- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Toraja dalam Lensa: Kala Leluhur Bicara lewat Cahaya
.jpg)
DI sebuah ruang galeri IFI Wijaya yang hening, cahaya lampu jatuh lembut ke dinding-dinding putih. Deretan foto tergantung, bukan sekadar karya visual, melainkan pintu menuju sebuah dunia: Toraja. Dunia di mana hidup dan mati berpelukan, di mana leluhur bukan sekadar kenangan, melainkan bagian dari keseharian.
Baca Lainnya :
- Energi Bersih Aliri 25 Hektare Lahan Pertanian Berkelanjutan Milik Warga Desa Kalijaran0
- Sejumlah Tokoh Beri Kuliah Umum PBAK Mahasiswa Baru UIN Jakarta 20250
- Makan dan Berhitung 0
- Mengungkap Kisah Sejarah Perdagangan Islam Dunia dari Temuan Artefaktual dalam Karya Buku0
- Crunomys Tompotika, Spesies Baru Tikus Hutan dari Gunung Tompotika 0
Pameran foto bertajuk “Toraja, Rumah Para Leluhur: Tradisi
yang Menantang Waktu” menghadirkan potret budaya Toraja dengan kedalaman yang
jarang tersentuh. Setiap bidikan kamera menangkap denyut tradisi—dari kemegahan
upacara Rambu Solo’, keheningan tau-tau yang berdiri gagah di tebing batu,
hingga ritual Ma’nene yang membuat arwah dan keluarga kembali bersua.
“Toraja mengajarkan kita bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi perjalanan pulang. Foto-foto ini adalah upaya untuk merekam pesan itu agar tak hilang di tengah zaman,” tutur Hasiholan Siahaan, kurator pameran, dalam pembukaan di Jakarta Rabu (27/8/2025).
Lebih dari sekadar dokumentasi, karya-karya ini menghadirkan
rasa. Potret wajah-wajah tua yang penuh garis pengalaman, kerbau belang yang
dihormati, anak-anak yang berlari di halaman tongkonan, semuanya menjadi
jendela ke dalam jiwa masyarakat Toraja. Pengunjung bukan hanya melihat gambar,
melainkan ikut menyelami filosofi Aluk To Dolo, kepercayaan leluhur yang menata
kehidupan dan kematian.
“Di era modern yang sering mengaburkan identitas, pameran ini menjadi pengingat bahwa budaya adalah jangkar. Toraja berdiri sebagai saksi bahwa kehidupan dan kematian, dapat disatukan lewat penghormatan pada leluhur,” timpal ketua pelaksana Ian Sutisna.
Ibu Ester salah satu pengunjung pameran merasa kagum atas
pameran foto yang menampilkan keindahan Budaya Tana Toraja ini. “Pameran Toraja,
Rumah Para Leluhur: Tradisi yang Menantang Waktu ini bukan hanya sekadar
visual, melainkan perjalanan batin Leluhur yang ditangkap sempurna melalui
lensa fotografer,” kata dia.
“Pameran ini seakan sebuah undangan untuk berhenti sejenak, menatap foto-foto itu, dan mendengar bisikan leluhur yang berbicara lewat cahaya,” sambungnya.
Pameran digelar oleh Forsednibudpar dan Galeri Mata
Nusantara (GMN) ini bertujuan untuk merawat kekayaan seni budaya bangsa
Indonesia dan mewariskannya kepada generasi muda melalui data dan jejak rekam
digital serta memperluasnya melalui pameran foto, diskusi budaya maupun buku
dan sosial media. Gratis dan terbuka untuk umum, acara berlangsung mulai 27
Agustus – 7 September 2025.
Tiga fotografer menampilkan 15 (Lima belas) karya foto
dengan tema beragam, unik, menarik dan menggugah penonton. Masih rangkaian acara
pameran, pada Kamis 28 Agustus 2025 digelar Diskusi Budaya dengan menghadirkan narasumber,
Giri Basuki (seniman/budayawan), Dewi Kumoratih (Ketua Yayasan Negeri Rempah),
dan Tagor Siagian (Pengajar Fotografi di Sekolah Jurnalistik Indonesia)
Mampukah Kebudayaan Indonesia Bertahan?
Dimoderatori wartawan senior Hendri Irawan, diskusi bertajuk “Jejak Peradaban di Era Modernisasi: Mampukah Kebudayaan Indonesia Bertahan?”, mengupas mulai lunturnya nilai adat dan tradisi. Seperti upacara adat Rambu Solo’ atau Ma’nene di Toraja yang berpotensi ditinggalkan generasi muda karena dianggap rumit, mahal, dan memakan waktu.
Menurut seniman dan budayawan Giri Basuki, budaya Indonesia
dapat bertahan dan berkembang jika ada upaya berkelanjutan untuk
mengadaptasinya dengan era modern melalui inovasi, memanfaatkan teknologi,
serta menanamkan rasa bangga dan tanggung jawab pada generasi muda untuk
melestarikan warisan leluhur mereka.
“Ini bisa terwujud dengan partisipasi aktif dari pemerintah,
masyarakat, dan terutama generasi muda yang kreatif. Kan sudah ada Undang-Undang
Pemajuan Kebudayaan, juga sudah dibentuk Kementerian Kebudayaan, anggarannya
juga sudah ada, tinggal dijalankan,” papar Giri.
Ia melanjutkan, lunturnya pemahaman dan ketertarikan generasi muda terhadap budaya lokal berpotensi menghilangkan identitas bangsa. “Penanaman nilai-nilai budaya sejak usia muda sangat penting untuk membangun kesadaran dan apresiasi terhadap budaya,” katanya.
Setali tiga uang, Dewi Kumoratih, dari Yayasan Negeri Rempah
mengatakan, generasi muda dapat menjadi penggerak utama pelestarian budaya
dengan menggunakan teknologi untuk mendokumentasikan, mempromosikan, dan
menyebarkan budaya lokal ke khalayak luas.
Kendati begitu, dia menekankan, bahwa budaya harus
beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan ciri khas aslinya. “Sangat
penting diajarkan ke generasi muda khasanah kekayaan budaya Indonesia. Dengan
begitu generasi muda mengenal jati diri atau identitas kebangsaannya,” tuturnya.
“Perbanyak literasi dan ruang-ruang kreatif untuk kegiatan
terkait kebudayaan. Generasi muda bisa aktif dalam komunitas seni dan budaya, sanggar
seni dan festival budaya untuk menjaga identitas mereka. Menciptakan
produk budaya yang kreatif dan inovatif juga mesti dilakukan agar dapat
meningkatkan daya tarik budaya bagi anak muda,” sambungnya.
Senada, wartawan foto senior Tagor Siagian berharap generasi
muda lebih mencintai budaya lokal ketimbang budaya asing. “Terutama para
fotografer muda perbanyak memotret budaya Indonesia. Ini kan sama halnya
mempromosikan budaya lokal. Ngapain mempromosikan budaya luar,” ujar Tagor
seraya berharap kepada pemerintah diadakan kurikulum atau minimal ekstrakurikuler
fotografi di sekolah.
