Guru: Novel dan Kenangan

By PorosBumi 03 Sep 2025, 07:31:31 WIB Tilikan
Guru: Novel dan Kenangan

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

ORANG-orang telanjur gampang kecewa dan marah. Mereka terpicu omongan menteri. Pidato disampaikan di ITB (7 Agustus 2025) tapi dampak dari kalimat-kalimat diucapkan menteri bergerak ke segala arah. Cuplikan-cuplikan dari pidato tampil dan beredar di media sosial mendapat protes, sesalan, ledekan, dan kejengkelan. Pidato teranggap penting berkaitan lakon Indonesia, mendahului pidato-pidato Prabowo Subianto bertajuk Agustus.

Menteri itu memasalahkan pendidikan, guru, dan (anggaran) negara. Ia mahir mengisahkan kebijakan pendidikan berkaitan politik-anggaran. Orang-orang kagum dan bertepuk tangan atas pengetahuan dan keberanian menteri membuat kebijakan-kebijakan besar.

Pendidikan termasuk urusan terbesar dalam anggaran. Di situ, ada gaji untuk guru. Menteri mahir bicara tapi tak meramalkan petikan omongan dan potongan adegan bakal mengguncang Indonesia. Menteri itu dianggap mengatakan kata-kata “meremehkan” guru.meski tak gamblang mengucapkan selama berpidato. Sekian hari setelah pidato justru muncul “rekaman” mudah mendapat ribuan komentar meski itu “olahan” atau “racikan” bersumber potongan-potongan pidato di ITB. 

Kita tak mau terlibat debat rumit mengenai “kebenaran” atas perkataan menteri dan peredaran rekaman dianggap “palsu”. Kita memilih mengingat nasib guru dalam novel berjudul Manusia Bebas gubahan Soewarsih Djojopoespito. Novel berlatar masa 1930-an, saat para guru di sekolah partikelir memenuhi janji pemajuan pendidikan bagi bumiputra. Mereka sadar tugas-tugas mengajar itu berat. Gaji untuk guru kecil berdasarkan iuran (partisipasi) wali murid. Mereka melawan kutukan beban kerja dan gaji kecil dengan mengingat masa depan Indonesia ditentukan kemunculan kaum terdidik dan melek aksara.

Ketabahan menjadi guru partikelir diuji saat teman-teman memilih mengajar di sekolah-sekolah dalam naungan pemerintah kolonial. Perbandingan gaji tampak selisih besar. Para guru dalam alur kebijakan pendidikan buatan pemerintah kolonial mendapat gaji lebih besar. Mereka meraih kehormatan dan dapat menata hidup secara mapan. Situasi berbeda ditanggungkan guru-guru di sekolah-sekolah partikelir (kebangsaan): menunaikan misi pendidikan sambil turut dalam pergerakan politik atau perkumpulan sosial.

Pada abad XXI, nasib guru di Indonesia tetap belum terang. Beragam kebijakan sudah diadakan para penguasa tapi pasang-surut nasib selalu terjadi. Konon, ada angan-angan pemerintah menjadikan guru sejahtera. Janji sedikit mengandung dusta pun menimbulkan polemik bila menilik nasib guru-guru di sekolah bukan negeri. Kita mengerti makna guru tak melulu gaji. Guru biasa dibahas publik berkaitan mutu pengetahuan, tanggung jawab, dan ketulusan memajukan pendidikan di Indonesia. Sekian hari lalu, menteri bukan mengurusi pendidikan secara khusus justru memberi kalimat-kalimat mudah menimbulkan salah paham dan sengketa argumentasi.

Di majalah Intisari edisi Juni 1985, kita diajak mengenang guru tanpa perlu ribut masalah politik dan anggaran negara. Pranjoto mengisahkan diri berlatar masa 1930-an. Ia berhasil menjadi murid di HIS (Hollands Inlandse School) atau sekolah dasar negeri berbahasa Belanda. Sekolah istimewa bagi sedikit bocah-bocah bumiputra berasal dari keluarga mapan atau ningrat.

Ia mengenang penampilan guru: “Bapak guru yang mengajar masih muda. Beliau mengenakan setelan jas tutup dengan dasi.” Guru-guru di sekolah direstui pemerintah kolonial tampil rapi dan parlente. Berpakaian khas Barat. Mereka menegaskan sebagai kaum terhormat dan bergaji besar dalam kerja mendidik-mengajar. Kehormatan pun terlihat dalam penggunaan alat transportasi: “Kepala sekolah dan guru-guru naik sepeda bagus kualitasnya, mereknya Fongers, Avics, Raleigh, Gazelle.” Kenangan itu berbeda dengan guru-guru di sekolah partikelir dan sekolah terhubung pergerakan politik kebangsaan. Guru-guru bergaji kecil dan sekadar bermimpi memiliki sepeda berkualitas.

Pakaian dan sepeda ikut menjelaskan gaji diterima guru-guru pada masa kolonial. Soewarsih Djojopoespito tak lupa mengisahkan keluarga guru. Mereka harus berhitung uang secara ketat agar tetap bisa makan, berpakaian pantas, dan membei iuran dalam pergerakan politik. Kita sekadar mengenang guru masa lalu melalui novel dan memoar. Kini, pengisahan sangat berbeda jika melihat kebijakan-kebijakan pemerintah dan situasi zaman.

Kita justru penasaran dengan kaidah-kaidah menjadi guru terhormat, bukan sekadar pakaian, sepeda, pilihan bahasa, dan kiblat ideologi. Kita membuka buku lawas berjudul Ngelmoe Goeroe (1931) garapan R Soedjanaredja. Buku berisi petunjuk-petunjuk menjadi guru bermutu. Buku berbahasa Jawa dimaksudkan menjadi pedoman bagi guru dalam mengajarkan beragam ilmu.

Guru tak sekadar berilmu. Ia wajib mengetahui tata cara mengajar dan memberi pengaruh kepada murid-murid. Soedjanaredja menganjurkan guru menjadi teladan saat mengajar di kelas. Ia mencontohkan dengan cara duduk, mengeluarkan dan menggunakan alat tulis, sikap raga, dan lain-lain. Guru diharapkan mengamati kondisi sebelum melangsungkan pengajaran. Kepekaan menentukan mutu ilmu dan gairah murid-murid dalam belajar. Buku lawas tak berurusan gaji. Buku sekadar menjadi bacaan bagi guru-guru di Jawa bila ingin bermutu dan terhormat dalam mengajarkan beragam ilmu.

Kita terbawa kenangan berlatar masa kolonial. Pada masa lalu, guru-guru bumiputra berpikiran gaji meski sadar untuk memilih berada di arus kebijakan pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah (negeri) atau bergerak di arus pendidikan-pengajaran partikelir. Gaji menentukan corak nasionalisme, tak sekadar besar-kecil dalam kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok. Guru dicap “gajian” dari pemerintah kolonial kadang diragukan pengabdian untuk membentuk dan memuliakan Indonesia. Guru-guru menolak duit dari pemerintah berani bertaruh hidup dan mengukuhkan nasionalisme meski mudah terlibat konflik-konflik politis.

Kini, kita digoda lagi memikirkan guru dan gaji tapi melalui keributan merujuk “olahan” dari pidato menteri. Pada saat lakon pendidikan sedang “membingungkan”, petikan-petikan dari pidato menteri itu menambahi keramaian belum tentu membuat Indonesia makin bermutu. Kita menunda membuat tuduhan, bantahan, dan konklusi saat gegeran bertema guru dan beban (anggaran) negara masih berlanjut tanpa ada tanda-tanda mendapat jawaban. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment