Toraja dalam Lensa: Kala Leluhur Bicara lewat Cahaya

By PorosBumi 29 Agu 2025, 18:18:10 WIB Ornamen
Toraja dalam Lensa: Kala Leluhur Bicara lewat Cahaya

DI sebuah ruang galeri IFI Wijaya yang hening, cahaya lampu jatuh lembut ke dinding-dinding putih. Deretan foto tergantung, bukan sekadar karya visual, melainkan pintu menuju sebuah dunia: Toraja. Dunia di mana hidup dan mati berpelukan, di mana leluhur bukan sekadar kenangan, melainkan bagian dari keseharian.


Baca Lainnya :

Pameran foto bertajuk “Toraja, Rumah Para Leluhur: Tradisi yang Menantang Waktu” menghadirkan potret budaya Toraja dengan kedalaman yang jarang tersentuh. Setiap bidikan kamera menangkap denyut tradisi—dari kemegahan upacara Rambu Solo’, keheningan tau-tau yang berdiri gagah di tebing batu, hingga ritual Ma’nene yang membuat arwah dan keluarga kembali bersua.

“Toraja mengajarkan kita bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi perjalanan pulang. Foto-foto ini adalah upaya untuk merekam pesan itu agar tak hilang di tengah zaman,” tutur Hasiholan Siahaan, kurator pameran, dalam pembukaan di Jakarta Rabu (27/8/2025).


Lebih dari sekadar dokumentasi, karya-karya ini menghadirkan rasa. Potret wajah-wajah tua yang penuh garis pengalaman, kerbau belang yang dihormati, anak-anak yang berlari di halaman tongkonan, semuanya menjadi jendela ke dalam jiwa masyarakat Toraja. Pengunjung bukan hanya melihat gambar, melainkan ikut menyelami filosofi Aluk To Dolo, kepercayaan leluhur yang menata kehidupan dan kematian.

“Di era modern yang sering mengaburkan identitas, pameran ini menjadi pengingat bahwa budaya adalah jangkar. Toraja berdiri sebagai saksi bahwa kehidupan dan kematian, dapat disatukan lewat penghormatan pada leluhur,” timpal ketua pelaksana Ian Sutisna.


Ibu Ester salah satu pengunjung pameran merasa kagum atas pameran foto yang menampilkan keindahan Budaya Tana Toraja ini. “Pameran Toraja, Rumah Para Leluhur: Tradisi yang Menantang Waktu ini bukan hanya sekadar visual, melainkan perjalanan batin Leluhur yang ditangkap sempurna melalui lensa fotografer,” kata dia.

“Pameran ini seakan sebuah undangan untuk berhenti sejenak, menatap foto-foto itu, dan mendengar bisikan leluhur yang berbicara lewat cahaya,” sambungnya.


Pameran digelar oleh Forsednibudpar dan Galeri Mata Nusantara (GMN) ini bertujuan untuk merawat kekayaan seni budaya bangsa Indonesia dan mewariskannya kepada generasi muda melalui data dan jejak rekam digital serta memperluasnya melalui pameran foto, diskusi budaya maupun buku dan sosial media. Gratis dan terbuka untuk umum, acara berlangsung mulai 27 Agustus – 7 September 2025.

Tiga fotografer menampilkan 15 (Lima belas) karya foto dengan tema beragam, unik, menarik dan menggugah penonton. Masih rangkaian acara pameran, pada Kamis 28 Agustus 2025 digelar Diskusi Budaya dengan menghadirkan narasumber, Giri Basuki (seniman/budayawan), Dewi Kumoratih (Ketua Yayasan Negeri Rempah), dan Tagor Siagian (Pengajar Fotografi di Sekolah Jurnalistik Indonesia)

Mampukah Kebudayaan Indonesia Bertahan?

Dimoderatori wartawan senior Hendri Irawan, diskusi bertajuk “Jejak Peradaban di Era Modernisasi: Mampukah Kebudayaan Indonesia Bertahan?”, mengupas mulai lunturnya nilai adat dan tradisi. Seperti upacara adat Rambu Solo’ atau Ma’nene di Toraja yang berpotensi ditinggalkan generasi muda karena dianggap rumit, mahal, dan memakan waktu.


Menurut seniman dan budayawan Giri Basuki, budaya Indonesia dapat bertahan dan berkembang jika ada upaya berkelanjutan untuk mengadaptasinya dengan era modern melalui inovasi, memanfaatkan teknologi, serta menanamkan rasa bangga dan tanggung jawab pada generasi muda untuk melestarikan warisan leluhur mereka.

“Ini bisa terwujud dengan partisipasi aktif dari pemerintah, masyarakat, dan terutama generasi muda yang kreatif. Kan sudah ada Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, juga sudah dibentuk Kementerian Kebudayaan, anggarannya juga sudah ada, tinggal dijalankan,” papar Giri. 

Ia melanjutkan, lunturnya pemahaman dan ketertarikan generasi muda terhadap budaya lokal berpotensi menghilangkan identitas bangsa. “Penanaman nilai-nilai budaya sejak usia muda sangat penting untuk membangun kesadaran dan apresiasi terhadap budaya,” katanya.


Setali tiga uang, Dewi Kumoratih, dari Yayasan Negeri Rempah mengatakan, generasi muda dapat menjadi penggerak utama pelestarian budaya dengan menggunakan teknologi untuk mendokumentasikan, mempromosikan, dan menyebarkan budaya lokal ke khalayak luas. 

Kendati begitu, dia menekankan, bahwa budaya harus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan ciri khas aslinya. “Sangat penting diajarkan ke generasi muda khasanah kekayaan budaya Indonesia. Dengan begitu generasi muda mengenal jati diri atau identitas kebangsaannya,” tuturnya.

“Perbanyak literasi dan ruang-ruang kreatif untuk kegiatan terkait kebudayaan. Generasi muda bisa aktif dalam komunitas seni dan budaya, sanggar seni dan festival budaya untuk menjaga identitas mereka. Menciptakan produk budaya yang kreatif dan inovatif juga mesti dilakukan agar dapat meningkatkan daya tarik budaya bagi anak muda,” sambungnya. 

Senada, wartawan foto senior Tagor Siagian berharap generasi muda lebih mencintai budaya lokal ketimbang budaya asing. “Terutama para fotografer muda perbanyak memotret budaya Indonesia. Ini kan sama halnya mempromosikan budaya lokal. Ngapain mempromosikan budaya luar,” ujar Tagor seraya berharap kepada pemerintah diadakan kurikulum atau minimal ekstrakurikuler fotografi di sekolah.

 

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment