- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Makan dan Berhitung
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Mengungkap Kisah Sejarah Perdagangan Islam Dunia dari Temuan Artefaktual dalam Karya Buku0
- Crunomys Tompotika, Spesies Baru Tikus Hutan dari Gunung Tompotika 0
- Atlet Kroasia Tahan Napas 29 Menit di Bawah Air, Kalahkan Mamalia Laut0
- Lasem: Episentrum Peradaban Maritim dan Galangan Kapal Kuno Jawa0
- Translokasi Badak Jawa: Upaya Nyata Selamatkan Spesies Ikonik0
INTELEKTUAL berpendapat dituntut
menggunakan bahasa (tak) rumit. Ia pun diharuskan memiliki argumentasi atau
pembeberan atas bukti-bukti. Pendapat disampaikan ke publik dapat menjadi
“tantangan” untuk kemunculan penerimaan atau bantahan berdasarkan bukti
tandingan, benturan argumentasi, dan amatan dampak. Kita sempat direpotkan
pendapat disampaikan intelektual saat memiliki posisi dalam kabinet
Prabowo-Gibran.
Pendapat justru lekas menimbulkan “gosip” mengandung ejekan
dan kelakar. Publik memberi perhatian sambil mencipta “hiburan” menggunakan
main kata-kata dan gambar. Intelektual berpendapat bukan mendapat tepuk tangan
dan pujian. Ia memang inteletual tapi dianggap publik sedang pamer “gairah
politis” di hadapan penguasa.
Sekian hari lalu, intelektual dan anggota kabinet
Prabowo-Gibran itu mengatakan: “Dengan program MBG (makanan bergizi gratis),
anak-anak tidak hanya mendapatkan gizi yang baik tetapi juga belajar menghitung
dan mengenal bahasa Inggris melalui jenis-jenis makanan.” Pendapat terbaca
“apik”. Publik tak kesulitan memahami kalimat agak panjang. Rampung membaca,
publik geleng-geleng kepala atau menunduk kebingungan.
Pendapat belum selesai. Intelektual itu masih menderetkan
kata terhadap kebijakan pemerintah berupa pangan di jagat pendidikan: “menjadi
sarana motivasi dan pemicu untuk mengasah daya ingat serta pengetahuan
anak-anak secara efektif.” Ia mengatakan itu berdasarkan bukti ilmiah. Publik
dibujuk lagi memikirkan hubungan makanan dan “keilmuan” bagi murid-murid. Makan
tak sekadar menghabiskan menu disajikan di nampan atau piring. Makan itu
peristiwa “istimewa” bagi pemerintah dengan membuat penjelasan dan konklusi
sering mengejutkan publik.
Kita capek dengan segala kebingungan memilih membaca artikel
lama dimuat dalam majalah Intisari edisi Maret 1984. Artikel itu
berjudul “Cinta Matematika Harus Ditanamkan Sejak Kecil.” Dulu, orang-orang
membaca artikel belum dipusingkan oleh kebijakan pangan. Kutipan agak penting
agar duperhatikan orang tua: “Dengan membacalkan mereka hal yang ada angka-angkanya
dapat membuat mereka belajar kalau angka adalah bagian dari hidup ini.”
Anak-anak belajar matematika bersumber buku.
Bujukan berbeda diberikan: “Mengajak anak bermain permainan
yang memakai angka atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan saat kita berbicara
dengan anak.” Usaha-usaha dilakukan agar anak-anak mengenali dan menggandrungi
matematika, sebelum mereka diharuskan mengikuti kaidah-kaidah pengajaran di
sekolah.
Di artikel pendek, pembaca tak mendapat penjelasan hubungan
matematika dan makanan disantap oleh anak-anak. Pembaca cukup mengerti bila
sekian tahun lalu bermunculan iklan-iklan susu mengaku dapat meningkatkan
kemampuan berpikir, termasuk membuat anak-anak pintar dalam matematika.
Pada masa 1980-an, rezim Soeharto sedang berpikiran
swasembada pangan tanpa penjelasan ikut menunjang peningkatan pengetahuan atau
kemahiran matematika jutaan murid di seantero Indonesia. Pada masa Orde Baru,
kebijakan pemerintah membagi susu sempat berlaku di sekolah-sekolah tanpa janji
besar dan bualan mengenai kemajuan matematika.
Penjelasan terbaca dalam artikel lama: “Matematika yang
diperoleh anak di sekolah dasar merupakan ilmu pasti yang dibutuhkan seumur
hidupnya, termasuk pelajaran mengenai luas bidang, isi, suku bunga, persentase,
desimal, pecahan dan permulaan aljabar.” Matematika itu penting tapi tak perlu
menjadi “lelucon” untuk kebijakan rezim Prabowo-Gibran dijelaskan oleh
intelektual memiliki posisi dalam kabinet.
Kita kembali ke penggunaan istilah dibuat dalam penjelasan
intelektual bikin polemik: “menghitung”. Ia memilih “menghitung”, bukan
“berhitung”, Kita malah mengingat buku-buku lawas dipelajari anak-ana di
Indonesia masa lalu. Dulu, anak-anak membaca buku terbitan masa 1950-an
berjudul Buku Hitung susunan PJ Bouman dan JC van Zelm, dihadirkan untuk
anak-anak Indonesia dengan keterlibatan peran Soejoso. Buku digunakan di
“sekolah rakjat” atau sekolah dasar. Buku berukuran kecil dan tipis, berisi
angka-angka untuk menggoda anak-anak agar bergairah matematika.
Ada pula buku
berjudul Sendi Hitungan susunan Diles, Nauta, Zandvoort, dan Vastenhouw.
Buku diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh M Samoed Sastrowardojo. Buku pun
beredar dan digunakan di “sekolah rakjat” pada masa 1950-an. Kita penasaran
mutu buku pelajaran lawas berhak mengutip sedikit-sedikit.
Di buku Sendi Hitungan IV, kita membaca soal: “Siti
membagi 64 rambutan dengan tiga orang temannja. Masing-masing menerima…” Ada
lagi: “Fatimah membeli 1 pon teh, harga tiap-tiap ons 30 sen. Dibajarkannja 1
ringgit. Kembali… sen.” Buku berjudul Sendi Hitungan memuat ratusan soal
dilengkapi gambar-gambar indah. Anak-anak mungkin gembira saat belajar.
Kita masih membuka buku lama berjudul Kerdjakan! Tjara
Berhitung untuk Sekolah Rakjat di Indonesia garapan RI Adiwidjaja. Kita
bertemu soal: “Seorang jang empunja toko membeli 400 buah piring harga 35 sen
sebuah. 10% petjah. Sisanja didjualnja dengan harga dua tali sebuah. Berapa
rupiah orang itu mendapat untung?” Kita mengandaikan murid-murid masa 1950-an
bersaing membuat jawaban secara cepat dan benar.
Buku-buku itu bukan bacaan intelektual dalam kabinet
Prabowo-Gibran. Kita sekadar mengingat buku-buku lawas mumpung ada penggunaan
istilah “menghitung”, bukan “berhitung”, “sendi hitungan”, atau “ilmu hitung”.
Kita memang tak mendapatkan penggamblangan istilah matenatika. Buku-buku pernah
digunakan di “sekolah rakjat” itu kenangan mungkin teranggap indah ketimbang
sibuk memikirkan kaitan kebijakan rezim Prabowo-Gibran berupa maknan bergizi
gratis tapi tiba-tiba dikaitkan dengan kemampuan menghitung (matematika).
Di majalah Tempo, 1 Februari 1975, Andi Hakim
Nasoetion mengajukan kolom berjudul “Matematika untuk Alat Berpikir Manusia
Indonesia”. Ia menanggapi masalah pengajaran matematika di sekolah. Masalah
terpenting berkaitan pengajaran matematikan model lama dan baru. Indonesia
sedang merombak kurikulum, membuat ancangan besar kemajuan pendidikan.
Ia mengajukan sejenis tantangan untuk bisa diselesaikan para
pakar dan penentu kebijakan pendidikan: “Apakah bukan karena cara
pengajaran berhitung gaya lama itu orang
Indonesia kebanyakan hanya pandai menghafal saja?’ Dulu, matematika menimbulkan
debat panjang di Indonesia masa Orde Baru untuk penerapan kurikulum (baru) dan
kebijakan-kebijakan besar pemerintah.
Kritik dan saran diajukan Andi Hakim Nasoetion berlatar masa
1970-an: “Yang menjadi masalah bagi kita adalah pengadaan buku-buku pelajaran
(matematika) yang seharusnya sampai ke tangan murid untuk dipakai sepanjang
tahun, sama sekali tidak sampai… Penataran guru pun merupakan masalah. Tetapi
ini bukan masalah yang khusus berkaitan dengan pengajaran matematika gaya baru.
Penganut-penganut pengajaran matematika gaya lama pun setuju bahwa setiap guru
berhitung harus mengalami penataran kembali kalau mau pelajaran berhitung
hendak ditingkatkan.”
Kita cuma membaca sekian buku dan artikel lama. Semua itu
mungkin terlupa, tak lagi memiliki pengaruh dalam peningkatan mutu pengajaran
matematika di Indonesia abad XXI. Kita sedikit mengingat tapi direpotkan
omongan-omongan orang penting di pemerintahan berkaitan makanan bergizi gratis
dan “menghitung”. Kita malas berdebat memilih mencipta gosip bersumber pendapat
intelektual sedang menunaikan kerja di kabinet Prabowo-Gibran. Begitu.
