- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Import Merajalela, Petani Cengkih Merana

MANADO — Pembebasan impor cengkih didukung dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 75/M-DAG/PER/9/2015. Aturan dari pusat ini dinilai berdampak pada peningkatan impor salah satu komoditi unggulan Sulawesi Utara ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dalam dua bulan terakhir, impor cengkih mencapai 781 ton. Angka ini meningkat dibandingkan Januari-Februari tahun lalu (2016) yang hanya sekira 224 ton. Tak heran jika selama ini petani cengkih Sulut selalu menyuarakan pencabutan Permen tersebut. 72 ribu petani cengkih se-Sulut dari data memproduksi 20 ribu ton per tahun. Angka ini bisa dicapai kalau tak ada halangan. Misalnya musim panas, seperti yang terjadi pada 2015 yang berakibat turunnya produksi tahun 2016. “Kemarau panjang mempengaruhi produksi cengkih di Sulut,” ungkap Kasie Tanaman Semusim Dinas Perkebunan Sulut Alexander Mewengkang.
Petani cengkih menganggap, jika kran impor cengkih ditutup, maka hasil dari petani bisa dilirik. Akhirnya berimbas pada harga. Selama ini, harga naik-turun. Sekarang hanya Rp 105 ribu. Bagi petani, harga ini masih sangat kecil. Tak bisa menjamin kesejahteraan mereka. "Banyak cengkih kami yang mati. Meskipun harganya naik, produksinya tinggal sedikit. Tak ada modal lebih untuk melakukan pemeliharaan," ungkap Freddy Tangkulung petani cengkih asal Tondano.
Dalam surat pernyataan sikap yang dilayangkan Himpunan Petani Cengkih Sulut, mereka menolak pembukaan impor cengkih. Dinilai tidak berpihak kepada rakyat. “Itu hanya menguntungkan kaum konglomerat pedagang cengkih,” kata Sekretaris HPC Sulut Max Karaseran saat ditemui beberapa waktu lalu.
Baca Lainnya :
- Harga Beras Tinggi, Petani Semakin Terjepit0
- Menjadikan 0
- HEBAT..!! Padi Organik Krayan Ini Diminati 3 Negara Pemprov Akan Kembangkan Perdagangan Luar Negeri 0
- Ini Kebijakan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dari Kementan0
- Ekspor Jagung Indonesia adalah Keniscayaan...0
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Disperindag Sulut Hanny Wajong mengungkapkan di Sulut sendiri tidak ada impor cengkih. “Yang diimpor hanya mainan anak-anak, elektronik, dan pakaian,” ungkapnya. Sementara ekspor cengkih Sulut di tahun 2016 sebanyak 31 ton senilai USD 58.914. Meningkatnya impor cengkih, menurutnya dikarenakan semakin berkurangnya jumlah petani. Biaya pemeliharaan dan kurangnya tenaga buruh petik menjadi salah satu masalah. “Sehingga banyak petani memang mengeluhkan harga. Mereka menganggap pekerjaan lain seperti usaha dagang serta tukang ojek akan lebih besar daripada menjadi petani cengkih,” katanya. “Begitu pun halnya dengan kopra. Salah satu warga pernah mengatakan akan lebih menghasilkan menjual kelapa muda daripada kopra,” tuturnya.
Menurutnya, pemerintah membuka kran impor ada sebabnya. “Dengan demikian, peluang kita untuk ekspor juga terbuka,” pungkasnya. Ia mengakui pemerintah memang tak bisa mengintervensi naik turunnya harga cengkih. “Hal ini karena ada intervensi juga dari mekanisme pasar, pasar global dan intervensi lainnya,” akunya.
Ditemui beberapa waktu lalu, Kabid Perdagangan Dalam Negeri Hanny Wajong mengakui harga cengkih saat ini memang tak menjamin kehidupan yang layak para petani cengkih. “Jika dihitung biaya produksi dengan pendapatan tak akan mencukupi sampai musim berikutnya. Kan cengkih itu tahunan,” ungkapnnya.
Karena itu, Disperindag sementara mematangkan beberapa program terkait masalah kesejahteraan petani cengkih. “Salah satunya kami akan usahakan untuk kembali programkan sistem resi gudang,” tambahnya.
Pengamat Ekonomi Robert Winerungan mengungkapkan kebebasan impor cengkih memang sudah dipikirkan pemerintah secara matang. “Ini juga disebabkan telah ditandatanganinya perjanjian dengan WTO,” katanya.
Ia mengimbau pemerintah memperhatikan para petani. “Meski cengkih tidak termasuk bahan pokok, tapi jangan sampai pemerintah kebablasan dalam mengimpor cengkih dari luar,” imbaunya.
Menurutnya, jika produksi cengkih hanya diperuntukkan sebagai bahan pokok rokok kretek, maka kemungkinan produksi cengkih lama-kelamaan akan semakin berkurang. “Kan sekarang banyak himbauan berhenti merokok dari banyak pihak dengan alasan kesehatan,” katanya. Sehingga menurutnya, petani harus mencari alternatif lain. “Pohon cengkih tidak perlu ditebang, tapi manfaatkan ladang sekitar yang memungkinkan untuk ditanami kelapa,” pungkasnya.
Harga cengkih yang kadang anjlok, atau naik dan turun sesuka hati terus dipermasalahkan petani. Tahun 1980 sampai 1990, harga cengkih Rp 2.500 per kilogram.
Kala itu, menurut penuturan salah satu petani di Minahasa yang merupakan bekas pengurus KUD, turunnya harga ini mendorong pemerintah keluarkan kebijakan untuk sejahterakan petani. Badan Penyangga Pemasaran Cengkih (BPPC) dikerahkan untuk selamatkan hidup mereka. Pembentukan BPPC ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992.
Menurut Keppres tersebut, satu-satunya lembaga yang membeli hasil panen cengkih petani adalah Koperasi Unit Desa (KUD) di bawah koordinasi BPPC. Dengan kata lain, dari KUD, hasil cengkih diserahkan ke BPPC baru ke produsen rokok kretek (PRK). Harga dasar pembelian cengkih pun ditetapkan.
Opa Eddy, salah seorang petani cengkih zaman itu bernostalgia dengan keadaan pasca dikeluarkannya Tata Niaga cengkih itu. "Sejak perkembangan usahanya BPPC, orang-orang banyak yang tebang pohonnya karena pikir cengkih sudah tidak menjanjikan. Bahkan, sempat ada gubernur yang mencoba menaikkan harga tapi akhirnya dipecat," tuturnya.
Anjloknya harga cengkih ini menjadi cikal bakal anjloknya mental keluarga petani cengkih. Bukan hanya ayah, ibu, tetapi anak-anak pun merasakan tekanan yang luar biasa. Ambruknya harga cengkih menyebabkan kebun petani perlahan-lahan terkikis oleh uang para konglomerat yang mulai menggoda petani untuk menjual lahannya. Kebun hilang, harta benda pun melayang satu per satu. Sementara hidup bak ‘raja dan ratu’ masih menjadi pola hidup yang tak lepas dari kehidupan keluarga petani cengkih.
Petani semakin menjerit. Perkembangan nilai tukar rupiah serta harga bahan pokok yang semakin tinggi tak pelak membuatnya semakin menderita. Banyak anak yang putus sekolah akibat shock. Demi mencari sesuap nasi, bahkan sekira tahun 1990-an ada yang sampai merantau ke luar daerah. Kerja di rantau yang kejam membuat mereka mencari alternatif lain. Makin hari semakin berusaha mencari pekerjaan yang lebih mudah. Jadi teman para ‘hidung belang’ pun digeluti di tanah orang tersebut. Alhasil, pulang kampung tak lagi sendiri. Tapi membawa pulang ‘anak orang’.
FS salah seorang anak petani di Kecamatan Kombi menuturkan nasibnya bersama beberapa temannya saat itu. “Saat itu kami putuskan merantau karena hidup yang semakin susah,” kisahnya. Ia menuturkan rela meninggalkan sekolah dengan maksud membantu kehidupan orang tuanya yang memang hanya bergantung dari hasil panen cengkih. Ditambah lagi ada adik-adik yang harus diberi makan dan disekolahkan.
Saat merantau, ia dan teman-teman mengaku awalnya tak punya tempat tujuan. “Kami tak tau mau ke mana dan kerja apa,” katanya. Akhirnya, mereka diajak seorang kenalan untuk bekerja di salah satu kota di Papua. Mengantar para ‘tamu’ ke ruang karaoke. Karena terkesan mudah, maka dilakoninya peran itu. “Saya diajak teman. Karena kerjanya gampang, yah itu saja. Setidaknya bisa bantu orang tua di kampung. Akhirnya, lahirlah anak saya yang sulung itu,” pungkas wanita berambut ikal itu. Kini, anaknya sudah menginjak dewasa. Kisah pilu dibalik derita anjloknya harga ‘buah emas’ menjadi pengalaman yang bermakna baginya.
Tak melanjutkan sekolah membuatnya hanya bergantung dari pemberian orang. “Orang tua juga sekarang semakin tua dan semakin susah. Meski lahan perkebunan kami lumayan besar, dan pohon cengkihnya banyak, tapi saat panen uangnya habis sebelum masa panen lagi,” katanya.
Di tempat lain, Jhony Rantung petani asal Minahasa Selatan pun mengaku tak dapat merasakan lagi uang hasil panen cengkih. “Daripada bayar orang, saya memetik sendiri. Hasilnya penjualan pun cepat sekali habis karena kebutuhan sehari-hari,” katanya. Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib petani cengkih. “Mudah-mudahan kami sebagai petani dapat merasakan lagi jaminan hidup yang layak dari hasil panen cengkih. Belum kebutuhan sehari-hari, belum lagi biaya untuk anak-anak, tidak cukup,” tutupnya.(***)
sumber : manadopostonline.com
