Makan dan Berhitung

By PorosBumi 27 Agu 2025, 08:11:14 WIB Tilikan
Makan dan Berhitung

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

INTELEKTUAL berpendapat dituntut menggunakan bahasa (tak) rumit. Ia pun diharuskan memiliki argumentasi atau pembeberan atas bukti-bukti. Pendapat disampaikan ke publik dapat menjadi “tantangan” untuk kemunculan penerimaan atau bantahan berdasarkan bukti tandingan, benturan argumentasi, dan amatan dampak. Kita sempat direpotkan pendapat disampaikan intelektual saat memiliki posisi dalam kabinet Prabowo-Gibran.

Pendapat justru lekas menimbulkan “gosip” mengandung ejekan dan kelakar. Publik memberi perhatian sambil mencipta “hiburan” menggunakan main kata-kata dan gambar. Intelektual berpendapat bukan mendapat tepuk tangan dan pujian. Ia memang inteletual tapi dianggap publik sedang pamer “gairah politis” di hadapan penguasa.

Sekian hari lalu, intelektual dan anggota kabinet Prabowo-Gibran itu mengatakan: “Dengan program MBG (makanan bergizi gratis), anak-anak tidak hanya mendapatkan gizi yang baik tetapi juga belajar menghitung dan mengenal bahasa Inggris melalui jenis-jenis makanan.” Pendapat terbaca “apik”. Publik tak kesulitan memahami kalimat agak panjang. Rampung membaca, publik geleng-geleng kepala atau menunduk kebingungan.

Pendapat belum selesai. Intelektual itu masih menderetkan kata terhadap kebijakan pemerintah berupa pangan di jagat pendidikan: “menjadi sarana motivasi dan pemicu untuk mengasah daya ingat serta pengetahuan anak-anak secara efektif.” Ia mengatakan itu berdasarkan bukti ilmiah. Publik dibujuk lagi memikirkan hubungan makanan dan “keilmuan” bagi murid-murid. Makan tak sekadar menghabiskan menu disajikan di nampan atau piring. Makan itu peristiwa “istimewa” bagi pemerintah dengan membuat penjelasan dan konklusi sering mengejutkan publik.

Kita capek dengan segala kebingungan memilih membaca artikel lama dimuat dalam majalah Intisari edisi Maret 1984. Artikel itu berjudul “Cinta Matematika Harus Ditanamkan Sejak Kecil.” Dulu, orang-orang membaca artikel belum dipusingkan oleh kebijakan pangan. Kutipan agak penting agar duperhatikan orang tua: “Dengan membacalkan mereka hal yang ada angka-angkanya dapat membuat mereka belajar kalau angka adalah bagian dari hidup ini.” Anak-anak belajar matematika bersumber buku.

Bujukan berbeda diberikan: “Mengajak anak bermain permainan yang memakai angka atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan saat kita berbicara dengan anak.” Usaha-usaha dilakukan agar anak-anak mengenali dan menggandrungi matematika, sebelum mereka diharuskan mengikuti kaidah-kaidah pengajaran di sekolah.

Di artikel pendek, pembaca tak mendapat penjelasan hubungan matematika dan makanan disantap oleh anak-anak. Pembaca cukup mengerti bila sekian tahun lalu bermunculan iklan-iklan susu mengaku dapat meningkatkan kemampuan berpikir, termasuk membuat anak-anak pintar dalam matematika.

Pada masa 1980-an, rezim Soeharto sedang berpikiran swasembada pangan tanpa penjelasan ikut menunjang peningkatan pengetahuan atau kemahiran matematika jutaan murid di seantero Indonesia. Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah membagi susu sempat berlaku di sekolah-sekolah tanpa janji besar dan bualan mengenai kemajuan matematika.

Penjelasan terbaca dalam artikel lama: “Matematika yang diperoleh anak di sekolah dasar merupakan ilmu pasti yang dibutuhkan seumur hidupnya, termasuk pelajaran mengenai luas bidang, isi, suku bunga, persentase, desimal, pecahan dan permulaan aljabar.” Matematika itu penting tapi tak perlu menjadi “lelucon” untuk kebijakan rezim Prabowo-Gibran dijelaskan oleh intelektual memiliki posisi dalam kabinet.

Kita kembali ke penggunaan istilah dibuat dalam penjelasan intelektual bikin polemik: “menghitung”. Ia memilih “menghitung”, bukan “berhitung”, Kita malah mengingat buku-buku lawas dipelajari anak-ana di Indonesia masa lalu. Dulu, anak-anak membaca buku terbitan masa 1950-an berjudul Buku Hitung susunan PJ Bouman dan JC van Zelm, dihadirkan untuk anak-anak Indonesia dengan keterlibatan peran Soejoso. Buku digunakan di “sekolah rakjat” atau sekolah dasar. Buku berukuran kecil dan tipis, berisi angka-angka untuk menggoda anak-anak agar bergairah matematika.

 Ada pula buku berjudul Sendi Hitungan susunan Diles, Nauta, Zandvoort, dan Vastenhouw. Buku diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh M Samoed Sastrowardojo. Buku pun beredar dan digunakan di “sekolah rakjat” pada masa 1950-an. Kita penasaran mutu buku pelajaran lawas berhak mengutip sedikit-sedikit.

Di buku Sendi Hitungan IV, kita membaca soal: “Siti membagi 64 rambutan dengan tiga orang temannja. Masing-masing menerima…” Ada lagi: “Fatimah membeli 1 pon teh, harga tiap-tiap ons 30 sen. Dibajarkannja 1 ringgit. Kembali… sen.” Buku berjudul Sendi Hitungan memuat ratusan soal dilengkapi gambar-gambar indah. Anak-anak mungkin gembira saat belajar.

Kita masih membuka buku lama berjudul Kerdjakan! Tjara Berhitung untuk Sekolah Rakjat di Indonesia garapan RI Adiwidjaja. Kita bertemu soal: “Seorang jang empunja toko membeli 400 buah piring harga 35 sen sebuah. 10% petjah. Sisanja didjualnja dengan harga dua tali sebuah. Berapa rupiah orang itu mendapat untung?” Kita mengandaikan murid-murid masa 1950-an bersaing membuat jawaban secara cepat dan benar.

Buku-buku itu bukan bacaan intelektual dalam kabinet Prabowo-Gibran. Kita sekadar mengingat buku-buku lawas mumpung ada penggunaan istilah “menghitung”, bukan “berhitung”, “sendi hitungan”, atau “ilmu hitung”. Kita memang tak mendapatkan penggamblangan istilah matenatika. Buku-buku pernah digunakan di “sekolah rakjat” itu kenangan mungkin teranggap indah ketimbang sibuk memikirkan kaitan kebijakan rezim Prabowo-Gibran berupa maknan bergizi gratis tapi tiba-tiba dikaitkan dengan kemampuan menghitung (matematika).

Di majalah Tempo, 1 Februari 1975, Andi Hakim Nasoetion mengajukan kolom berjudul “Matematika untuk Alat Berpikir Manusia Indonesia”. Ia menanggapi masalah pengajaran matematika di sekolah. Masalah terpenting berkaitan pengajaran matematikan model lama dan baru. Indonesia sedang merombak kurikulum, membuat ancangan besar kemajuan pendidikan.

Ia mengajukan sejenis tantangan untuk bisa diselesaikan para pakar dan penentu kebijakan pendidikan: “Apakah bukan karena cara pengajaran  berhitung gaya lama itu orang Indonesia kebanyakan hanya pandai menghafal saja?’ Dulu, matematika menimbulkan debat panjang di Indonesia masa Orde Baru untuk penerapan kurikulum (baru) dan kebijakan-kebijakan besar pemerintah.

Kritik dan saran diajukan Andi Hakim Nasoetion berlatar masa 1970-an: “Yang menjadi masalah bagi kita adalah pengadaan buku-buku pelajaran (matematika) yang seharusnya sampai ke tangan murid untuk dipakai sepanjang tahun, sama sekali tidak sampai… Penataran guru pun merupakan masalah. Tetapi ini bukan masalah yang khusus berkaitan dengan pengajaran matematika gaya baru. Penganut-penganut pengajaran matematika gaya lama pun setuju bahwa setiap guru berhitung harus mengalami penataran kembali kalau mau pelajaran berhitung hendak ditingkatkan.”

Kita cuma membaca sekian buku dan artikel lama. Semua itu mungkin terlupa, tak lagi memiliki pengaruh dalam peningkatan mutu pengajaran matematika di Indonesia abad XXI. Kita sedikit mengingat tapi direpotkan omongan-omongan orang penting di pemerintahan berkaitan makanan bergizi gratis dan “menghitung”. Kita malas berdebat memilih mencipta gosip bersumber pendapat intelektual sedang menunaikan kerja di kabinet Prabowo-Gibran. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment