- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Sekolah Wong Cilik, Sandiwara Generasi (C)emas
.jpg)
Anton Suparyanta
Manajer Divisi Seni di Intan Pariwara Edukasi
Baca Lainnya :
- Kepala BP Taskin Siap Sampaikan Keluhan Warga Adat Jimbaran kepada Presiden0
- Rempah-rempah: Komoditas Strategis dalam Sejarah Penjajahan Indonesia0
- Jangan Asal Klik! Penipuan Berkedok Paket Bisa Kuras Data dan Uangmu0
- Ingin Mulai Jadi Kreator Konten? Ini 9 Alat Pemotretan Yang Kamu Butuhkan0
- Pertamina Group Kembangkan Pusat Rehabilitasi Orang Utan di Kaltim0
LABEL sekolah wong cilik “Sekolah
Rakyat” makin eksis. “Makin inklusif, makin berdampak” menjadi aksesori tagline
ekosistem pendidikan teranyar. Tak sekadar promosi, justru bangkit populis pada
era gandrung digital ini. Tapi ambisinya makin digempur campur tangan kuasa
senyap algoritma akal imitasi (AI generatif dan agen AI).
Gen Z (digital natives: internet dan medsos) dan gen
Alpha (high tech dan super-AI), sebagai calon-calon murid sekolah wong
cilik, sudah terjangkit mental brain rot. Mental adiksi, mental cemas,
dan takut kehilangan/ketinggalan segalanya dari gawai. Derita FOMO. Lalu,
seberapa militankah stakeholder yang mengampunya ketika jagat pendidikan
nasional tidak kapabel mencacah kapitalisasi yang telanjur menggurita dan
terjebak default pada permainan peringkat atau kastanisasi? Sandiwara
uang?
Mampukah kiprah labeling sekolah wong cilik menjadi trigger
dasar pendidikan dengan visi terbaru? Mampukah membuktikan idealisasinya dari
kritikan binaan persekolahan karbitan? Atau menjadi jalan tol untuk pembaharuan
pendidikan terbaru yang melampaui moto memuliakan manusia baru?
Inpres RI Nomor 8 Tahun 2025 dari pemerintahan Prabowo
Subianto menetapkan pendidikan ambisius dan multidimensional, yaitu wujud
Sekolah Rakyat. Terutama diktum keempat, nomor 7-10 menjadi arah dasar
prakarsa. Inpres ini dipertegas Kepmensos RI Nomor 49/HUK/2025 tentang tim
formatur penyelenggaraan Sekolah Rakyat. Dua dasar hukum inilah menyangga satu
kategori baru untuk sekolah pemerintah di Indonesia. Selamat datang sekolah
wong cilik “Sekolah Rayat” untuk TAB 2025/2026 ini.
Sekolah Rakyat adalah ide besar Presiden Prabowo untuk
memuliakan keluarga miskin dan memfasilitasi kebangkitan wong cilik. Bukanlah
sekadar reborn SR Hindia Belanda silam, tetapi visi-misi sekolah baru
era melek literasi digital. Harus dikawal dan dibuktikan. Sekolah Rakyat
dikomando Saifullah Yusuf, Mensos RI. Mengapa harus “titip” ke Kemensos?
Programasi ini hendak mengatasi aspek krusial dalam pembangunan sumber daya
manusia Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045. Utopia baru.
Fundamen pendidikan pemerintahan Prabowo-Gibran mengalirkan
cita-cita awal. Janji “Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas
2045". Visi berkelanjutan dari fondasi kepemimpinan sebelumnya. Visi
Sekolah Rakyat adalah “mencetak agen perubahan pada setiap keluarga miskin
melalui pendidikan berkualitas guna memutus transmisi kemiskinan.” Dalam
kerangka Asta Cita atau delapan misi utama, pengembangan sumber daya manusia
(SDM), ekonomi inklusif, nilai kebangsaan-kearifan lokal, dan kesehatan menjadi
prioritas garapan.
Aksi program Sekolah Rakyat memutus mata rantai kemiskinan
melalui pendidikan gratis, berasrama (boarding school), memberdayakan
anak-anak dari keluarga kurang mampu (miskin/miskin ekstrem), unggul akademik,
guru pilihan, dan cakap karakter tangguh sebagai agen perubahan. Inilah
investasi strategis yang visioner. Kurikulumnya dirancang secara tailor-made
(khusus dan kontekstual).
Terjadi sinergi kurikulum nasional dengan khas lokal yang
mencakup tiga muatan. Ada kurikulum persiapan (talent mapping dengan
asesmen fisik, mental, akademik); kurikulum sekolah formal (intrakurikuler,
kokurikuler, ekstrakurikuler); dan kurikulum asrama/boarding (karakter,
kepemimpinan, spiritualitas, cinta tanah air, bahasa, dan komunikasi). Demikian
ditulis pada laman Sekolahrakyat.kemensos.go.id, 2025.
Ketua Formatur Sekolah Rakyat, Prof. Muhammad Nuh,
meyakinkan bahwa sekolah ini menerapkan berbagai keterampilan, termasuk coding,
cyber security, data science, dan sertifikasi kompetensi digital.
Sertifikasi ini menjadi garansi studi lanjut atau bekal administrasi bursa
kerja industri. Syaratnya, rombongan-belajar murid dibatasi kuota, seleksi, IQ,
pun jaminan kesehatan.
Sentilan Presiden Prabowo untuk Sekolah Rakyat, "Anak
orang kurang mampu tidak boleh miskin. Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak
boleh jadi pemulung. Kita harus berdayakan," (Kemensos.go.id,
2025).
Etos ini menggarisbawahi tekad untuk menyediakan jalur
transformatif bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Memastikan
mereka tidak terbelenggu dalam impitan ekonomi yang sama dengan orang tua.
Incaran Tahun Ajaran Baru 2025/2026 ini adalah Sekolah Rakyat jenjang SMA,
kemudian baru digenjot SMP dan SD. Seberapa siapkah tata kelola SDM, sarana,
dan prasarananya?
Laman Sekolah Rakyat menuliskan ada 200 sekolah, 100
dibangun dengan dana APBN, 100 dibangun swasta dan kolaborasinya. Ada 100 titik
lokasi ditarget tahun 2025. Baru 64 lokasi yang siap kontrak: Sumatra (13
lokasi), Jawa (34 lokasi), Kalimantan (3 lokasi), Sulawesi (8 lokasi), Bali dan
Nusa Tenggara (3 lokasi), Maluku (2 lokasi), serta Papua (1 lokasi).
Bagaimanakah titik lokasi Sekolah Rakyat di daerah sekitar Anda?
Prof Abdul Mu’ti mengimbuhi promosi Sekolah Rakyat butuh
60.000 guru. Guru bisa diincar dari guru ASN yang ditugaskan pemerintah, guru
P3K penuh waktu yang sesuai regulasi dan paruh waktu sesuai pengajaran, dan
lulusan PPG yang diseleksi sebagai calon guru baru. Angka ini menunjukkan
tantangan besar. Ada peluang kerja baru. Ada peluang juga untuk sukses
programasi Guru Mentor sesuai janji tulis pada Naskah Akademik, Pembelajaran
Mendalam Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua (Kemdikdasmen, 2025).
Pemerintah telah memulai langkah-langkah strategis untuk
memastikan bahwa Sekolah Rakyat dapat beroperasi dengan baik. Pemerintah
mengalokasikan dana khusus untuk pelatihan guru dan pengadaan sarana pun
prasarana. Jajak dukungan dari lembaga pendidikan dengan swasta telah
dilakukan. Misinya memastikan standar pendidikan yang tinggi dapat diraih.
Salah satu tujuan utama Sekolah Rakyat adalah membangun
karakter dan kemandirian murid. Sekolah akan menerapkan program spesial demi
membangkitkan karakter tangguh dan kemandirian. Program ini termasuk pelatihan
kepemimpinan, pengembangan keterampilan sosial, dan kegiatan ekstrakurikuler
yang bermakna. Capaiannya mempersiapkan murid agar menjadi agen perubahan di
masyarakat. Sekolah juga mendorong murid untuk terlibat dalam kegiatan
peka-lingkungan untuk mengikat rasa tanggung jawab sosial.
Dengan programasi Sekolah Rakyat, pemerintah berharap dapat
menciptakan generasi muda yang intelek, berwawasan luas, dan memiliki karakter
tangguh. Melek literasi, melek digital, melek AI. Idealisasi ini membantu
memutus mata rantai kemiskinan. Bahkan, memastikan setiap anak memiliki peluang
sama untuk meraih masa depan emas. Iming-iming kesetaraan mengenyam lini dasar
pendidikan untuk semua lapisan anak bangsa. Sandiwara lagi?
Sekolah Rakyat adalah investasi dasar untuk mencapai visi
Indonesia Emas 2045. Langkah disrupsi bahwa setiap anak bangsa mencecap
pendidikan yang bermutu. Pesan dari kementerian sebelah dari Wamendiktisaintek,
Prof. Stella Christi, era digital ini bukan lagi huma nyinyir naratif untuk
dikotomi sekolah favorit dan nonfavorit.
Nah, baiklah, ini idealisasi utopi kaca mata pemerintah
pusat. Faktanya, banyak lakon sekolah di “pinggiran kota” dan bahkan “pelosok
sana” gagal diemong. Tidak sedikit baik sekolah negeri maupun sekolah swasta
kini benar-benar sekarat. Gagal bertumbuh. Gagal berproses maksimal. Karena
agitasi ego penguasa dan ketimpangan kepentingan proyek semata. Jangan-jangan
kita justru mengamini lahirnya generasi (c)emas. Dunia kehidupan persekolahan
makin kompulsif.
