- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Guru: Novel dan Kenangan
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Fakta Unik Kondusifitas Demo Mahasiswa dan Driver Online di Kota Palembang0
- Perempuan Adat Kasimle, Dahulu Tidak Berdaya Kini Pengolah Sumber Daya0
- Tari Topeng Indramayu Tampil Memukau di Osaka Expo 2025 0
- Toraja dalam Lensa: Kala Leluhur Bicara lewat Cahaya0
- Energi Bersih Aliri 25 Hektare Lahan Pertanian Berkelanjutan Milik Warga Desa Kalijaran0
ORANG-orang telanjur gampang kecewa
dan marah. Mereka terpicu omongan menteri. Pidato disampaikan di ITB (7 Agustus
2025) tapi dampak dari kalimat-kalimat diucapkan menteri bergerak ke segala
arah. Cuplikan-cuplikan dari pidato tampil dan beredar di media sosial mendapat
protes, sesalan, ledekan, dan kejengkelan. Pidato teranggap penting berkaitan
lakon Indonesia, mendahului pidato-pidato Prabowo Subianto bertajuk Agustus.
Menteri itu memasalahkan pendidikan, guru, dan (anggaran)
negara. Ia mahir mengisahkan kebijakan pendidikan berkaitan politik-anggaran.
Orang-orang kagum dan bertepuk tangan atas pengetahuan dan keberanian menteri
membuat kebijakan-kebijakan besar.
Pendidikan termasuk urusan terbesar dalam anggaran. Di situ,
ada gaji untuk guru. Menteri mahir bicara tapi tak meramalkan petikan omongan
dan potongan adegan bakal mengguncang Indonesia. Menteri itu dianggap
mengatakan kata-kata “meremehkan” guru.meski tak gamblang mengucapkan selama
berpidato. Sekian hari setelah pidato justru muncul “rekaman” mudah mendapat
ribuan komentar meski itu “olahan” atau “racikan” bersumber potongan-potongan
pidato di ITB.
Kita tak mau terlibat debat rumit mengenai “kebenaran” atas
perkataan menteri dan peredaran rekaman dianggap “palsu”. Kita memilih
mengingat nasib guru dalam novel berjudul Manusia Bebas gubahan
Soewarsih Djojopoespito. Novel berlatar masa 1930-an, saat para guru di sekolah
partikelir memenuhi janji pemajuan pendidikan bagi bumiputra. Mereka sadar
tugas-tugas mengajar itu berat. Gaji untuk guru kecil berdasarkan iuran
(partisipasi) wali murid. Mereka melawan kutukan beban kerja dan gaji kecil
dengan mengingat masa depan Indonesia ditentukan kemunculan kaum terdidik dan
melek aksara.
Ketabahan menjadi guru partikelir diuji saat teman-teman
memilih mengajar di sekolah-sekolah dalam naungan pemerintah kolonial.
Perbandingan gaji tampak selisih besar. Para guru dalam alur kebijakan
pendidikan buatan pemerintah kolonial mendapat gaji lebih besar. Mereka meraih
kehormatan dan dapat menata hidup secara mapan. Situasi berbeda ditanggungkan
guru-guru di sekolah-sekolah partikelir (kebangsaan): menunaikan misi
pendidikan sambil turut dalam pergerakan politik atau perkumpulan sosial.
Pada abad XXI, nasib guru di Indonesia tetap belum terang.
Beragam kebijakan sudah diadakan para penguasa tapi pasang-surut nasib selalu
terjadi. Konon, ada angan-angan pemerintah menjadikan guru sejahtera. Janji
sedikit mengandung dusta pun menimbulkan polemik bila menilik nasib guru-guru
di sekolah bukan negeri. Kita mengerti makna guru tak melulu gaji. Guru biasa
dibahas publik berkaitan mutu pengetahuan, tanggung jawab, dan ketulusan
memajukan pendidikan di Indonesia. Sekian hari lalu, menteri bukan mengurusi
pendidikan secara khusus justru memberi kalimat-kalimat mudah menimbulkan salah
paham dan sengketa argumentasi.
Di majalah Intisari edisi Juni 1985, kita diajak
mengenang guru tanpa perlu ribut masalah politik dan anggaran negara. Pranjoto
mengisahkan diri berlatar masa 1930-an. Ia berhasil menjadi murid di HIS
(Hollands Inlandse School) atau sekolah dasar negeri berbahasa Belanda. Sekolah
istimewa bagi sedikit bocah-bocah bumiputra berasal dari keluarga mapan atau
ningrat.
Ia mengenang penampilan guru: “Bapak guru yang mengajar
masih muda. Beliau mengenakan setelan jas tutup dengan dasi.” Guru-guru di
sekolah direstui pemerintah kolonial tampil rapi dan parlente. Berpakaian khas
Barat. Mereka menegaskan sebagai kaum terhormat dan bergaji besar dalam kerja
mendidik-mengajar. Kehormatan pun terlihat dalam penggunaan alat transportasi:
“Kepala sekolah dan guru-guru naik sepeda bagus kualitasnya, mereknya Fongers,
Avics, Raleigh, Gazelle.” Kenangan itu berbeda dengan guru-guru di sekolah
partikelir dan sekolah terhubung pergerakan politik kebangsaan. Guru-guru
bergaji kecil dan sekadar bermimpi memiliki sepeda berkualitas.
Pakaian dan sepeda ikut menjelaskan gaji diterima guru-guru
pada masa kolonial. Soewarsih Djojopoespito tak lupa mengisahkan keluarga guru.
Mereka harus berhitung uang secara ketat agar tetap bisa makan, berpakaian
pantas, dan membei iuran dalam pergerakan politik. Kita sekadar mengenang guru
masa lalu melalui novel dan memoar. Kini, pengisahan sangat berbeda jika
melihat kebijakan-kebijakan pemerintah dan situasi zaman.
Kita justru penasaran dengan kaidah-kaidah menjadi guru
terhormat, bukan sekadar pakaian, sepeda, pilihan bahasa, dan kiblat ideologi.
Kita membuka buku lawas berjudul Ngelmoe Goeroe (1931) garapan R
Soedjanaredja. Buku berisi petunjuk-petunjuk menjadi guru bermutu. Buku
berbahasa Jawa dimaksudkan menjadi pedoman bagi guru dalam mengajarkan beragam
ilmu.
Guru tak sekadar berilmu. Ia wajib mengetahui tata cara
mengajar dan memberi pengaruh kepada murid-murid. Soedjanaredja menganjurkan
guru menjadi teladan saat mengajar di kelas. Ia mencontohkan dengan cara duduk,
mengeluarkan dan menggunakan alat tulis, sikap raga, dan lain-lain. Guru
diharapkan mengamati kondisi sebelum melangsungkan pengajaran. Kepekaan
menentukan mutu ilmu dan gairah murid-murid dalam belajar. Buku lawas tak
berurusan gaji. Buku sekadar menjadi bacaan bagi guru-guru di Jawa bila ingin
bermutu dan terhormat dalam mengajarkan beragam ilmu.
Kita terbawa kenangan berlatar masa kolonial. Pada masa
lalu, guru-guru bumiputra berpikiran gaji meski sadar untuk memilih berada di
arus kebijakan pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah (negeri) atau
bergerak di arus pendidikan-pengajaran partikelir. Gaji menentukan corak
nasionalisme, tak sekadar besar-kecil dalam kepentingan pemenuhan kebutuhan
pokok. Guru dicap “gajian” dari pemerintah kolonial kadang diragukan pengabdian
untuk membentuk dan memuliakan Indonesia. Guru-guru menolak duit dari pemerintah
berani bertaruh hidup dan mengukuhkan nasionalisme meski mudah terlibat
konflik-konflik politis.
Kini, kita digoda lagi memikirkan guru dan gaji tapi melalui
keributan merujuk “olahan” dari pidato menteri. Pada saat lakon pendidikan
sedang “membingungkan”, petikan-petikan dari pidato menteri itu menambahi
keramaian belum tentu membuat Indonesia makin bermutu. Kita menunda membuat
tuduhan, bantahan, dan konklusi saat gegeran bertema guru dan beban (anggaran)
negara masih berlanjut tanpa ada tanda-tanda mendapat jawaban. Begitu.
