- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Celana: Identitas dan Kesilaman
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Ranger Gede Pangrango Rapatkan Barisan, Amankan Ribuan Pendaki Tertipu BC Nakal0
- Qurban Bersama Sevenist (QBS) Sukses Digelar, 750 Paket Daging Kurban Dibagikan 0
- Forum PRB DKI Mengulik Pentingnya Koordinasi Dalam Sebuah Operasi Penanganan Bencana0
- Menyibak Belenggu Kemiskinan, Anak Penjual Jerami Kuliah Gratis di UGM0
- Khutbah Idul Adha, Dosen UNY Benny Setiawan Serukan Kemandirian Pangan 0
DI arus sejarah awal abad XX,
kemunculan para tokoh bercelana di sekolah-sekolah dan pelbagai perkumpulan
turut memberi corak “baroe” dalam tata kehidupan di tanah jajahan. Selera
berpakaian telah berubah. Pembaratan atau godaan Barat mulai mengisahkan Hindia
Belanda. Kaum muda tampil necis, tak kalah dengan pejabat kolonial atau
orang-orang Eropa dalam beragam pekerjaan. Konon, kaum bercelana menampilkan
intelektualitas berpaham “kemadjoean”. Celana pun dijadikan rujukan debat
sengit berkaitan agama, adat, politik, dan lain-lain.
Sekolah, kantor, perkumpulan, dan industri hiburan
mengesahkan kaum lelaki di Hindia Belanda bercelana menggenapi pilihan baju,
dasi, sepatu, topi, dan lain-lain. Sejarah perlahan dikisahkan kaum bercelana
melalui kongres, “studi klub”, pidato, dan industri hiburan. Pada awal abad XX,
bercelana memiliki kesan-kesan berani mencipta masa depan dan membentuk
identitas berbeda dari kaum kuno atau kolot.
Kita mengingat para tokoh bercelana dari masa lalu: Tan
Malaka, Marco Kartodikromo, Agoes Salim, Soekarno, Semaoen, Soetan Sjahrir,
Soegondo Djojopoespito, WR Soepratman, dan lain-lain. Di peristiwa-peristiwa
penting atau akbar menghasilkan foto-foto, kita melihat mereka dalam selera
pakaian “baroe” meski berani melakukan perlawanan terhadap kolonialisme,
feodalisme, dan kapitalisme.
Ingatan menjadi hidup bila membaca novel-novel: Student
Hidjo (Marco Kartodikromo), Sitti Noerbaja (Marah Roesli), Salah
Asoehan (Abdoel Moeis), Lajar Terkembang (Soetan Takdir
Alisjahbana), dan lain-lain. Para pembaca menemukan tokoh-tokoh bercelana di
pelbagai kota. Lelaki bercelana dengan segala tingkah dan pembentukan
identitas. Celana menentukan derajat (sosial-kultural). Celana berurusan harga
dan asmara. Celana pun menggerakkan ide-ide Indonesia.
Sejarah di Indonesia, sejarah mengenakan celana. Pada masa
revolusi, pemandangan celana makin mengartikan pilihan-pilihan ideologi dan
kepentingan mencipta masa depan. Konon, saling “ejek” bermisi politis
disampaikan “kaum celana” dan “kaum sarungan”. Pada masa 1950-an dan 1960-an,
politik di Indonesia mudah menimbulkan sengketa dan konflik. Simbol-simbol
agama dan modernitas kadang sengaja saling adu.
Pertumbuhan sastra di Indonesia pun terus sesak oleh
tokoh-tokoh bercelana dalam pelbagai cerita pendek dan novel. Para pengisah
lucu dan “tragis” mengenai celana pernah disuguhkan Idrus, Misbach Jusa Biran,
Mochtar Lubis, Ahmad Tohari, Umar Kayam, AA Navis, Mahbub Djunaidi, dan Ajip
Rosidi. Mereka mengisahkan celana dikenakan seniman, tentara, guru, pejabat,
murid, dan lain-lain. Amatan atas beragam celana turut memberi
imajinasi-imajinasi merekam sejarah, sejak masa kolonial sampai Orde Baru.
Tokoh bernama Hidjo dalam gubahan Marco Kartodikromo tampil
sebagai lelaki bercelana. Ia berhak membedakan diri dari kaum lelaki berjarik
masih sering terlihat pada awal abad XX dan mengisahkan kehidupan kaum muda di
STOVIA. Pemakaian dan pemaknaan celana bagi Hidjo makin menguat saat ia
melanjutkan studi ke Belanda. Di novel Student Hidjo (1919), celana itu
identitas dan derajat keintelektualan sosok bumiputra berani berada di Belanda
(Eropa).
Di novel berjudul Salah Asoehan (1928), Abdoel Moeis
menampilkan para lelaki bekerja di kantor. Mereka berbeda identitas-kebangsaan.
Perbedaan nasib lelaki bercelana di kubu Eropa dan bumiputra sengaja tampak.
Ikhtiar tokoh bernama Hanafi mematut diri dengan celana tak mudah menjadikan
lelaki diterima di kalangan Eropa atau meraih kehormatan di mata-sosial.
Celana memang menguak kultur kota, permainan identitas,
pekerjaan, dan selera berbusana. Konon, busana menjadi bukti pembaratan atau
pembentukan “citra” nasional oleh kaum muda. Pada masa 1920-an dan 1930-an,
jumlah lelaki bercelana di Indonesia terus bertambah meski tak semua tercakup
dalam fiksi keluaran Balai Poestaka atau penerbit-penerbit partikelir.
Kees van Dijk (2005) menjelaskan situasi berpakaian masa
kolonial: “Tidak semua orang memiliki banyak pilihan gaya (berpakaian). Bagi
banyak penduduk biasa di Hindia Belanda, sebelum 1900, lingkup berpakaian
dibatasi oleh aturan-aturan khusus, yang dikeluarkan mula-mula oleh VOC
dilanjutkan pemerintah kolonial Belanda… Pakaian Barat ditabukan bagi banyak
orang. Jika ada pengecualian maka berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan
Belanda. Di daerah-daerah di bawah kendali Belanda, hanya kalangan ningrat dan
Protestan pribumi yang diperbolehkan meniru aspek-aspek gaya hidup Barat,
termasuk pakaian.” Penjelasan itu bakal menemukan kesesuaian saat kita membaca
novel-novel menghadirkan para tokoh lelaki dalam dilema identitas gara-gara
pakaian.
Kita menilik awal abad XX melalui keterangan Rudolf Mrazek
(2005). Ia membahas politik berpakaian menimbulkan gejolak dan kemauan
“selaras” meski sulit. Perubahan besar terjadi pada 1900 sampai 1910-an. Rudolf
Mrazek mengungkapkan: “Politik berpakaian mendapatkan intensitas baru yang
merata di banyak tempat (di perkantoran, di antara strata sub-asisten pribumi,
sub-juru tulis, kurir, dan sub-kepala stasiun yang baru bermunculan. Ketegangan
berkembang di sekitar pakaian…” Masa lalu mengandung penerimaan dan penolakan
terhadap celana. Benda itu makin bertambah di tanah jajahan. Para lelaki
pribumi tak terlalu takut atau malu untuk mengenakan celana berdasarkan beragam
peraturan dan kepatutan sosial.
Babak-babak sejarah mengisahkan Indonesia bercelana. Pada
masa berbeda, celana bukan lagi urusan genting dalam kolonialisme. Celana mulai
lumrah atau klise dalam tata kehidupan Indonesia abad XXI. Pengecualian
dilakukan oleh Joko Pinurbo dengan penulisan puisi-puisi mengenai celana. Ia
menghadirkan masalah-masalah: mencampur lucu dan nelangsa berkaitan celana.
Kita tak lagi meributkan celana seperti awal abad XX. Joko
Pinurbo melalui buku puisi berjudul Celana (1999) mengajak kita bermain
tafsir celana di jalinan kehidupan dan kematian. Celana di toko “terbedakan”
dengan celana di kuburan. Celana dalam kepentingan-kepentingan duniawi
dihadapkan peristiwa religius dan ingatan kesejarahan.
Joko Pinurbo tak lupa mengisahkan politik. Sosok suka
bercelana “jins” itu menulis: Di republik celana/ tiran yang sangat kejam dan
pendendam itu/ sekarang telah menjadi raja telanjang/ yang tua-renta dan
sakit-sakitan. Celana mengabarkan nasib buruk. Celana bukan sekadar merek,
harga, model, dan warna. Puisi tak terlalu berarti bila kita mengingat omongan
menteri sekian hari lalu. Ia memasalahkan celana dan gemuk. Konklusi tergesa:
(ukuran) celana dan (jadwal) kematian. Kita mengaku malas berdebat meski menteri
itu telanjur mendapat kritik dan lelucon.
Celana berarti sejarah, permainan identitas, suguhan sastra,
dan ingatan biografis. Celana tak harus selalu terjelaskan oleh orang-orang
dalam kekuasaan. Kita mendingan membaca novel dan puisi (lama atau baru) agar
tak lekas selesai paham mengenai celana. Begitu.
