- BRIN-UNISBA Riset Karakterisasi Sumber Daya Geologi dan Pemanfaatan Mineral Ikutan
- Mentan Ungkap Kejanggalan Data Beras di Cipinang, Diduga Permainan Mafia Pangan
- AHY Dorong UMKM di Indonesia Maju, Berkembang dan Mendunia
- Kisah Gayatri, Istri Raja Pertama Majapahit, Nenek Hayam Wuruk
- Ini Sejumlah Lokasi Berburu Matahari Terbit sambil Wisata Kuliner
- KKP Tangkap 2 Kapal Ikan Asal Malaysia di Selat Malaka
- Dari Pesisir Nusa Lembongan, PLN Bangun Kemandirian Ekonomi Melalui Rumput Laut
- Beras!
- BRIN Manfaatkan Drone LiDAR Pantau Keberhasilan Konservasi Hutan Mangrove
- Greenpeace Dukung Kongres Dunia Pertama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari Tiga Kawasan Hutan
BRIN Manfaatkan Drone LiDAR Pantau Keberhasilan Konservasi Hutan Mangrove
.jpg)
JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)
mengembangkan metode baru dalam menilai keanekaragaman hayati hutan mangrove
Indonesia secara efisien dan akurat. Periset Pusat Riset Oseanografi (PRO) BRIN,
Yaya Ihya Ulumuddin menyampaikan bahwa Indonesia memiliki banyak lokasi
mangrove yang perlu dipantau.
“Tujuan utama kami adalah mengembangkan tools assessment
kuantitatif yang dapat menunjukkan sejauh mana keberhasilan kegiatan konservasi
yang kebanyakan dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM),” kata Yaya, dalam
kegiatan Oceanography Biweekly Meeting (OBM), secara daring, Senin (26/5).
Dia menjelaskan, metode tersebut memanfaatkan teknologi
drone dengan sensor LiDAR dan kamera multispektral, memungkinkan pengamatan
vegetasi mangrove dari udara. Hal ini diperlukan untuk pendekatan yang dapat
digunakan secara cepat dan luas.
Baca Lainnya :
- Investigasi Greenpeace Temukan Indikasi Kerajaan Bayangan RGE Ancam Kelestarian Hutan Indonesia0
- Belantara Foundation: Strategi Terpadu Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Sebuah Keharusan 0
- SBY: Krisis Iklim dan Krisis Lingkungan Itu Nyata0
- Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Tuntut Pemerintah Jepang Hentikan Inisiatif AZEC0
- ESG Award 2025 by KEHATI0
“Kami ingin melihat atau menilai keanekaragaman hayati
dengan skala yang lebih luas dan cepat. Karena LSM punya beberapa lokasi,
sehingga ada satu kebutuhan untuk mengembangkan satu indeks atau satu cara
untuk menilai keanekaragaman hayati secara cepat, apalagi dengan adanya
perkembangan teknologi drone LiDAR dan multispektral,” tegasnya.
Teknologi ini kemudian menghasilkan dua jenis data penting.
Pertama, diversitas spektral yang dapat menggambarkan variasi vegetasi, karena
vegetasi tertentu memantulkan cahaya dengan pola berbeda-beda. Kedua,
diversitas struktural yang dapat menghasilkan data struktur hutan, seperti
tutupan dan tinggi vegetasi.
Hasil dari pendekatan ini dirangkum dalam bentuk mangrove
biodiversity index (BI), yang menunjukkan status keanekaragaman hayati di satu
area. Selain itu, data ini dapat digunakan lebih lanjut. Misalnya, dengan
membandingkannya dengan elevasi tanah yang dapat menunjukkan tingkat genangan.
Dengan perbandingan ini, akan diketahui bahwa vegetasi tidak
tumbuh atau BI bernilai rendah karena area tersebut sering tergenang.
Yaya menambahkan, BI dinilai cocok digunakan sebagai
indikator dalam kerangka driving forces, pressures, state, impacts, responses
(DPSIR), khususnya untuk memantau kondisi ekosistem. Dengan kata lain,
teknologi ini bisa menjadi alat peringatan dini atas kerusakan atau degradasi
ekosistem mangrove.
Dalam diskusi lanjutan, tim peneliti membuka peluang
pengembangan metode lebih lanjut. Seperti, menggabungkan data LiDAR dengan
citra satelit dan teknologi kecerdasan buatan (AI). Juga, memperluas cakupan
riset ke ekosistem pesisir lainnya di luar mangrove.
“Mereka juga mempertimbangkan peluang potensi teknologi
lainnya. Misalnya, mendeteksi spesies mangrove baru atau menghitung fauna kecil
yang hidup di ekosistem mangrove secara otomatis,” terangnya.
Penelitian ini menjadi tonggak penting dalam pemanfaatan
teknologi canggih untuk konservasi. Diharapkan, hasilnya dapat mendorong
pendekatan serupa di wilayah pesisir lainnya di Indonesia. (ss/ed:and,
tnt)
