- BRIN-UNISBA Riset Karakterisasi Sumber Daya Geologi dan Pemanfaatan Mineral Ikutan
- Mentan Ungkap Kejanggalan Data Beras di Cipinang, Diduga Permainan Mafia Pangan
- AHY Dorong UMKM di Indonesia Maju, Berkembang dan Mendunia
- Kisah Gayatri, Istri Raja Pertama Majapahit, Nenek Hayam Wuruk
- Ini Sejumlah Lokasi Berburu Matahari Terbit sambil Wisata Kuliner
- KKP Tangkap 2 Kapal Ikan Asal Malaysia di Selat Malaka
- Dari Pesisir Nusa Lembongan, PLN Bangun Kemandirian Ekonomi Melalui Rumput Laut
- Beras!
- BRIN Manfaatkan Drone LiDAR Pantau Keberhasilan Konservasi Hutan Mangrove
- Greenpeace Dukung Kongres Dunia Pertama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari Tiga Kawasan Hutan
Investigasi Greenpeace Temukan Indikasi Kerajaan Bayangan RGE Ancam Kelestarian Hutan Indonesia
.jpg)
JAKARTA – Greenpeace International
merilis laporan investigasi mendalam ihwal perusahaan-perusahaan yang ditemukan
memiliki hubungan dengan grup Royal Golden Eagle (RGE), sebuah grup perusahaan
besar yang diakui dikendalikan oleh taipan Indonesia, Sukanto Tanoto.
Laporan berjudul Under The Eagle’s Shadow ini mengemukakan
bukti kuat bahwa entitas yang diselidiki adalah perusahaan-perusahaan bayangan
di bawah kendali bersama dengan grup RGE/Tanoto–grup korporasi
multinasional/global yang bergerak di bidang bubur kertas dan kelapa sawit,
serta industri lainnya di sejumlah negara.
Perusahaan bayangan adalah aset grup yang tidak diakui,
sering kali ditempatkan di yurisdiksi-yurisdiksi kerahasiaan (secrecy
jurisdictions), sehingga memungkinkan grup tersebut menghindari
pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan dan sosial, termasuk dalam hal
penggundulan hutan.
Baca Lainnya :
- Belantara Foundation: Strategi Terpadu Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Sebuah Keharusan 0
- SBY: Krisis Iklim dan Krisis Lingkungan Itu Nyata0
- Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Tuntut Pemerintah Jepang Hentikan Inisiatif AZEC0
- ESG Award 2025 by KEHATI0
- 15 Jurnalis Jateng Terpilih Dalam Media Fellowship WALHI0
Investigasi ini memeriksa 194 perusahaan yang berbasis di
Indonesia dan 63 perusahaan induk di luar negeri. Dari ratusan perusahaan pada
daftar tersebut, ada perusahaan yang membabat habitat orangutan untuk menanam
perkebunan kayu monokultur, juga ada perusahaan yang membeli kelapa sawit yang
ditanam di dalam kawasan suaka margasatwa.
Dalam imperium perusahaan bayangan yang diselidiki ini,
Greenpeace International menemukan dua perusahaan kebun kayu yang menjadi
‘juara’ perusak hutan di Indonesia pada 2022 dan 2023, serta satu perusahaan
kebun sawit yang menduduki peringkat kedua penebang hutan terbesar pada 2023.
RGE membantah bahwa mereka mengendalikan entitas-entitas
tersebut. Namun laporan ini menyimpulkan, dengan menggunakan pendekatan
kehati-hatian, ratusan perusahaan yang diselidiki tersebut seharusnya diakui
sebagai bagian dari grup RGE/Tanoto. Greenpeace International menilai bahwa
RGE/Tanoto Group mestinya juga bertanggung jawab atas segala kerugian sosial
dan/atau lingkungan yang diakibatkan oleh operasi perusahaan-perusahaan ini.
Laju deforestasi Indonesia sebenarnya sempat menurun setelah
kampanye organisasi masyarakat sipil dan konsumen selama puluhan tahun. Namun,
dalam beberapa tahun terakhir, laju deforestasi beranjak naik lagi. Konversi
hutan menjadi perkebunan kembali meningkat, terutama untuk perkebunan kayu
monokultur dan kelapa sawit. Penggunaan perusahaan bayangan oleh kelompok
perusahaan besar tampaknya menjadi faktor yang mendorong kembalinya tren buruk
ini.
Sebab itu, Greenpeace International meneliti salah satu
perusahaan sumber daya alam terbesar di Indonesia tersebut dengan menerapkan
metodologi Shining Light on the Shadows. Dengan metodologi tersebut, Greenpeace
International menunjukkan pula bahwa perusahaan pemegang merek ternama,
perbankan, dan institusi pelaksana skema sertifikasi berkelanjutan sebenarnya
bisa, dan semestinya melakukan penelitian semacam ini secara mandiri.
Kiki Taufik, Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan
Indonesia menyatakan, bahwa konsumen sudah bersuara bahwa mereka tidak
menginginkan barang yang berasal dari penggundulan hutan. Agar produk mereka
tetap laku di pasaran, banyak merek berjanji untuk berhenti membeli dari
kelompok perusahaan yang menebang hutan dan mengeringkan lahan gambut di
Indonesia.
“Namun, kelompok-kelompok tersebut tetap ingin mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menyembunyikan aset di negara-negara
suaka pajak, sehingga mereka dapat mempertahankan akses ke pasar yang
mensyaratkan bebas deforestasi, walau sambil tetap menebang hutan.”
Sepanjang awal 2021 hingga Mei 2024, deforestasi seluas
68.000 hektare telah terjadi di konsesi-konsesi yang diyakini berada di bawah
kendali bersama dengan grup RGE/Tanoto. Artinya, dalam waktu kurang dari empat
tahun, hutan yang dibabat seluas Provinsi Jakarta. Hampir 36.000 hektare
deforestasi terjadi di area yang dipetakan sebagai lahan gambut–lanskap yang
amat penting untuk penduduk setempat dan iklim global.
Selain itu, ada pula pembangunan infrastruktur pabrik
pemrosesan yang amat besar. Infrastruktur ini dikhawatirkan akan memicu kasus
deforestasi baru–seperti pabrik kelapa sawit baru dan pabrik pulp baru
berkapasitas besar di Kalimantan Utara yang bisa makin menggunduli hutan
Kalimantan.
“Jika ingin tetap bersih, para pemilik merek dagang perlu
mengevaluasi bukti ini dan mengakhiri keterlibatan mereka dalam deforestasi
melalui RGE. Demikian pula, FSC harus menyelidiki semua perusahaan yang
diidentifikasi dalam laporan. Jika FSC juga menemukan bahwa
perusahaan-perusahaan tersebut berada di bawah kendali RGE/Grup Tanoto, maka
proses remedi untuk APRIL harus dihentikan,” kata Refki Saputra, Juru Kampanye
Hutan Greenpeace Indonesia.
“Terlebih lagi, masyarakat Indonesia berhak mengetahui siapa
yang menguasai tanah, dan siapa yang memutuskan apakah hutan akan bertahan atau
tumbang. Pemerintah harus menegakkan transparansi dan memberantas penggunaan
perusahaan bayangan.”
