- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Rempah-rempah: Komoditas Strategis dalam Sejarah Penjajahan Indonesia
.jpg)
JAKARTA - Indonesia, sejak
beberapa abad lalu tersohor sebagai gudangnya rempah-rempah dunia. Begitu
berharganya rempah-rempah pada masa tersebut, sehingga menjadi daya tarik utama
bangsa asing mengarungi samudera. Mereka ingin mendapatkan rempah-rempah
langsung dari sumbernya. Hal inilah yang menarik perhatian Ryan Crewe,
Sejarawan Amerika Latin di Departemen Sejarah Universitas Colorado Denver,
Amerika.
“Kami lakukan untuk menelusuri jejak jalur rempah yang
menjadi pemicu perang di kancah global, antara bangsa Amerika, Eropa, dan
Asia,” kata Ryan yang disampaikannya dalam forum Berbagi Pusat
Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN “Benih Perselisihan: Perang Rempah
dalam Sejarah Global”, Senin (28/07), di BRIN Gatot Subroto, Jakarta.
Dalam 10 tahun terakhir, Ryan melakukan penelitian,
di antaranya, ditemukannya beberapa dokumen berbahasa Meksiko yang berhubungan
dengan sejarah di Indonesia pada abad 16 terutama Ternate dan Tidore. Bukunya
“The Mexican History” berhasil mendapatkan penghargaan prestisius atas
kontribusinya di bidang sejarah kolonialisme Amerika Latin.
Baca Lainnya :
- Jangan Asal Klik! Penipuan Berkedok Paket Bisa Kuras Data dan Uangmu0
- Ingin Mulai Jadi Kreator Konten? Ini 9 Alat Pemotretan Yang Kamu Butuhkan0
- Pertamina Group Kembangkan Pusat Rehabilitasi Orang Utan di Kaltim0
- Istri, Logo, Buku0
- 600 Alumni SMAN 7 Jakarta Semarakkan Sevenist CFD, Fun Walk & Fun Bike0
Menurutnya, perang rempah merujuk pada serangkaian konflik
antara bangsa Eropa yakni Spanyol, Portugis, Belanda dan Inggris untuk
memonopoli perdagangan rempah dunia.
“Penelitian ini berfokus pada dimensi trans-pasifik
dari perang rempah yang menjadi bagian penting dari sejarah dunia. Berawal dari
kolonialisasi Spanyol di Meksiko yang sangat kaya pada masa itu menjadikan
Meksiko sebagai pusat dari jaringan imperialisme Spanyol,” terangnya.
Dengan keberhasilan tersebut, lanjutnya, Spanyol melebarkan
kekuasaannya ke Filipina dan berlanjut dengan upaya pendudukan Maluku yang
merupakan penghasil rempah utama di Indonesia. Koneksi yang terbangun dua ratus
tahun lalu antara Indonesia, Filipina dan Meksiko merupakan kunci dari jalur
perdagangan rempah yang beredar di pasar global Eropa.
“Penelitian saat ini berfokus pada kajian sejarah terkait
rempah di Indonesia bagian timur, bagaimana kekuatan Eropa masuk dan memantik
konflik di tingkat lokal antar kerajaan di Ternate dan Tidore. Penelitian ini
juga bertujuan untuk menelusuri lebih detail perbedaan implementasi semboyan
bangsa Eropa yaitu gold, glory dan gospel di masa pendudukan
Spanyol dan Belanda,” imbuhnya.
Dirinya menambahkan, Spanyol bertujuan untuk kepentingan
dagang semata, sedangkan Hindia Belanda ingin menguasai sepenuhnya dari aspek
ekonomi, kemasyarakatan hingga sektor pemerintahan. Dalam penelitian tahap
selanjutnya, Ryan akan melakukan site visit ke beberapa daerah yakni
Ternate, Tidore, Makassar, dan Ambon untuk mengumpulkan kepingan riwayat
sejarah dari kisah masyarakat lokal.
Dalam kesempatan ini, Dedi Adhuri Peneliti Kelompok Riset
Warisan Budaya PRMB BRIN membahas riset yang berfokus pada isu-isu maritim
kontemporer. Ia menyarankan suatu pendekatan dalam penelitian yaitu sejarah
lisan dan tradisi lisan layak digunakan dalam penelitiannya.
“Selain kajian rempah, sebaiknya juga melibatkan
komunitas yang menghubungkan jalur maritim di Maluku. Selain itu juga
mengangkat tentang komoditas lokal di sana yakni teripang,” jelas Dedi.
Berbeda dengan rempah yang berdimensi sangat politis, yang
selalu memicu terjadinya konflik dan peperangan, komoditas teripang tidak
bersentuhan dengan konteks politik. Secara harmonis menghubungkan masyarakat
Maluku dengan dunia luar, seperti Australia dan China.
Ditegaskannya, perang rempah merupakan suatu periode “kelam”
Indonesia, di mana kekayaan alam Nusantara yang berlimpah.
“Hal ini menjadi daya tarik yang memicu konflik global yang
berujung pada penjajahan selama berabad-abad. Dengan diadakannnya forum budaya
ini, diharapkan dapat menjadi landasan untuk menggali potensi kolaborasi lebih
lanjut dalam riset jalur rempah dan warisan budaya Indonesia,” pungkasnya. (Lus/Ed:
And, ns)
