- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Api Dalam Sekam dan Batu Uji Kepemimpinan Prabowo Subianto

Hendri Irawan
Pemimpin Redaksi porosbumi.com
Baca Lainnya :
- Guru: Novel dan Kenangan0
- Revisi UU Pangan: Benahi Sistem, Jangan Akomodasi Proyek Jangka Pendek0
- Fakta Unik Kondusifitas Demo Mahasiswa dan Driver Online di Kota Palembang0
- Perempuan Adat Kasimle, Dahulu Tidak Berdaya Kini Pengolah Sumber Daya0
- Kritik DPR Memuncak: Saatnya Rekrutmen Politik yang Bersih dan Transparan0
"PERDAMAIAN harus
dipahami dan diyakini sebagai kondisi di mana keadilan ditegakkan, persamaan
hak dan kebebasan dijamin, kesejahteraan terwujud, toleransi menjadi praktik
sehari-hari, dan terciptanya lingkungan yang demokratis dan hak asasi manusia”.
Pernyataan mendalam dan sarat makna dipaparkan oleh Wakil
Presiden Jusuf Kalla saat menyampaikan kuliah umum berjudul
"Ketidaksesuaian antara Konflik dan Peradaban" setelah menerima gelar
Doktor Kehormatan dari Universitas Hiroshima, Jepang, pada 21 Februari 2018.
Pernyataan yang disampaikan Yusuf Kalla, tentu masih selaras dengan
perkembangan dunia yang kini sangat dinamis, di mana paradigma perdamaian telah
jauh bergeser. Perdamaian tidak lagi dipahami hanya sebagai ketiadaan kekerasan
dan peperangan, melainkan lebih dari itu.
Diketahui, beberapa hari belakangan masyarakat Tanah Air
dikejutkan dengan gelombang aksi massa di Jakarta, dan sejumlah daerah yang
berujung kerusuhan. Terjadi pembakaran sejumlah gedung DPRD, markas polisi,
robohnya pagar DPR di Senayan, dan fasilitas umum lainnya. Aksi massa dipicu
meninggalnya Affan Kurniawan, seorang driver ojek online (ojol) akibat dilindas
kendaraan taktis (rantis) Barracuda, di tengah kecamuk aksi demonstrasi yang
berlangsung di Jakarta, pada 25-31 Agustus 2025.
Meski secara umum situasi terakhir di Tanah Air telah
kondusif dan kondisi kehidupan bernegara dirasa relatif aman-aman saja, namun
bayang-bayang kecemasan pasca rusuh masih tetap menghantui Bahkan banyak yang
bertanya, apakah situasinya sudah benar-benar aman? Apakah tidak ada lagi aksi
demonstrasi? Atau jangan-jangan akan ada gelombang kerusuhan yang lebih besar?
Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran itu yang kini berkecamuk di benak
masyarakat.
Demo 28 Agustus 2025 menjadi salah satu aksi terbesar
sekaligus paling tragis tahun ini. Dimulai dengan tuntutan buruh yang berjalan
damai, situasi berubah ricuh saat mahasiswa mengambil alih aksi. Tidak hanya di
Jakarta, kerusuhan meluas hingga ke daerah-daerah dan menimbulkan kerusakan, pembakaran
fasilitas umum, serta menelan korban jiwa 10 orang.
Menyikapi situasi yang terjadi, Presiden Prabowo di kediaman
pribadinya di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jumat (29/08/2025), mengimbau seluruh
masyarakat agar tetap tenang dan percaya terhadap langkah pemerintah. Presiden
menekankan bahwa semua keluhan masyarakat akan dicatat dan ditindaklanjuti.
“Bangsa kita sedang berbenah diri, bangsa kita sedang
mengumpulkan semua tenaga, semua kekuatan, semua kekayaan untuk kita,” jelas
Presiden. Ia pun menegaskan bahwa aspirasi yang sah tetap bisa disampaikan
melalui cara-cara yang tertib. “Aspirasi yang sah, silakan untuk disampaikan.
Kita akan perbaiki semua yang perlu diperbaiki,” pungkasnya.
Selain berpidato, sejumlah langkah taktis dan terukur juga
dilakukan Prabowo, mulai dari menyambangi langsung rumah mendiang Affan
Kurniawan, menjenguk aparat dan masyarakat yang terluka di rumah sakit,
mengumpulkan para ketua Parpol, melakukan pertemuan dengan tokoh lintas agama, tokoh
masyarakat, perwakilan organisasi buruh, sampai memimpin sidang paripurna
menyikapi kondisi terakhir di Tanah Air.
Belakangan, dalam pidatonya Presiden Prabowo menyebut
demonstrasi yang skalanya meluas mengarah ke aksi anarkistis bahkan terindikasi
makar. Atas situasi ini, Prabowo menegaskan bahwa pemerintah akan melindungi
rakyat yang menyampaikan pendapat secara damai, namun bersikap tegas terhadap
pihak yang sengaja membuat kerusuhan.
Presiden Prabowo menegaskan adanya indikasi kelompok
tertentu yang secara terencana menciptakan kerusuhan dengan cara mendatangi
suatu wilayah yang bukan asal mereka, melakukan pembakaran, perusakan, hingga
memicu amarah masyarakat. Kepala Negara menyebut tindakan tersebut sebagai
bentuk upaya yang membahayakan stabilitas bangsa dan tidak dapat ditoleransi
karena merugikan rakyat banyak.
“Ini tindakan-tindakan makar. Ini bukan penyampaian
aspirasi. Jadi semua aparat negara akan selidiki siapa yang bertanggung jawab.
Saya menduga kita sudah ada indikasi-indikasi dan kita akan tidak ragu-ragu,” kata
Presiden Prabowo usai menjenguk masyarakat dan polisi yang tengah dirawat di
Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat 1 R. Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur,
Senin (1/9/2025).
Presiden pun menegaskan komitmennya untuk membela rakyat dan
memberantas mafia serta korupsi tanpa kompromi. Kepala Negara menekankan tidak
akan mundur menghadapi perlawanan karena yakin rakyat selalu mendukung
langkahnya.
“Saya tidak ragu-ragu membela rakyat. Saya akan hadapi
mafia-mafia yang sekuat apapun saya hadapi atas nama rakyat. Saya bertekad
memberantas korupsi. Sekuat apapun mereka. Demi Allah, saya tidak akan mundur
setapak pun. Saya yakin rakyat bersama saya,” pungkas Kepala Negara.
Bukan Sekadar Pernyataan Normatif
Banyak pihak berpandangan, demonstrasi yang meletus sejak 25
Agustus 2025 bukanlah ledakan spontan, melainkan lahir dari akumulasi keresahan
yang sudah lama dipendam. Ada rentetan peristiwa sebelum demonstrasi
berhari-hari yang terjadi belakangan. Sayangnya, aksi yang semula jelas
tuntutannya terlihat bergeser arah. Ada lapisan lain yang tidak bisa pula
dijelaskan sebagai kemarahan sipil atau apapun namanya, yang berujung
penjarahan terhadap rumah-rumah pejabat, pembakaran fasilitas umum, sampai
penggunaan bom molotov.
Pola kerusuhan dan penjarahan sebenarnya bukan hal baru di
Indonesia. Pada Mei 1998, kerusuhan terjadi setelah muncul kelompok tak dikenal
bergerak di luar tuntutan masyarakat. Kurang-kurang, keterlibatan pihak asing
pun diseret dalam pusaran pemicu kerusuhan. Tujuannya bisa macam-macam. Bisa
untuk menciptakan alasan intervensi, bisa untuk mendiskreditkan gerakan sipil,
bisa juga untuk membuka ruang bagi aktor-aktor yang selama ini berada di luar
lingkar kekuasaan.
Sempat timbul pertanyaan dan kekhawatiran, akankah
penjarahan rumah pejabat, pembakaran sejumlah fasum hingga korban tewas,
berujung seperti krisis 1998? Apa yang menjadi pembeda dari Mei 1998? Sederet
pertanyaan susulan juga muncul lantaran kerusuhan yang terjadi disinyalir
bertujuan menggeser narasi, yang tentunya dituasi ini butuh jawaban tuntas dari
para pihak berwenang, dalam hal ini penyelenggara negara. Jika tidak, hal ini
tak ubahnya api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa meledak atau padam sama sekali.
Sudah sangat terang benderang, masyarakat peserta aksi mulanya
menuntut perubahan dan perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat
juga menuntut dibubarkannya DPR, reformasi Polri, penghapusan pajak, efisiensi
anggaran, pengesahan RUU Perampasan Aset, RUU perlindungan Pekerja Rumah Tangga
dan RUU Masyarakat Adat, serta menolak revisi RUU Pokok Agraria, RUU KUHAP, dan
Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk menyinggung soal pendidikan semakin
mahal dan tidak adanya jaminan lapangan kerja.
Belakangan, masyarakat makin dibuat muak dengan perilaku
para elit dan pernyataan anggota parlemen yang mengundang polemik dan berujung
pada penonaktifan sejumlah anggota DPR, serta persoalan lain yang lebih luas.
Pemborosan uang rakyat dan tindakan-tindakan korup untuk kepentingan pejabat di
tengah kesulitan rakyat, pengaturan gaji dan tunjangan pejabat negara, anggota
DPR, direksi dan komisaris-komisaris BUMN yang sangat tinggi dan sangat jauh
dari rata-rata pendapatan rakyat, juga memicu ketidakadilan dan kemarahan.
Atas semua tuntutan dan keluhan yang dirasakan masyarakat, semua
ini ibarat batu uji dan saatnya bagi Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan
respons nyata dan tegas, bukan sekadar pernyataan normatif. Sementara poin-poin
tuntutan terhadap Parlemen biar menjadi urusan dan diselesaikan Parlemen
sendiri. Isu pemakzulan Wapres dan pengesahan UU Perampasan Aset, juga dua
perkara tuntutan kepada Parlemen yang tidak mudah diselesaikan, perlu
kesepakatan tingkat tinggi, dan terutama waktu, yang belum tentu mampu bisa
memenuhi rasa kesabaran penuntut, tetapi punya implikasi terhadap pemerintahan
keseluruhan jika tidak bisa diselesaikan segera.
Masyarakat masih berharap Presiden bisa menyelesaikan
persoalan tanpa ragu dan cepat. Rakyat pun memberi kesabaran dan kesempatan,
serta memberi prioritas kepada Presiden untuk menyelesaikan persoalan bangsa
dan Negara secara mendasar dan substansial. Yang bisa dilakuan Presiden adalah
meningkatkan kepercayaan dan harapan masyarat, dengan menghadirkan jaminan kehidupan
yang lebih baik. Presiden pun harus merespon dengan keputusan nyata, bukan omon-omon
lagi.
