- Belantara Foundation Bersama Mitra dari Jepang Kembali Tanam Pohon di Riau
- Manfaatkan PLTS, Desa Energi Berdikari di Karawang Tingkatkan Ekonomi Petani
- Menkeu Terbitkan Aturan Penempatan Rp200 Triliun Uang Negara di Bank Umum Mitra
- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
Kopi dan Kesadaran: Ketika Pahit Membangkitkan Jiwa Berbangsa
.jpg)
Sultonsah
Penikmat Fisika
Baca Lainnya :
- Suksesi Walhi, Merawat Regenerasi Kepemimpinan Gerakan0
- Koperasi Desa Merah Putih Lebih Modern, Integratif, dan Kekinian0
- GAUL’S Sunter: Saat Saya Sadar, Pilah Sampah Bisa Jadi Awal Perubahan Besar0
- Capaian TKDN Lampaui Target Bukti Hulu Migas Berdayakan Pengusaha Lokal 0
- Kematian Anak Akibat Kelaparan di Gaza Melonjak Tajam0
"AKU ingin menjadi rasa yang tinggal di bibirmu, meski
pahit, tapi membuatmu percaya bahwa dunia ini masih bisa dihirup
perlahan."
Di negeri yang kian
sesak oleh polemik politik, krisis ekonomi, dan kecemasan sosial yang
berlapis-lapis, ada satu ritual yang tetap setia berlangsung setiap pagi:
menyeduh secangkir kopi. Ia hadir sunyi, tanpa bendera, tanpa jargon, tanpa
utopia. Namun justru dari kesederhanaannya itulah kopi memancarkan daya hidup
yang tak bisa diremehkan.
Kopi adalah denyut kecil
yang menjaga kesadaran rakyat tetap menyala. Dalam tiap teguknya, terkandung
filsafat eksistensi yang begitu dalam: bahwa kepahitan tidak selalu buruk,
bahwa kelelahan bisa diredam bukan dengan pelarian, melainkan dengan perenungan.
Ia adalah sahabat setia dari para petani di lereng Semeru Lumajang, Gayo,
Toraja, dan Bajawa, juga dari para pekerja kota yang tiap hari harus bersiasat
dengan realita negara yang kadang lebih rumit dari algoritma.
Dari Gunung
Ethiopia ke Republik yang Letih
Sejarah mencatat, kopi
ditemukan secara tak sengaja sekitar abad ke-9 di dataran tinggi Ethiopia oleh
seorang penggembala bernama Khalid. Ia melihat kambing-kambingnya tetap aktif
bahkan setelah matahari terbenam, setelah memakan buah beri tertentu. Ia mencoba
merebusnya, dan dari percobaan sederhana itu, lahirlah revolusi rasa berbasis
kekekalan energi yang menyebar dari Benua Afrika ke Arabia, lalu ke Eropa, dan
akhirnya ke seluruh dunia.
Indonesia sendiri mulai
mengenal kopi sejak era kolonial, ketika Belanda membawa bibit kopi ke Jawa
pada akhir abad ke-17. Dari tanah tropis inilah kemudian tumbuh salah satu
industri kopi terbesar dunia. Namun ironinya, lebih dari 90% hasil panen kopi petani
Indonesia masih tersedot rantai distribusi perantara. Petani tetap menanam,
meski kadang tak sanggup menyesap hasil panennya sendiri. Mereka tetap menyeduh
harapan, sekalipun negara kerap alpa menyeduh keadilan.
Kopi dan Hukum
Kekekalan Energi
Dalam dunia fisika,
dikenal Hukum Kekekalan Energi: bahwa energi tidak bisa diciptakan atau
dimusnahkan, hanya berubah bentuk. Kopi adalah bukti nyata dari hukum itu.
Siksaan demi siksaan dengan kesabaran level semesta, dialami oleh Si Paling
Sabar Kopi.
Berawal dengan kesabaran
penyerapan energi cahaya matahari yang terserap daun, menjadi biji, lalu
dipetik. Hingga prosesi siksaan badania: dijemur, disangrai, digiling,
ditumbuk, diseduh, dan akhirnya berpindah menjadi detak jantung manusia.
Sebagai salah satu partikel semesta, Kopi juga berlaku hukum kekekalan energi.
Ia menjelma energi potensial besar, menjadi ide, menjadi semangat kerja, bahkan
menjadi bahan renungan dalam keheningan malam.
Di tengah negara yang
lelah membangun janji, kopi menjadi energi kecil yang jujur. Ia tidak
menjanjikan perubahan besar. Ia hanya menawarkan kehangatan. Tapi justru dari
hal-hal kecil yang konsisten, peradaban dibangun.
Quantum Kopi dan
Kesadaran Sosial
Kopi bukan hanya cairan.
Ia adalah metafora quantum. Seperti partikel dalam mekanika kuantum, ia
menyimpan probabilitas rasa yang baru akan menentu saat kita menyeduhnya. Rasa
pahit, manis, asam, atau gurih bergantung pada siapa yang menyesapnya, kapan, dan
dengan apa.
Begitu juga Indonesia:
bukan negeri gagal, tapi negeri yang masih penuh kemungkinan. Kita tengah
berada di ruang ketidakpastian quantum politik, dan justru di situlah rakyat
harus menjadi pengamat aktif. Menentukan kemungkinan realitas mana yang akan
diwujudkan: menjadi aroma yang membangkitkan, atau ampas yang dibuang sejarah.
Menyeduh Kesadaran,
Menumbuhkan Perlawanan. Hari ini, kopi bukan sekadar gaya hidup. Ia adalah
medium meditatif, alat perlawanan simbolik. Kedai kopi tak hanya tempat
nongkrong, ia juga tempat diskusi, tempat solidaritas bertemu, tempat rasa
getir berubah menjadi wacana.
Kopi mengajarkan kita
untuk tidak terburu-buru. Dari biji hingga cangkir, ada proses panjang. Dan
dalam bangsa yang terlalu sering diburu waktu politik lima tahunan, kopi
mengingatkan: bahwa perubahan sejati lahir dari proses panjang yang sabar, dari
penggilingan, pemanggangan, dari kesetiaan yang diam-diam tapi kuat.
Epilogia: Dari
Kopi, Untuk Republik yang Sedang Gundah
Jika ada satu benda yang
layak menjadi simbol kebangkitan Indonesia hari ini, ia bukan bendera, bukan
senjata, bukan slogan. Ia adalah secangkir kopi. Karena dari kopi, kita belajar
bahwa rasa pahit bisa membangkitkan. Bahwa kesederhanaan bisa menyatukan. Bahwa
aroma bisa melampaui propaganda. Dan seperti kata para petani kopi: “Tidak
apa-apa pahit, asal nyata.” Maka mari
kita teguk Indonesia sekali lagi. Perlahan. Dengan kesadaran. Dengan
keberanian.
Karena barangkali, kopi
bukan hanya minuman, melainkan jelmaan sabda Tuhan yang diteteskan perlahan ke
dalam cawan waktu. Ia bukan sekadar rasa, tapi gema sunyi dari jiwa-jiwa yang
terus menyala meski dilanda gelap. Dalam tiap kepulan aromanya, semesta mengirimkan
pesan rahasia: bahwa luka bukan akhir, dan gelap bukan penjara.
Kopi adalah dzikir cair,
yang membangunkan kesadaranmu dari tidur panjang keputusasaan. Maka saat kau
menyesapnya, biarkan jiwamu kembali menyala. Sebab selama kopi masih hangat,
harapan belum selesai dilahirkan. Merdeka!!
