Celana: Identitas dan Kesilaman

By PorosBumi 17 Jun 2025, 08:36:20 WIB Tilikan
Celana: Identitas dan Kesilaman

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

DI arus sejarah awal abad XX, kemunculan para tokoh bercelana di sekolah-sekolah dan pelbagai perkumpulan turut memberi corak “baroe” dalam tata kehidupan di tanah jajahan. Selera berpakaian telah berubah. Pembaratan atau godaan Barat mulai mengisahkan Hindia Belanda. Kaum muda tampil necis, tak kalah dengan pejabat kolonial atau orang-orang Eropa dalam beragam pekerjaan. Konon, kaum bercelana menampilkan intelektualitas berpaham “kemadjoean”. Celana pun dijadikan rujukan debat sengit berkaitan agama, adat, politik, dan lain-lain.

Sekolah, kantor, perkumpulan, dan industri hiburan mengesahkan kaum lelaki di Hindia Belanda bercelana menggenapi pilihan baju, dasi, sepatu, topi, dan lain-lain. Sejarah perlahan dikisahkan kaum bercelana melalui kongres, “studi klub”, pidato, dan industri hiburan. Pada awal abad XX, bercelana memiliki kesan-kesan berani mencipta masa depan dan membentuk identitas berbeda dari kaum kuno atau kolot.

Kita mengingat para tokoh bercelana dari masa lalu: Tan Malaka, Marco Kartodikromo, Agoes Salim, Soekarno, Semaoen, Soetan Sjahrir, Soegondo Djojopoespito, WR Soepratman, dan lain-lain. Di peristiwa-peristiwa penting atau akbar menghasilkan foto-foto, kita melihat mereka dalam selera pakaian “baroe” meski berani melakukan perlawanan terhadap kolonialisme, feodalisme, dan kapitalisme.

Ingatan menjadi hidup bila membaca novel-novel: Student Hidjo (Marco Kartodikromo), Sitti Noerbaja (Marah Roesli), Salah Asoehan (Abdoel Moeis), Lajar Terkembang (Soetan Takdir Alisjahbana), dan lain-lain. Para pembaca menemukan tokoh-tokoh bercelana di pelbagai kota. Lelaki bercelana dengan segala tingkah dan pembentukan identitas. Celana menentukan derajat (sosial-kultural). Celana berurusan harga dan asmara. Celana pun menggerakkan ide-ide Indonesia.

Sejarah di Indonesia, sejarah mengenakan celana. Pada masa revolusi, pemandangan celana makin mengartikan pilihan-pilihan ideologi dan kepentingan mencipta masa depan. Konon, saling “ejek” bermisi politis disampaikan “kaum celana” dan “kaum sarungan”. Pada masa 1950-an dan 1960-an, politik di Indonesia mudah menimbulkan sengketa dan konflik. Simbol-simbol agama dan modernitas kadang sengaja saling adu.

Pertumbuhan sastra di Indonesia pun terus sesak oleh tokoh-tokoh bercelana dalam pelbagai cerita pendek dan novel. Para pengisah lucu dan “tragis” mengenai celana pernah disuguhkan Idrus, Misbach Jusa Biran, Mochtar Lubis, Ahmad Tohari, Umar Kayam, AA Navis, Mahbub Djunaidi, dan Ajip Rosidi. Mereka mengisahkan celana dikenakan seniman, tentara, guru, pejabat, murid, dan lain-lain. Amatan atas beragam celana turut memberi imajinasi-imajinasi merekam sejarah, sejak masa kolonial sampai Orde Baru.

Tokoh bernama Hidjo dalam gubahan Marco Kartodikromo tampil sebagai lelaki bercelana. Ia berhak membedakan diri dari kaum lelaki berjarik masih sering terlihat pada awal abad XX dan mengisahkan kehidupan kaum muda di STOVIA. Pemakaian dan pemaknaan celana bagi Hidjo makin menguat saat ia melanjutkan studi ke Belanda. Di novel Student Hidjo (1919), celana itu identitas dan derajat keintelektualan sosok bumiputra berani berada di Belanda (Eropa).

Di novel berjudul Salah Asoehan (1928), Abdoel Moeis menampilkan para lelaki bekerja di kantor. Mereka berbeda identitas-kebangsaan. Perbedaan nasib lelaki bercelana di kubu Eropa dan bumiputra sengaja tampak. Ikhtiar tokoh bernama Hanafi mematut diri dengan celana tak mudah menjadikan lelaki diterima di kalangan Eropa atau meraih kehormatan di mata-sosial.

Celana memang menguak kultur kota, permainan identitas, pekerjaan, dan selera berbusana. Konon, busana menjadi bukti pembaratan atau pembentukan “citra” nasional oleh kaum muda. Pada masa 1920-an dan 1930-an, jumlah lelaki bercelana di Indonesia terus bertambah meski tak semua tercakup dalam fiksi keluaran Balai Poestaka atau penerbit-penerbit partikelir.

Kees van Dijk (2005) menjelaskan situasi berpakaian masa kolonial: “Tidak semua orang memiliki banyak pilihan gaya (berpakaian). Bagi banyak penduduk biasa di Hindia Belanda, sebelum 1900, lingkup berpakaian dibatasi oleh aturan-aturan khusus, yang dikeluarkan mula-mula oleh VOC dilanjutkan pemerintah kolonial Belanda… Pakaian Barat ditabukan bagi banyak orang. Jika ada pengecualian maka berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda. Di daerah-daerah di bawah kendali Belanda, hanya kalangan ningrat dan Protestan pribumi yang diperbolehkan meniru aspek-aspek gaya hidup Barat, termasuk pakaian.” Penjelasan itu bakal menemukan kesesuaian saat kita membaca novel-novel menghadirkan para tokoh lelaki dalam dilema identitas gara-gara pakaian.

Kita menilik awal abad XX melalui keterangan Rudolf Mrazek (2005). Ia membahas politik berpakaian menimbulkan gejolak dan kemauan “selaras” meski sulit. Perubahan besar terjadi pada 1900 sampai 1910-an. Rudolf Mrazek mengungkapkan: “Politik berpakaian mendapatkan intensitas baru yang merata di banyak tempat (di perkantoran, di antara strata sub-asisten pribumi, sub-juru tulis, kurir, dan sub-kepala stasiun yang baru bermunculan. Ketegangan berkembang di sekitar pakaian…” Masa lalu mengandung penerimaan dan penolakan terhadap celana. Benda itu makin bertambah di tanah jajahan. Para lelaki pribumi tak terlalu takut atau malu untuk mengenakan celana berdasarkan beragam peraturan dan kepatutan sosial.

Babak-babak sejarah mengisahkan Indonesia bercelana. Pada masa berbeda, celana bukan lagi urusan genting dalam kolonialisme. Celana mulai lumrah atau klise dalam tata kehidupan Indonesia abad XXI. Pengecualian dilakukan oleh Joko Pinurbo dengan penulisan puisi-puisi mengenai celana. Ia menghadirkan masalah-masalah: mencampur lucu dan nelangsa berkaitan celana.

Kita tak lagi meributkan celana seperti awal abad XX. Joko Pinurbo melalui buku puisi berjudul Celana (1999) mengajak kita bermain tafsir celana di jalinan kehidupan dan kematian. Celana di toko “terbedakan” dengan celana di kuburan. Celana dalam kepentingan-kepentingan duniawi dihadapkan peristiwa religius dan ingatan kesejarahan.

Joko Pinurbo tak lupa mengisahkan politik. Sosok suka bercelana “jins” itu menulis: Di republik celana/ tiran yang sangat kejam dan pendendam itu/ sekarang telah menjadi raja telanjang/ yang tua-renta dan sakit-sakitan. Celana mengabarkan nasib buruk. Celana bukan sekadar merek, harga, model, dan warna. Puisi tak terlalu berarti bila kita mengingat omongan menteri sekian hari lalu. Ia memasalahkan celana dan gemuk. Konklusi tergesa: (ukuran) celana dan (jadwal) kematian. Kita mengaku malas berdebat meski menteri itu telanjur mendapat kritik dan lelucon.

Celana berarti sejarah, permainan identitas, suguhan sastra, dan ingatan biografis. Celana tak harus selalu terjelaskan oleh orang-orang dalam kekuasaan. Kita mendingan membaca novel dan puisi (lama atau baru) agar tak lekas selesai paham mengenai celana. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment