Surat Dalam Cerita
Esai

By PorosBumi 08 Jul 2025, 13:14:32 WIB Tilikan
Surat Dalam Cerita

M. Ghaniey Al Rasyid

Penulis lepas, pengliping dan penikmat sastra, tinggal di Surakarta

 

Baca Lainnya :

MELALUI surat kita didekatkan dengan yang jauh. Guratan kisah meluncur terbaca sang pembaca surat. Mulai dari bahagia, hingga kesedihan hadir di atas selembar surat. Surat dinantikan ketika ia hadir ke sang pembaca. Keberadaannya seperti harapan bagi pembacanya.

Kabar hadir memberitahu pembaca. Penafsiran muncul, berimajinasi melalui kata yang tersusun rapi. Surat-surat mengajaknya untuk tetap lekat meskipun dipisahkan oleh ruang dan waktu.

Di Majalah Tempo berjudul Surat-Surat Indah di Masa Kolonial (14/09/1991) gubahan Laila S. Chudori, terbesit sebuah surat. Surat-surat itu bukan hanya diperuntukan untuk membayar rasa rindu, akan tetapi surat berhadapan dengan para raja untuk mengetuk kongsi.

Surat-surat itu tak seperti surat pada umumnya yang putih bersih nan monoton. Tak hanya itu, kadang pula kita jumpai garis-garis horizontal yang membentang agar penulis dapat mengguratkan penanya dengan rapi.

Syahdan, Tempo (14/09/1991) tersirat dengan kertas licin menyuguhkan dimensi lain surat. Surat-surat itu begitu indah dengan ornamen-ornamen estetis, tanpa mengurangi substansi dari kata yang meluncur.

Di situ disitir surat milik Kesultanan Tidore –Kaicil Nuku pada 25 Maret 1785, Karena adalah Tuan Sultan dan menteri-menterinya menyediakan pohon-pohon cengkeh dan pala sekalian tanah-tanah dari nama bahagian Maluku, jika dengan kesukaan hati pada ketika apalah yang hendak masuk Kompeni Inggris berjabat tangan dengan aku Sultan di Maluku.

Surat itu sudah dialih bahasakan. Mulanya berbahasa Arab-Persia. Konon surat itu ditujukan kepada Gubernur Bengkulu John Crisp atau pejabat Wakil Gubernur Thomas Palmer. Surat itu begitu hangat bagi pembaca East India Company yang sudah bercokol di Nusantara sejak 1601.

Bukan hanya kesengsem atas ajakan Kesultanan Nuku, akan tetapi penerima surat turut pula menggosok-gosok kertas itu lantaran takjub. Sebuah surat yang ditulis dari bubuk emas, memiliki arti bagi pembacanya. Tak hanya itu, emas turut pula dipahami sebagai makna kejayaan dan sebuah makna harga diri bagi para penulisnya.

Surat senada turut tersirat oleh surat gubahan Kesultanan Pontianak. Surat itu berisi pemujaan untuk Thomas Stamford Raffles. Surat tersirat untuk merayu. Kesultanan Pontianak tak rela tanah-laut kekuasaannya dikangkangi bajak laut pimpinan Pangeran Anom dari Sambas. Kesultanan Pontianak membutuhkan Rafles untuk bersandar.

Surat-surat itu ditulis dengan bahan mahal. Bubuk emas dilumatkan bersama tinta, mencipta sebuah kata berbahan baku emas. Kertas-kertas diciprati kata-kata. Kalimat demi kalimat menyuguhkan makna. Pembaca tak memandang remeh penulisnya. Syahdan, pertemuan tatap muka mengikat mereka dari kumpulan kata dari kumpulan surat.

Surat hadir pula dalam suguhan novel. Para novelis menyebutnya Brief roman (baca; roman surat). Kita menarik ke belakang menilik karya gubahan Johan Wolfgang Goethe dengan Penderitaan Pemuda Werther (Yayasan Obor Indonesia, 2000).

Surat-surat itu mengisahkan seorang pemuda menapakai jalan terjal menjemput cinta sejati. Werther menulis surat kepada kawannya bernama Wilhelm. Werther mencintai seeorang perempuan. Naas, niat mencitai perempuan itu tak diijabah oleh langit dan bumi. Ia hancur berantakan tak lagi memahami siapa lagi dirinya sendiri.

Werther berkisah kepada kawannya bernama Wilhelm. Di dalam lubuk hatinya paling tulus, ia begitu sangat mencintai perempuan bernama Lotte. Kisah demi kisah tersirat dalam Surat. Lotte digambarkan begitu harum seperti bunga Camelia, meskipun akhirnya berakhir pedih lantaran cinta Werther ditampik. Werther memutuskan melenyakan ingatannya dengan selongsong timah sedikit beku di musim dingin.

Hippotalamus hingga amigdala Werther remuk. Peluru mendamprat segala ingatan Werther tentang Lotte. Kisah ditutup dengan getir. Seorang pemuda yang kehilangan dirinya sendiri karena berani memahami maksud cinta yang konon menyuguhkan kasih.

Karya novel bersurat juga pernah dibikin oleh Seno Gumira Adjidarma berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku (Gramedia Pustaka, 2019). Kisah Alina dan Sukab memberi kita pelajaran tentang waktu. Senja terukir dengan istimewa, menjadi perbincangan dua sejoli yang dilengketkan oleh surat, meskipun terpisah oleh jarak.

Surat berkisah membayar rindu dua sejoli Alina dan Sukab. Kisah mereka mengguyur dahaga tentang rasa. Ia merasakan suka dan bahagia ketika kisah demi kisah dapat muncul dan terbaca. Perasaan senang kemudian muncul mencitrakan yang lekang oleh ruang diikat melalui sebuah surat.

Kisah Alina dan Sukab mengingatkan kita akan keberadaan surat. Mula-mula surat bertebaran hinggap kepada penulis dan pembacanya. Mereka keranjingan mengirim surat, mengetahui sanak family, pacar atau seseorang yang ingin diketahuinya menyiratkan cerita dan rasa tentang jalan hidupnya yang konon terasa pelik.

Adanya surat tak luput dari Pengirim sura. Kini keberadaannya digantikan oleh teknologi. Mereka kemudian tersirat tinggal kenangan bersama surat-surat. Namun, pengirim surat dikisahkan cukup jeli oleh Antonio Skarmeta dalam sebuah novelnya berjudul El Postino (Penerbit Aku Baca, 2002).

Novel itu menceritakan seeorang pengirim surat bernama Mario Jimenez. Pria yang lahir di pesisir yang menolak menjadi nelayan. Mario lebih tertarik menjadi pengirim surat. Alkisah, takdir berkehendak lain. Ia bekerja sebagai pengantar surat. Surat untuk Pablo Neruda, penyair penyandang Nobel sastra 1971.

Perjumpaan dengan Neruda menjadi keberuntungan Mario dalam mendalami kesusastraan. Seorang pengantar surat, kemudian hanyut dalam sastra. Mario bukan hanya diajari menulis, akan tetapi memberikan guratan kalimat bernyawa.

Setiap surat yang diantar Mario, di situlah Neruda menantinya. Surat-surat itu merangsek dari belahan dunia manapun. Mulai dari surat-surat dari para politis Chile yang menginginkan Neruda menjadi seorang presiden, hingga surat penghargaan Nobel untuk Neruda.

Kiwari kita disuguhkan dengan surat elektronik. Bentuknya kasat-mata hanya diikat oleh imaji, bahwa ini adalah ‘surat’ yang bersemayam dalam gawai atau tablet kita. Piranti itu tak bergemerisik seperti kertas, hanya denting suara yang mengingatkan penerima pabila surat bermuatan pesan.

Pesan kemudian terbaca. Kiwari kita tak perlu repot untuk berjalan mengunjungi kantor pos guna mengirimkan surat. Kita dengan mudah menuliskan pesan kemudian mengutuk tombol kirim menanti penerima pesan melakukan tindakan serupa. Mafhum, kita menyebutnya sebagai kemajuan. Sekian.

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment