- Filosofi Kaya Lintas Generasi Orang-Orang China
- Wisata Pulau-Pulau Cantik di Aceh yang Wajib Dikunjungi
- Hari Populasi Dunia, Kampanye Tanam Pohon di Bedono Jadi Contoh Mitigasi Abrasi Pesisir
- Sering Lihat Harga Emas Naik-Turun? Begini Cara Cuan dari Pergerakan Emas!
- Tim PkM UNY Gelar Workshop Perempuan Islam Berkemajuan untuk Mewujudkan Peradaban Utama
- AHY Tegaskan Pentingnya Infrastruktur Transportasi Dorong Pertumbuhan Kawasan
- Teknologi Layar Hisense Mendukung Tampilan VAR di FIFA Club World Cup 2025™
- Fakta dan Mitos Seputar MSG: Apakah Benar Membahayakan Tubuh?
- Disabilitas Tak Menghentikan Junar Asunyi Menuai Harapan Lewat Konten Karier & HR
- LindungiHutan Dorong Tebus Jejak Karbon dengan Penanaman Pohon
Surat Dalam Cerita
Esai
.jpg)
M. Ghaniey Al Rasyid
Penulis lepas, pengliping dan penikmat sastra, tinggal
di Surakarta
Baca Lainnya :
- MOCA Singapura Panggungkan A Path to Glory0
- Desa Bedono Tenggelam, Petani Ini Terus Menanam Mangrove untuk Bertahan0
- Unggul se Asia-Pasifik, SDN Papela Rote Ndao Menang Kompetisi Sekolah Tersehat AIA 20250
- PIS & doctorSHARE Hadirkan Rumah Sakit Kapal Layani Masyarakat 3T di Papua 0
- Kisah Tragis Fientje de Feniks: Pelacur Batavia yang Mati di Kali Baru0
MELALUI surat kita didekatkan dengan
yang jauh. Guratan kisah meluncur terbaca sang pembaca surat. Mulai dari
bahagia, hingga kesedihan hadir di atas selembar surat. Surat dinantikan ketika
ia hadir ke sang pembaca. Keberadaannya seperti harapan bagi pembacanya.
Kabar hadir memberitahu pembaca. Penafsiran muncul,
berimajinasi melalui kata yang tersusun rapi. Surat-surat mengajaknya untuk
tetap lekat meskipun dipisahkan oleh ruang dan waktu.
Di Majalah Tempo berjudul Surat-Surat Indah di
Masa Kolonial (14/09/1991) gubahan Laila S. Chudori, terbesit sebuah surat.
Surat-surat itu bukan hanya diperuntukan untuk membayar rasa rindu, akan tetapi
surat berhadapan dengan para raja untuk mengetuk kongsi.
Surat-surat itu tak seperti surat pada umumnya yang putih
bersih nan monoton. Tak hanya itu, kadang pula kita jumpai garis-garis
horizontal yang membentang agar penulis dapat mengguratkan penanya dengan rapi.
Syahdan, Tempo (14/09/1991) tersirat dengan kertas
licin menyuguhkan dimensi lain surat. Surat-surat itu begitu indah dengan
ornamen-ornamen estetis, tanpa mengurangi substansi dari kata yang meluncur.
Di situ disitir surat milik Kesultanan Tidore –Kaicil Nuku
pada 25 Maret 1785, Karena adalah Tuan Sultan dan menteri-menterinya
menyediakan pohon-pohon cengkeh dan pala sekalian tanah-tanah dari nama
bahagian Maluku, jika dengan kesukaan hati pada ketika apalah yang hendak masuk
Kompeni Inggris berjabat tangan dengan aku Sultan di Maluku.
Surat itu sudah dialih bahasakan. Mulanya berbahasa
Arab-Persia. Konon surat itu ditujukan kepada Gubernur Bengkulu John Crisp atau
pejabat Wakil Gubernur Thomas Palmer. Surat itu begitu hangat bagi pembaca East
India Company yang sudah bercokol di Nusantara sejak 1601.
Bukan hanya kesengsem atas ajakan Kesultanan Nuku, akan
tetapi penerima surat turut pula menggosok-gosok kertas itu lantaran takjub.
Sebuah surat yang ditulis dari bubuk emas, memiliki arti bagi pembacanya. Tak
hanya itu, emas turut pula dipahami sebagai makna kejayaan dan sebuah makna
harga diri bagi para penulisnya.
Surat senada turut tersirat oleh surat gubahan Kesultanan
Pontianak. Surat itu berisi pemujaan untuk Thomas Stamford Raffles. Surat
tersirat untuk merayu. Kesultanan Pontianak tak rela tanah-laut kekuasaannya
dikangkangi bajak laut pimpinan Pangeran Anom dari Sambas. Kesultanan Pontianak
membutuhkan Rafles untuk bersandar.
Surat-surat itu ditulis dengan bahan mahal. Bubuk emas
dilumatkan bersama tinta, mencipta sebuah kata berbahan baku emas.
Kertas-kertas diciprati kata-kata. Kalimat demi kalimat menyuguhkan makna.
Pembaca tak memandang remeh penulisnya. Syahdan, pertemuan tatap muka mengikat
mereka dari kumpulan kata dari kumpulan surat.
Surat hadir pula dalam suguhan novel. Para novelis
menyebutnya Brief roman (baca; roman surat). Kita menarik ke belakang menilik
karya gubahan Johan Wolfgang Goethe dengan Penderitaan Pemuda Werther
(Yayasan Obor Indonesia, 2000).
Surat-surat itu mengisahkan seorang pemuda menapakai jalan
terjal menjemput cinta sejati. Werther menulis surat kepada kawannya bernama
Wilhelm. Werther mencintai seeorang perempuan. Naas, niat mencitai perempuan
itu tak diijabah oleh langit dan bumi. Ia hancur berantakan tak lagi memahami
siapa lagi dirinya sendiri.
Werther berkisah kepada kawannya bernama Wilhelm. Di dalam
lubuk hatinya paling tulus, ia begitu sangat mencintai perempuan bernama Lotte.
Kisah demi kisah tersirat dalam Surat. Lotte digambarkan begitu harum seperti
bunga Camelia, meskipun akhirnya berakhir pedih lantaran cinta Werther
ditampik. Werther memutuskan melenyakan ingatannya dengan selongsong timah
sedikit beku di musim dingin.
Hippotalamus hingga amigdala Werther remuk. Peluru
mendamprat segala ingatan Werther tentang Lotte. Kisah ditutup dengan getir.
Seorang pemuda yang kehilangan dirinya sendiri karena berani memahami maksud
cinta yang konon menyuguhkan kasih.
Karya novel bersurat juga pernah dibikin oleh Seno Gumira
Adjidarma berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku (Gramedia Pustaka,
2019). Kisah Alina dan Sukab memberi kita pelajaran tentang waktu. Senja
terukir dengan istimewa, menjadi perbincangan dua sejoli yang dilengketkan oleh
surat, meskipun terpisah oleh jarak.
Surat berkisah membayar rindu dua sejoli Alina dan Sukab.
Kisah mereka mengguyur dahaga tentang rasa. Ia merasakan suka dan bahagia
ketika kisah demi kisah dapat muncul dan terbaca. Perasaan senang kemudian
muncul mencitrakan yang lekang oleh ruang diikat melalui sebuah surat.
Kisah Alina dan Sukab mengingatkan kita akan keberadaan
surat. Mula-mula surat bertebaran hinggap kepada penulis dan pembacanya. Mereka
keranjingan mengirim surat, mengetahui sanak family, pacar atau seseorang yang
ingin diketahuinya menyiratkan cerita dan rasa tentang jalan hidupnya yang
konon terasa pelik.
Adanya surat tak luput dari Pengirim sura. Kini
keberadaannya digantikan oleh teknologi. Mereka kemudian tersirat tinggal
kenangan bersama surat-surat. Namun, pengirim surat dikisahkan cukup jeli oleh
Antonio Skarmeta dalam sebuah novelnya berjudul El Postino (Penerbit Aku
Baca, 2002).
Novel itu menceritakan seeorang pengirim surat bernama Mario
Jimenez. Pria yang lahir di pesisir yang menolak menjadi nelayan. Mario lebih
tertarik menjadi pengirim surat. Alkisah, takdir berkehendak lain. Ia bekerja
sebagai pengantar surat. Surat untuk Pablo Neruda, penyair penyandang Nobel
sastra 1971.
Perjumpaan dengan Neruda menjadi keberuntungan Mario dalam
mendalami kesusastraan. Seorang pengantar surat, kemudian hanyut dalam sastra.
Mario bukan hanya diajari menulis, akan tetapi memberikan guratan kalimat
bernyawa.
Setiap surat yang diantar Mario, di situlah Neruda
menantinya. Surat-surat itu merangsek dari belahan dunia manapun. Mulai dari
surat-surat dari para politis Chile yang menginginkan Neruda menjadi seorang
presiden, hingga surat penghargaan Nobel untuk Neruda.
Kiwari kita disuguhkan dengan surat elektronik. Bentuknya
kasat-mata hanya diikat oleh imaji, bahwa ini adalah ‘surat’ yang bersemayam
dalam gawai atau tablet kita. Piranti itu tak bergemerisik seperti kertas,
hanya denting suara yang mengingatkan penerima pabila surat bermuatan pesan.
Pesan kemudian terbaca. Kiwari kita tak perlu repot untuk
berjalan mengunjungi kantor pos guna mengirimkan surat. Kita dengan mudah
menuliskan pesan kemudian mengutuk tombol kirim menanti penerima pesan
melakukan tindakan serupa. Mafhum, kita menyebutnya sebagai kemajuan. Sekian.
