- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Kaum Tani Bersama Masyarakat Adat Tano Batak Lawan Perampasan Tanah dan Perbudakan PT TPL

JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA) bersama ratusan petani dari Serikat Petani Pasundan (SPP) dari lima
kabupaten (Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Banjar) Pemersatu Petani
Cianjur (PPC), dan Pergerakan Petani Banten (P2B) bergabung bersama Masyarakat
Adat Tano Batak dan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Jakarta,
Bekasi dan Banten dalam aksi do’a bersama dan deklarasi perjuangan melawan
perampasan tanah, pengrusakan lingkungan dan perbudakan modern yang dilakukan
PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Aksi bersama yang digelar Senin, 18 Agustus 2025, di Tugu
Proklamasi, Jakarta, adalah bentuk dukungan dan solidaritas gerakan tani
terhadap perjuangan masyarakat adat mengembalikan tanah dan wilayah mereka dari
ancaman korporasi yang telah menyebabkan banyak konflik agraria dan kerusakan
lingkungan di Indonesia, khususnya wilayah Toba dan Samosir.
Aksi ini diselenggarakan bersamaan momentum 80 tahun
Kemerdekaan Indonesia untuk mengingatkan Pemerintah agar kembali pada cita-cita
kemerdekaan yang dimandatkan dalam Konstitusi kita. Perampasan wilayah adat dan
pengrusakan lingkungan yang dilakukan PT TPL ini bertentangan dengan
Konstitusi, utamanya Pasal 33 (3) UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Baca Lainnya :
- Kementan Genjot Rehabilitasi Irigasi, Wujudkan Merdeka Air bagi Petani0
- Dari Tradisi Lokal ke Sorotan Dunia: Pacu Jalur Magnet Wisata Budaya Riau0
- Peneliti BRIN Identifikasi Hama dan Penyakit Tanaman Hias Krisan, Begini Cara Mengatasinya!0
- Pelita Air Resmikan Penerbangan Internasional Perdana ke Singapura0
- Panitia Pengarah Tetapkan Calon Direktur Eksekutif Nasional dan Calon Dewan Nasional 2025–20290
“Dalam UUPA, tercitra teologi tanah dan lingkungan, bahwa
tanah tidak sekedar komoditas ekonomi, harus menghormati hak asal-usul tanah
(masyarakat adat), menolak monopoli tanah dan penghisapan manusia di atas
manusia lain,” kata Dewi Kartika, Sekjen KPA.
Dalam aksi ini, gereja bersama Gerakan Rakyat menyatakan 5
Kejahatan Agraria dan Pelanggaran Konstitusi PT TPL:
- PT
TPL telah merampas tanah adat 23 komunitas Masyarakat Adat, di 12
kabupaten, dengan total luasan 33.422,37 hektar yang selama ini menjadi
sumber penafkahan dan ruang hidup masyarakat adat, petani, perempuan, dan
masyarakat sekitar
- PT
TPL melakukan berbagai tindak kekerasan yang semakin kejam dan tidak
terkendali, hingga mengorbankan masyarakat adat yang mempertahankan hak
atas tanahnya
- PT
TPL telah menghancurkan wilayah adat untuk Hutan Tanaman Industri
Eukaliptus, termasuk hutan dan areal pertanian, yang selanjutnya
menyebabkan bencana-bencana ekologis
- PT
TPL telah melakukan praktik-praktik perbudakan modern kepada para
pekerjanya, yang melanggar hak-hak pekerja
- PT
TPL mengadu domba masyarakat adat dengan pekerja TPL, yang saat ini sedang
memperjuangkan hak-hak atas penghidupan dan hak konstitusionalitasnya
- PT
TPL beroperasi secara ilegal dan difasilitasi oleh Pemerintah: cacat
hukum, maladministrasi kehutanan, manipulasi proses dan penyalahgunaan
kewenangan
“Dengan kembali pada UUPA 1960, memaksimalkan Putusan MK
35/2012, dan Perpres Reforma Agraria, maka Pemerintah harus segera melaksanakan
Reforma Agraria sebagai jalan pemulihan dan pemenuhan keadilan dan
kesejahteraan bagi Masyarakat Tano Batak, termasuk pekerja TPL yang selama ini
hak-haknya tidak dipenuhi oleh PT TPL,” tegas Dewi mengingatkan.
Apa yang dialami oleh masyarakat Batak dan sekitarnya akibat
operasi PT TPL yang melanggar konstitusi, hanyalah satu dari banyak tragedi
yang dialami oleh rakyat Indonesia di berbagai daerah. Kurun satu dekade terakhir,
lebih dari 1,8 juta petani, masyarakat ada, nelayan, perempuan, dan masyarakat
miskin di pedesaan dan perkotaan yang menjadi korban perampasan tanah (Catahun
KPA 2015-2024).
Dengan pemulihan hak atas tanah, akan selaras dengan
penyelesaian konflik agraria; menata ulang monopoli penguasaan tanah dan
kekayaan agraria nasional yang lebih berkeadilan bagi petani, masyarakat adat,
nelayan, perempuan, termasuk pekerja TPL (dan seluruh kelas pekerja) untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera.
“Perjuangan bersama ini tidak sekadar menjabarkan krisis
multidimensi akibat operasi PT TPL, lebih jauh adalah cara mengembalikan
konstitusionalitas Masyarakat Tano Batak dan tanah untuk rakyat lainnya;
konsolidasi untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada; serta
pemenuhan keadilan dan kesejahteraan bagi Masyarakat Tano Batak, Petani,
Pekerja/Buruh Eks. TPL melalui Reforma Agraria,” tutup Dewi.
Aksi ini diselenggarakan secara bersama oleh Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) Distrik Jakarta, Bekasi, Deboskab, Banten; dan
Koalisi Rakyat Tutup TPL yang terdiri dari Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa
Masyarakat (KSPPM); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN); Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) dan Yayasan
Forum Adil Sejahtera (YFAS).
