- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Berjalan
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Tim PkM UNY Syiarkan Risalah Islam Berkemajuan 0
- Ikhtiar ASDP Sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi Serta Perekat Lintas Budaya dan Beragam Komunitas0
- Surat Dalam Cerita0
- MOCA Singapura Panggungkan A Path to Glory0
- Desa Bedono Tenggelam, Petani Ini Terus Menanam Mangrove untuk Bertahan0
PERUBAHAN biografi dan iman terbuktikan
di padang pasir. Lelaki dari Barat menunggang unta untuk melintasi padang
pasir, mendatangi tempat-tempat berdasarkan “peta” dan “panggilan”. Ia bernama
Leopold Weiss. Pada suatu masa, ia memilih menjadi pengelana atau pengembara
dengan meninggalkan kemapanan di Barat. Ia menuju negeri-negeri di Timur
Tengah.
Di lakon-lakon mendebarkan dan pergulatan iman, ia berganti
nama menjadi Muhammad Asad. Pengalaman mengesankan ditulis menjadi buku
berjudul Road to Mecca. Buku itu membuka mata dunia dan menguak iman. Di
padang pasir, Asad insaf atas keberanian dan kepasrahan manusia.
Ia mengisahkan: “Saya tidak terlalu khawatir karena bukan
baru sekali ini saya dikejutkan oleh badai pasir. Dengan berbaring di atas
tanah, terbungkus ketat dengan abaya, tak ada yang perlu saya kerjakan selain
menunggu badai dan mendengarkan deru angin…” Ia pernah mengalami takut. Di
padang pasir, ia lekas mengerti kesanggupan hidup.
Di perjalanan-perjalanan ia menunggang unta tapi memiliki
kesempatan menjadi pejalan kaki meski sebentar. Hidup dan dunia tak lagi sama
saat ia berada di padang-padang pasir. Asad mengenang: “Ganjil benar. Hasrat
mengembara telah membuat saya begitu resah selama sebagian besar umur saya.
Memaksa saya terus-menerus agar menerjunkan diri dalam segala bahaya, tidaklah
banyak memuaskan haus petualangan dibandingkan hasrat rindu mencari suatu
tempat istirahat di dunia ini. sampailah saya pada satu titik: saya dapat
menghubungkan apa yang terjadi atas diri saya dengan apa yang terpikir, apa
yang terasa, dan yang saya rindukan.” Ia menanggungkan kerinduan batin. Rindu
membuat ia meninggalkan Eropa dan menemukan dunia “baru”.
Kita berimajinasi sosok saat berjalan kaki di padang pasir.
Ia sadar bentangan seolah tanpa batas. Mata pun melihat langit. Suasana aneh
terasakan menimbulkan kesepian, ketakutan, dan kebingungan. Ia terus berjalan
atau berada di atas onta. Berjalan kaki mungkin membuat Asad makin mengerti
kerapuhan manusia. Ia berhak mengalami ketakjuban dalam kesadaran alam dan
menginsafi kuasa Tuhan.
Pengalaman di padang pasir berbeda dengan pengisahan dan
tafsir diajukan Frederic Gros dalam buku berjudul A Philosophy of Walking.
Ia mengajukan biografi para filosof dan pengarang sebagai pejalan kaki.
Kehendak berjalan kaki memberi pencerahan, penemuan, dan pesona. Semua itu
membentuk biografi. Pengalaman menentukan perwujudan gagasan dan imajinasi.
Berjalan kaki bukan sekadar peristiwa raga.
Gros menerangkan: “Saat berjalan kaki, kamu mustahil bisa
merasa sendirian. Ladang, rumah, hutan, jalan setapak, semuanya adalah milikmu.
Saat berjalan, kamu bisa menguasai semua. Setelah itu kamu akan merasa bahagia.
Siapa yang biasa merasa sendirian saat memiliki dunia? Melihat, mendominasi,
dan memandang itu berarti memiliki….” Berjalan kaki di pelbagai tempat
menentukan pengalaman memerlukan ungkapan-ungkapan.
Para filosof dan pengarang sanggup membahasakan pengalaman
berjalan kaki. Mereka menguak beragam pengertian melampaui urusan raga, waktu,
dan tempat. Pemaknaan-pemaknaan menjadikan berjalan kaki turut menentukan arus
pemikiran di dunia. Tebaran imajinasi pun menimbulkan pikat-pikat berkepanjang
atau berkesinambungan.
Gros sempat membuat perbedaan: “Saat berjalan kaki,
seseorang sering mengalami kebahagiaan. Dan, kebahagiaan itu sering diuraikan
oleh para penulis dan penyair ketimbang para pemikir besar. Sebab, kebahagiaan
itu masalah perjumpaan dan bergantung pada situasi.” Berjalan di alam berarti
melakukan beragam perjumpaan mencipta kesan dan ingatan mengukuhkan
kebahagiaan. Pembahasaan makin “mengekalkan” alam untuk terus terbaca dan
“teralami” oleh pembaca.
Alam menjadi sumber bahagia. Berjalan kaki itu mengagumi
alam. Pada saat berjalan, orang mendapat bahagia. Manusia dan alam dalam
keselarasan. Pengalaman itu dituliskan Jostein Gaarder dalam buku yang berjudul
Kitalah yang Ada di Sini Sekarang.
Penulis novel-novel mengandung filsafat suka berjalan kaki
di hutan. Ia mengisahkan kesan dan ketakjuban: “Kabut telah menggelayuti
mungkin hanya sampai pucuk-pucuk pepohonan…. Lalu, tiba-tiba aku merasakan
dalam tubuh dan jiwaku bahwa aku adalah alam persis makhluk yang merayap di
lumut dan bunga.” Berjalan dan istirahat sambil memandangi alam memberi
pencerahan atau keterbukaan “lain”.
Jostein Gaarder berfilsafat: “Aku ada di rumah, di duniaku
sendiri karena aku adalah bagian dari dunia ini. Aku adalah dunia ini. Dan, aku
terus begitu hingga sesudah badanku sirna suatu hari nanti.” Berjalan bisa
pertemuan atau “persatuan”. Ketulusan berjalan kaki menimbulkan keinsafan dan
pengakuan.
Sejak ribuan tahun, manusia merasa menguasai alam. Pada saat
ia berjalan kaki, kesadaran-kesadaran bermunculan dalam kepentingan selaras. Di
perjalanan, pengalaman raga memungkinkan mufakat bersama flora, fauna, batu,
tanah, angin, dan air untuk mengartikan alam. Berjalan kaki mengartikan pikiran
dan perasaan turut berjalan menuju alamat-alamat kadang tak terencanakan.
Kemauan berjalan di kaki itu keindahan, kebahagiaan, dan kebaikan.
Pada tahun-tahun sehat dan membahagiakan, filosof kondang
bernama Nietzsche. Ia menjadi pejalan kaki paling bergairah. Ia memilih tempat
untuk berjalan kaki. Di hutan atau desa, Nietzsche tak ingin sekadar
menggerakkan raga. Perjalanan kata-kata terjadi dengan kesungguhan. Ia seolah
“menulis” dengan berjalan kaki. Berjalan kaki bermisi manifestasi beragam
gagasan. Ia enggan menulis dalam diam-raga. Di buku berjudul Sabda
Zarathustra, kita turut mengetahui dan mengalami berjalan kaki. Zarathustra
itu berjalan kaki untuk misi-misi besar.
Pembuka memberi ketakjuban atas pilihan hidup. Nietzsche
mengisahkan: “Ketika Zarathustra berumur 30 tahun, ditinggalkannya kampung
halaman dan danau di dekatnya. Dan, berangkatlah ia ke pegunungan. Di sana, ia
menikmati gairah jiwa dan kesunyiannya….” Tokoh itu berjalan di alam.
Pemandangan tampak mata terlampaui beragam renungan. Ia melihat dan memikirkan
sambil membuat deklarasi-deklarasi.
Pada suatu hari, Zarathustra berucap kepada matahari:
“Sepuluh tahun lamanya engkau terbit menerangi guaku, Engkau akan bosan
memancarkan sinarmu dan menempuhi jalanmu sekiranya tak ada aku, burung
garudaku, dan ularku.” Berjalan dalam keinsafan waktu. Di bawah matahari atau
bulan, pejalan kaki bisa sesumbar dalam raihan makna. Berjalan di hitungan
waktu menjelaskan kekuatan. Peristiwa itu menimbulkan lelah, mengajarkan
istirahat dan renungan. Begitu.
