- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Sekjen KPA: Pemberantasan Mafia Tanah dan Penyelesaian Konflik Agraria Jangan Hanya Gertak Sambal

JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengingatkan
rencana pengentasan mafia tanah dan penuntasan konflik agraria yang disampaikan
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid tidak sebatas lip service dan gertak sambal.
Perlu langkah konkret yang harus segera dilakukan agar penyelesaian konflik
agraria tidak mengulangi kegagalan-kegagalan pemerintah sebelumnya.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid hari ini, Kamis, (14/11) dalam
Rapat Koordinasi Pencegahan dan Penyelesaian Tindak Pidana Pertanahan Tahun
2024 di Jakarta menyampaikan 60 % sengketa dan konflik pertanahan melibatkan
oknum internal dalam diri Kementerian ATR/BPN.
“Hal ini sebenarnya bukanlah informasi baru, dan sudah
menjadi rahasia umum sejak lama. Selama pemerintahan Jokowi (2015-2023), KPA
mencatat sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria dengan luas mencapai
6,3 juta hektare dan berdampak ada 1,7 juta rumah tangga petani,” kata Sekretaris
Jenderal KPA, Dewi Kartika, lewat siaran pernya, Jumat (15/11/204).
Baca Lainnya :
- Ketahanan Pangan Inti dari Pembangunan Nasional0
- BUMDes Punya Payung Hukum Membentuk Unit Usaha 0
- Indonesia Darurat Melek Pustaka0
- Cara Repsol Honda Jaga Kepercayaan Diri Marquez0
- Kalahkan Federer, Djokovic Juara Wimbledon0
Konflik agraria ini melibatkan korporasi-korporasi besar
swasta dan negara, baik di sektor perkebunan, kehutanan, tambang dan
sektor-sektor lainnya. Akar utama penyebab konflik agraria tersebut adalah
adanya penerbitan sepihak HGU, HGB dan konsesi-konsesi korporasi di atas
pemukiman dan lahan pertanian masyarakat.
Proses penerbitan konsesi yang tidak transparan dan tidak
partisipatif ini menjadi pemicu lahirnya konflik agraria antara masyarakat
dengan pihak perusahaan yang mengklaim sebagai pemilik HGU dan HGB. Proses ini
tentunya melibatkan orang-orang internal di Kementerian/Lembaga, khususnya
Kementerian ATR/BPN yang punya wewenang menerbitkan HGU dan HGB.
“Kita bisa pelajar dari pengentasan mafia tanah yang terjadi
di masa Pemerintahan Jokowi yang hanya menyasar sengketa-sengketa pertanahan
Individu. Sementara pelaku-pelaku kelas kakap yang menyebabkan konflik agraria
struktural tetap dibiarkan. Sehingga pencapaian pengentasan mafia tanah tidak
berkorelasi dengan penyelesaian konflik agrarian,: ujar Dewi Kartika.
KPA sejak 2016, telah mengusulkan seluas 1,6 juta hektar
LPRA yang tersebar di 851 lokasi. Sampai berakhirnya kepemimpinan Jokowi, hanya
21 lokasi yang berhasil diselesaikan. Itu pun lokasi-lokasi yang sudah
berstatus clean dan clear. Artinya lokasi yang secara eksisting tidak lagi
mengalami konflik agraria. Padahal reforma agraria bertujuan menyelesaian
konflik agraria dan mengurai ketimpangan penguasaan tanah.
“Sebab itu, tugas Menteri ATR/BPN saat ini seharusnya sudah
sampai kepada aksi nyata di lapangan, bukan lagi sekedar pemetaan dan
identifikasi, apalagi hanya melempar wacana. Sebab Kementerian ATR/BPN sudah
memiliki banyak data, baik yang ada di pemerintahan, maupun yang telah
diusulkan langsung oleh masyarakat,” tandasnya.
