- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Sel Surya Organik dan Fotokatalisis Nano-Hibrida, Inovasi BRIN Dukung Energi Terbarukan
.jpg)
TANGERANG SELATAN - Badan
Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan dua inovasi teknologi yang
berpotensi mendukung sektor energi dan lingkungan secara berkelanjutan. Inovasi
tersebut meliputi sel surya organik tipe inverted (nip) yang efisien dalam
mengonversi cahaya menjadi listrik, serta teknologi fotokatalisis berbasis
material nano-hibrida yang efektif menguraikan limbah organik tanpa
menghasilkan polutan sekunder. Kedua inovasi ini dinilai memiliki potensi
penerapan luas di sektor industri dan ramah lingkungan.
“Sel surya berbasis organik dipilih karena material organik,
seperti polimer terkonjugasi dan PCBM, memiliki sifat khas seperti bobot
ringan, fleksibilitas mekanik yang baik, tidak toksik, dan mudah diproses dalam
larutan pelarut organik,” jelas Mohamad Insan Nugraha, Peneliti Ahli Muda dari
Pusat Riset Sistem Nanoteknologi BRIN dalam kegiatan ORNAMAT #67, forum
pertemuan ilmiah riset dan inovasi yang diselenggarakan secara daring pada
Selasa (15/07).
“Keunggulan ini memungkinkan proses fabrikasi yang
sederhana, murah, tanpa vakum, dan bersuhu rendah (di bawah 100°C) melalui
metode, seperti spin coating, blade coating, inkjet printing,
dan roll-to-roll,” urai Nugraha, ketika memaparkan hasil risetnya
tentang pengembangan sel surya organik efisiensi tinggi (>19%) menggunakan
lapisan penghantar elektron berbasis metal oksida yang didoping.
Baca Lainnya :
- Semester I 2025, KAI Sedot 103,69 Juta Liter BBM Subsidi untuk Layani 8,8 Juta Pelanggan0
- INPEX Tegaskan Komitmen Pengembangan Proyek Lapangan Gas Abadi 0
- Pertamina-PTPN III Dorong Kawasan Ekonomi Hijau di Sei Mangkei0
- Sepanjang 2024 Konsumsi Listrik Tumbuh 17,78 TWh0
- Unggul di Inovasi Bisnis, Pertamina Raih Penghargaan Asia Pacific Stevie Awards 20250
“Semikonduktor organik banyak dimanfaatkan dalam berbagai
perangkat, seperti layar ponsel berteknologi Active Matrix Organic
Light Emitting Diodes (AMOLED), transistor, sensor termasuk biosensor,
serta perangkat konversi energi seperti termoelektrik dan sel surya,”
tambahnya.
Dalam paparannya, Nugraha memfokuskan pada arsitektur sel
surya tipe inverted (nip), yang terdiri atas lapisan elektroda transparan
(ITO), lapisan pengangkut elektron, lapisan aktif penyerap cahaya, lapisan
pengangkut hole, dan elektroda atas. Ia menjelaskan bahwa ketika cahaya diserap
oleh lapisan aktif, terjadi eksitasi elektron yang membentuk pasangan elektron
dan hole (eksiton), yang kemudian bergerak menuju lapisan pengangkut
masing-masing dan menghasilkan arus listrik.
“Efisiensi dan kinerja sel surya organik sangat ditentukan
oleh material yang digunakan, struktur lapisan, serta proses fabrikasi,” ujar
Nugraha.
Sementara itu, Postdoctoral Fellow dari
Pusat Riset Sistem Nanoteknologi BRIN, Arun Velumani, memaparkan risetnya
mengenai sintesis sederhana dan evaluasi kinerja fotokatalitik material
nanohibrida untuk degradasi polutan organik secara efisien.
Arun mengungkapkan bahwa pencemaran air akibat limbah
organik dari industri, farmasi, dan tekstil memerlukan solusi yang ramah
lingkungan. Salah satu solusi menjanjikan adalah teknologi fotokatalisis,
karena mampu menguraikan polutan organik tanpa menghasilkan limbah sekunder.
Untuk meningkatkan efisiensi, tim peneliti melakukan modifikasi material
melalui pembentukan heterojunction dan penambahan Reduced Graphene Oxide (RGO).
Material nanohibrida disintesis menggunakan metode
hidrotermal pada suhu 180°C selama 15 jam. Pemilihan komponen didasarkan pada
kestabilan tinggi, toksisitas rendah, serta kemampuan menyerap cahaya yang
baik.
“Hasil karakterisasi menunjukkan struktur kristalin yang
baik, ukuran partikel sekitar 10,6 nanometer, dan band gap sebesar 2,88 eV,”
jelas Arun. Dalam pengujian fotokatalitik menggunakan zat pewarna metilen biru
dan metil oranye, nanohibrida ini mampu mendegradasi masing-masing
zat hingga 96% dan 92% hanya dalam 90 menit. Bahkan, saat kedua pewarna
dicampur, efisiensi degradasi tetap tinggi, yang menunjukkan potensi kuat untuk
pengolahan limbah air secara nyata.
“Nanohibrida yang kami kembangkan menunjukkan kinerja
fotokatalitik tinggi, stabilitas yang baik, dan memiliki prospek besar untuk
diterapkan pada skala industri, khususnya dalam pengolahan air limbah dan
aplikasi lingkungan lainnya,” pungkas Arun.
Terkait dengan itu, Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi
dan Material (ORNM) BRIN, Ratno Nuryadi, menyampaikan bahwa pemaparan para
narasumber dalam forum ini diharapkan dapat memperkaya wawasan mengenai arah,
trend, dan dampak kemajuan riset di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya terkait pengembangan sel surya organik dan fotokatalisis. Ia juga
berharap forum ini menjadi ruang untuk membuka peluang kerja sama riset di masa
mendatang. (ez/ed: jh, mfs)
