama membangun masa depan Papua dan
Indonesia yang menghormati keberagaman, menjunjung tinggi keadilan, dan menjaga
keberlanjutan hidup di atas tanah leluhur kita bersama,” ujarnya.
