Berjalan

By PorosBumi 09 Jul 2025, 19:20:03 WIB Tilikan
Berjalan

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

PERUBAHAN biografi dan iman terbuktikan di padang pasir. Lelaki dari Barat menunggang unta untuk melintasi padang pasir, mendatangi tempat-tempat berdasarkan “peta” dan “panggilan”. Ia bernama Leopold Weiss. Pada suatu masa, ia memilih menjadi pengelana atau pengembara dengan meninggalkan kemapanan di Barat. Ia menuju negeri-negeri di Timur Tengah.

Di lakon-lakon mendebarkan dan pergulatan iman, ia berganti nama menjadi Muhammad Asad. Pengalaman mengesankan ditulis menjadi buku berjudul Road to Mecca. Buku itu membuka mata dunia dan menguak iman. Di padang pasir, Asad insaf atas keberanian dan kepasrahan manusia.

Ia mengisahkan: “Saya tidak terlalu khawatir karena bukan baru sekali ini saya dikejutkan oleh badai pasir. Dengan berbaring di atas tanah, terbungkus ketat dengan abaya, tak ada yang perlu saya kerjakan selain menunggu badai dan mendengarkan deru angin…” Ia pernah mengalami takut. Di padang pasir, ia lekas mengerti kesanggupan hidup.

Di perjalanan-perjalanan ia menunggang unta tapi memiliki kesempatan menjadi pejalan kaki meski sebentar. Hidup dan dunia tak lagi sama saat ia berada di padang-padang pasir. Asad mengenang: “Ganjil benar. Hasrat mengembara telah membuat saya begitu resah selama sebagian besar umur saya. Memaksa saya terus-menerus agar menerjunkan diri dalam segala bahaya, tidaklah banyak memuaskan haus petualangan dibandingkan hasrat rindu mencari suatu tempat istirahat di dunia ini. sampailah saya pada satu titik: saya dapat menghubungkan apa yang terjadi atas diri saya dengan apa yang terpikir, apa yang terasa, dan yang saya rindukan.” Ia menanggungkan kerinduan batin. Rindu membuat ia meninggalkan Eropa dan menemukan dunia “baru”.

Kita berimajinasi sosok saat berjalan kaki di padang pasir. Ia sadar bentangan seolah tanpa batas. Mata pun melihat langit. Suasana aneh terasakan menimbulkan kesepian, ketakutan, dan kebingungan. Ia terus berjalan atau berada di atas onta. Berjalan kaki mungkin membuat Asad makin mengerti kerapuhan manusia. Ia berhak mengalami ketakjuban dalam kesadaran alam dan menginsafi kuasa Tuhan.

Pengalaman di padang pasir berbeda dengan pengisahan dan tafsir diajukan Frederic Gros dalam buku berjudul A Philosophy of Walking. Ia mengajukan biografi para filosof dan pengarang sebagai pejalan kaki. Kehendak berjalan kaki memberi pencerahan, penemuan, dan pesona. Semua itu membentuk biografi. Pengalaman menentukan perwujudan gagasan dan imajinasi. Berjalan kaki bukan sekadar peristiwa raga.

Gros menerangkan: “Saat berjalan kaki, kamu mustahil bisa merasa sendirian. Ladang, rumah, hutan, jalan setapak, semuanya adalah milikmu. Saat berjalan, kamu bisa menguasai semua. Setelah itu kamu akan merasa bahagia. Siapa yang biasa merasa sendirian saat memiliki dunia? Melihat, mendominasi, dan memandang itu berarti memiliki….” Berjalan kaki di pelbagai tempat menentukan pengalaman memerlukan ungkapan-ungkapan.

Para filosof dan pengarang sanggup membahasakan pengalaman berjalan kaki. Mereka menguak beragam pengertian melampaui urusan raga, waktu, dan tempat. Pemaknaan-pemaknaan menjadikan berjalan kaki turut menentukan arus pemikiran di dunia. Tebaran imajinasi pun menimbulkan pikat-pikat berkepanjang atau  berkesinambungan.

Gros sempat membuat perbedaan: “Saat berjalan kaki, seseorang sering mengalami kebahagiaan. Dan, kebahagiaan itu sering diuraikan oleh para penulis dan penyair ketimbang para pemikir besar. Sebab, kebahagiaan itu masalah perjumpaan dan bergantung pada situasi.” Berjalan di alam berarti melakukan beragam perjumpaan mencipta kesan dan ingatan mengukuhkan kebahagiaan. Pembahasaan makin “mengekalkan” alam untuk terus terbaca dan “teralami” oleh pembaca.

Alam menjadi sumber bahagia. Berjalan kaki itu mengagumi alam. Pada saat berjalan, orang mendapat bahagia. Manusia dan alam dalam keselarasan. Pengalaman itu dituliskan Jostein Gaarder dalam buku yang berjudul Kitalah yang Ada di Sini Sekarang.

Penulis novel-novel mengandung filsafat suka berjalan kaki di hutan. Ia mengisahkan kesan dan ketakjuban: “Kabut telah menggelayuti mungkin hanya sampai pucuk-pucuk pepohonan…. Lalu, tiba-tiba aku merasakan dalam tubuh dan jiwaku bahwa aku adalah alam persis makhluk yang merayap di lumut dan bunga.” Berjalan dan istirahat sambil memandangi alam memberi pencerahan atau keterbukaan “lain”.

Jostein Gaarder berfilsafat: “Aku ada di rumah, di duniaku sendiri karena aku adalah bagian dari dunia ini. Aku adalah dunia ini. Dan, aku terus begitu hingga sesudah badanku sirna suatu hari nanti.” Berjalan bisa pertemuan atau “persatuan”. Ketulusan berjalan kaki menimbulkan keinsafan dan pengakuan.

Sejak ribuan tahun, manusia merasa menguasai alam. Pada saat ia berjalan kaki, kesadaran-kesadaran bermunculan dalam kepentingan selaras. Di perjalanan, pengalaman raga memungkinkan mufakat bersama flora, fauna, batu, tanah, angin, dan air untuk mengartikan alam. Berjalan kaki mengartikan pikiran dan perasaan turut berjalan menuju alamat-alamat kadang tak terencanakan. Kemauan berjalan di kaki itu keindahan, kebahagiaan, dan kebaikan.

Pada tahun-tahun sehat dan membahagiakan, filosof kondang bernama Nietzsche. Ia menjadi pejalan kaki paling bergairah. Ia memilih tempat untuk berjalan kaki. Di hutan atau desa, Nietzsche tak ingin sekadar menggerakkan raga. Perjalanan kata-kata terjadi dengan kesungguhan. Ia seolah “menulis” dengan berjalan kaki. Berjalan kaki bermisi manifestasi beragam gagasan. Ia enggan menulis dalam diam-raga. Di buku berjudul Sabda Zarathustra, kita turut mengetahui dan mengalami berjalan kaki. Zarathustra itu berjalan kaki untuk misi-misi besar.

Pembuka memberi ketakjuban atas pilihan hidup. Nietzsche mengisahkan: “Ketika Zarathustra berumur 30 tahun, ditinggalkannya kampung halaman dan danau di dekatnya. Dan, berangkatlah ia ke pegunungan. Di sana, ia menikmati gairah jiwa dan kesunyiannya….” Tokoh itu berjalan di alam. Pemandangan tampak mata terlampaui beragam renungan. Ia melihat dan memikirkan sambil membuat deklarasi-deklarasi.

Pada suatu hari, Zarathustra berucap kepada matahari: “Sepuluh tahun lamanya engkau terbit menerangi guaku, Engkau akan bosan memancarkan sinarmu dan menempuhi jalanmu sekiranya tak ada aku, burung garudaku, dan ularku.” Berjalan dalam keinsafan waktu. Di bawah matahari atau bulan, pejalan kaki bisa sesumbar dalam raihan makna. Berjalan di hitungan waktu menjelaskan kekuatan. Peristiwa itu menimbulkan lelah, mengajarkan istirahat dan renungan. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment