Revisi UU Pangan: Benahi Sistem, Jangan Akomodasi Proyek Jangka Pendek

By PorosBumi 02 Sep 2025, 06:49:48 WIB Pangan
Revisi UU Pangan: Benahi Sistem, Jangan Akomodasi Proyek Jangka Pendek

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas perubahan Undang-undang Nomor 18/2012 tentang Pangan. Parlemen menyebut tujuan revisi untuk memperkuat kedaulatan pangan nasional, mengurangi ketergantungan pada impor, serta memberikan perlindungan lebih kepada petani.

Meski begitu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengingatkan, jangan sampai perubahan ini hanya upaya mengakomodasi kebijakan pemerintah, seperti food estate. Mereka pun memberikan masukan dan usulan. Muhamad Burhanudin, perwakilan dari Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL), menyatakan, revisi UU Pangan menitikberatkan pada aspek-aspek seperti penguatan Bulog, swasembada, dan proyek food estate.

“Pendekatan semacam ini justru berpotensi membuat pembangunan sistem pangan nasional berjalan mundur, serta bertentangan dengan prinsip keadilan ekologis dan kebutuhan akan mitigasi serta adaptasi terhadap perubahan iklim,” katanya melalui rilis kepada media, awal Agustus lalu.

Baca Lainnya :

KSPL sepakat, mendorong advokasi terhadap revisi UU Pangan. Revisi ini, katanya, harus jadi kesempatan membenahi fondasi sistem pangan yang selama ini terlalu teknokratis, tersentralisasi, dan belum cukup berpihak pada petani kecil, masyarakat adat, serta keberagaman pangan lokal.

Koalisi menekankan, arah perubahan UU ini harus fokus pada penyelesaian akar permasalahan dalam sistem pangan nasional dan perbaikan terhadap berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pangan ini. Revisi, katanya, tidak semata-mata untuk mengakomodasi program-program pangan pemerintah yang bersifat jangka pendek.

Pertengahan Juli lalu, KSPL menyampaikan 12 usulan strategis kepada Komisi IV DPR sebagai dasar arah perubahan yang perlu jadi pertimbangan dalam proses revisi. “Usulan ini bertujuan memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan nasional dengan pendekatan yang berkelanjutan dan berkeadilan,” kata Burhanudin, juga Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) ini.

Adapun 12 usulan strategis itu, pertama, KSPL menekankan pentingnya penegasan prinsip keadilan ekologis, ketahanan iklim, kedaulatan pangan berbasis pangan lokal, keadilan distribusi, serta ekoregionalisasi pangan sebagai bagian dari asas dan tujuan dalam rancangan UU baru.  Hal ini mereka usulkan masuk dalam perubahan bab dan pasal terkait asas dan tujuan pangan.

Kedua, meminta penguatan tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi. Mereka harapkan, pemerintah dapat memastikan ketersediaan pangan, stabilitas harga, perlindungan bagi produsen kecil seperti petani dan nelayan, serta memberikan prioritas pada produksi pangan lokal.

Ketiga, pengurangan ketergantungan pada impor pangan, dengan syarat bahwa impor harus berdasarkan pada data kebutuhan akurat dan tidak mengganggu produksi dalam negeri. Perlindungan terhadap lahan pangan dan regenerasi petani muda, katanya,  juga menjadi bagian penting dari usulan ini.

Penanganan kehilangan, susut, dan sisa pangan juga isu krusial yang harus ada penanganan dari tahap produksi hingga distribusi akhir, melalui insentif dan dukungan kelembagaan yang kuat.

Keempat, koalisi turut mendorong penguatan cadangan pangan nasional yang mencakup pangan lokal, pangan biru, dan pangan strategis, dengan sistem pengelolaan transparan dan berbasis data.

Strategi penanggulangan kerawanan pangan masyarakat, katanya, menggunakan pendekatan wilayah, kelompok rentan, dan dampak perubahan iklim. “Disertai pengembangan sistem peringatan dini serta skema penanganan darurat dan struktural.”

Kelima, KSPL mendorong pembentukan sistem pendanaan pangan inklusif dan terstruktur. Harapannya, dengan sistem ini dapat melibatkan berbagai sumber, termasuk APBN/APBD, investasi swasta dan internasional. Juga, platform pendanaan nasional melalui skema blended finance yang mendukung pembangunan sistem pangan berkelanjutan.

Keenam, penguatan sistem informasi pangan. KSPL mendorong pengembangan Dashboard Sistem Pangan Indonesia (DSPI) sebagai pusat data terpadu yang mencakup berbagai aspek penting, sepert,i keragaman pangan, tingkat food loss, rantai pasok, hingga dampak perubahan iklim terhadap sistem pangan nasional.

Ketujuh, KSPL juga mengusulkan penguatan tata kelola kelembagaan pangan, termasuk memperkuat peran strategis Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Kedelapan, KSPL mendorong pembentukan clearing house kebijakan pangan nasional yang berfungsi menyinkronkan data, anggaran, dan program lintas sektor secara terpadu.

Kesembilan, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dalam sistem pangan nasional. Hal ini, katanya, mencakup akses wilayah dan sumber daya, serta keterlibatan aktif masyarakat adat dalam perencanaan pangan dan pelestarian kearifan lokal.

Kesepuluh,KSPL juga mendorong pemberian insentif untuk pengembangan ekosistem bisnis pangan lokal, khusus bagi produsen kecil, masyarakat adat, perempuan, nelayan tradisional, dan pelaku UMKM. Insentif itu, kat Burhanudin, bisa berupa subsidi, keringanan pajak, akses kredit berbunga rendah, pelatihan kapasitas, serta pengakuan terhadap inovasi lokal.

Kesebelas, koalisi juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam sistem pangan nasional. Keterlibatan ini mencakup partisipasi dalam perencanaan, penyediaan dan akses informasi, pengawasan, pembentukan kelembagaan pangan lokal, serta pengelolaan sumber daya secara lestari.

Keduabelas, KSPL mengusulkan penerapan pendekatan ekoregionalisasi dalam sistem pangan. Pendekatan ini bertujuan untuk mengintegrasikan kebijakan pangan nasional dengan kondisi ekologi lokal, budaya pangan masyarakat, sistem pertanian setempat, serta distribusi gizi yang merata antar wilayah.

Usulan ini, kata Burhanudin, merupakan bentuk kontribusi masyarakat sipil untuk memastikan revisi UU Pangan tak hanya menjawab tantangan kedaulatan pangan nasional. Ia juga memperkuat keadilan sosial, perlindungan ekologi, ketahanan terhadap perubahan iklim, serta kedaulatan pangan yang berpihak pada rakyat. “Kami hadir dengan 12 rekomendasi strategis yang dapat menjadi arah pembaruan.”

 

Urgensi Revisi UU Pangan

Menurut KSPL, UU Pangan saat ini perlu revisi menyeluruh bukan sebatas penyesuaian teknis atau penguatan terhadap program-program jangka pendek pemerintah. UU Pangan sudah tidak lagi relevan menjawab tantangan pangan nasional yang makin kompleks, terutama terkait krisis iklim, ketimpangan akses, serta lemahnya perlindungan terhadap produsen kecil dan kearifan pangan lokal.

“Kami mencatat sedikitnya 12 alasan mendasar yang menunjukkan urgensi revisi UU Pangan. Revisi ini harus mengarah pada transformasi sistem pangan nasional lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan,” kata Romauli Panggabean, Perwakilan dari Sekretariat KSPL sekaligus Environmental Economist WRI Indonesia.

Urgensi pertama, integrasi tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam kebijakan dan praktik sistem pangan nasional agar lebih tangguh dan berkelanjutan. Menurut dia, tanpa pendekatan itu, sistem pangan Indonesia akan rentan krisis dan bencana iklim yang makin sering terjadi.

UU Pangan sebelumnya belum mengakui pentingnya asas ekologis, keadilan distribusi, ketahanan iklim, maupun pendekatan ekoregional. Ia masih berfokus pada aspek “ketersediaan pangan” yang cenderung bias terhadap komoditas tertentu seperti beras, terigu, gula, dan jagung.

Kedua, perlu memperkuat keberagaman pangan lokal, termasuk pangan biru, melalui pendekatan ekoregionalisasi. Strategi ini menyesuaikan sistem pangan dengan potensi ekologi lokal, budaya masyarakat, serta distribusi gizi antar daerah.

Ketiga, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan komunitas lokal sangat diperlukan. Hal ini mencakup pengetahuan tradisional, benih lokal, serta pengelolaan wilayah adat yang selama ini menjadi bagian penting dari keberlanjutan sistem pangan, namun belum dijamin secara hukum dalam UU Pangan saat ini.

Menurut KSPL, skema cadangan pangan nasional saat ini masih berorientasi pada negara, tanpa pengakuan terhadap peran komunitas, lumbung adat, koperasi, maupun pangan lokal dan pangan biru. Ketidaklibatan struktur komunitas ini memperlemah ketahanan pangan berbasis lokal.

Keempat, menekankan pentingnya mewujudkan keadilan struktural dalam sistem pangan agar seluruh rakyat mendapatkan akses, distribusi, dan manfaat pangan secara setara. Saat ini, UU Pangan belum menegaskan peran negara sebagai penjamin hak asasi atas pangan.

“Kewajiban negara melindungi petani kecil, nelayan tradisional, kelompok rentan, dan konsumen masih bersifat implisit dan tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai,” kata Romauli.

Kelima, keterlibatan generasi muda sebagai pelaku utama dalam transformasi sistem pangan dianggap krusial. Mereka perlu dukungan dalam menghadapi tantangan masa depan, termasuk digitalisasi dan perubahan iklim, agar sistem pangan lebih inovatif dan adaptif.

Keenam, penguatan kelembagaan pangan dan perlindungan produksi pangan lokal sebagai fondasi utama dalam membangun ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

Ketujuh, peningkatan tata kelola cadangan pangan, terutama dari segi transparansi, efisiensi, dan ketepatan sasaran sangat penting. Hal ini krusial dalam menghadapi kondisi darurat seperti bencana alam dan krisis pangan.

Apalagi, kata Romauli, UU Pangan lama belum memiliki bab khusus mengenai kerawanan pangan. Tidak ada definisi operasional maupun sistem peringatan dini untuk menghadapi krisis pangan di daerah-daerah rawan. Aspek pendanaan sistem pangan pun belum ada secara terstruktur, termasuk dukungan fiskal melalui APBN/APBD maupun insentif bagi petani kecil.

UU Pangan saat ini, katanya, juga tidak mengakui sistem pangan masyarakat adat, serta belum memberikan perlindungan hukum terhadap wilayah kelola adat, pengetahuan tradisional, dan benih lokal. Pelaku kecil seperti petani, nelayan, UMKM, dan koperasi pangan pun belum memperoleh insentif maupun perlindungan pasar yang adil.

Kedelapan, menyangkut norma dan pasal dalam UU No. 18/2012 yang dinilai terlalu teknokratis dan cenderung bias pasar. UU ini belum tegas mengusung paradigma kedaulatan pangan, hak asasi atas pangan, keanekaragaman hayati, serta keadilan ekologis.

Kesembilan, menyoroti perlu penguatan koordinasi dan kelembagaan pangan dari tingkat pusat hingga daerah agar perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan dapat berjalan secara terpadu dan efektif. Saat ini, sistem informasi pangan belum terintegrasi, dan UU belum menetapkan clearing house nasional sebagai pusat integrasi data, anggaran, dan kewenangan.

Kesepuluh, harus atur jelas dan terintegrasi pendanaan sistem pangan berkelanjutan. Pendanaan ini, katanya, mencakup anggaran publik, bantuan internasional, serta investasi dari sektor swasta dalam kerangka kebijakan yang harmonis.

Kesebelas,  penanganan kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan mikronutrien (triple burden of malnutrition) melalui kebijakan pangan nasional yang lebih komprehensif dan inklusif. Pendekatan sentralistik dalam UU Pangan selama ini mengabaikan keragaman geografis dan budaya pangan di tiap daerah hingga kebijakan seragam dan tak kontekstual.

Keduabelas, penanganan potensi kehilangan dan sisa pangan (food loss and waste) diperkirakan mencapai 50 juta ton per tahun harus secara sistematis. Selain penting bagi kedaulatan pangan, katanya, juga berdampak besar terhadap lingkungan dan efisiensi sumber daya.

“UU Pangan ini juga tidak mengatur secara spesifik soal susut, kehilangan, dan sisa pangan. Tanpa strategi nasional dan kelembagaan yang bertanggung jawab, kerugian di sepanjang rantai pasok pangan terus terjadi tanpa mitigasi yang memadai,” kata Romauli.

 

Jalan Mengakomodasi Food Estate?

Ada kekhwatiran revisi UU Pangan ini untuk mengakomodasi program food estate. Koalisi pun menolak keras. Dari hasil kajian koalisi, tak ada bukti bahwa program food estate sejak era Orde Baru hingga sekarang, berhasil sebagai solusi pangan. Sebaliknya, program ini justru menimbulkan dampak ekologis serius, menjauh dari upaya mitigasi dan adaptasi iklim, serta berisiko besar memicu konflik tenurial.

Selain itu, food estate adalah program jangka pendek, bukan norma hukum yang bersifat abadi. Seharusnya, UU memuat prinsip, asas, dan norma yang berlaku jangka panjang dan lintas rezim. Sedang food estate adalah kebijakan temporer yang bersifat eksperimental, masih diperdebatkan efektivitas serta dampaknya, dan sangat bergantung pada keputusan politik pemerintah yang sedang berkuasa.

“Memasukkan food estate ke dalam UU Pangan berarti membekukan kebijakan yang belum terbukti efektif ke dalam kerangka hukum yang permanen. Langkah ini berisiko besar, baik secara konstitusional maupun ekologis,” tegas Burhanudin.

Food estate, katanya, bertentangan dengan prinsip ekoregionalisasi dan keberagaman pangan lokal. Pendekatannya cenderung menyeragamkan produksi, seperti beras atau jagung, tanpa mempertimbangkan kesesuaian wilayah dan potensi pangan lokal seperti sagu, sorgum, atau talas. “Program food estate ini justru kontraproduktif terhadap arah pembaruan sistem pangan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan.”

Koalisi juga menyoroti kurangnya transparansi dalam proses revisi RUU Pangan. Meski berbagai usulan dan urgensi telah mereka sampaikan, keterlibatan organisasi masyarakat sipil masih sangat minim. Hingga kini, belum ada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan perwakilan organisasi masyarakat sipil, nelayan, maupun masyarakat adat.

“Selain itu, hingga kini belum ada draf RUU Pangan yang dipublikasikan di laman resmi DPR sebagai bentuk transparansi atas materi dan perkembangan pembahasannya.”

Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia, menyampaikan pandangan serupa. RUU Pangan, katanya,  kemungkinan besar akan mengakomodasi kepentingan korporasi, khusus yang terlibat dalam proyek food estate, program makan bergizi gratis (MBG), dan hilirisasi produk komoditas pangan.

Dia menilai, proyek-proyek itu bermasalah dan tidak berpihak pada produsen pangan yang rentan, seperti petani kecil. RUU Pangan ini, katanya, akan membawa masalah baru kalau hanya akan menguntungkan korporasi, bukan petani yang selama ini menjadi produsen utama pangan.

“Dalam konteks sistem pangan, pemerintah seharusnya melindungi kelompok-kelompok yang paling marginal, seperti petani kecil, nelayan tradisional, dan masyarakat adat,” katanya kepada Mongabay.

Bukan sebaliknya, kata Marhin, malah melindungi korporasi yang berpotensi menggantikan peran petani sebagai produsen utama pangan. Proyek food estate, yang pemerintah klaim sebagai solusi pangan, justru berisiko menjadi bom waktu menggerus peran petani dan masyarakat adat sebagai produsen pangan. Proyek ini telah beberapa kali gagal pemerintah jalankan.

Seharusnya, pemerintah mendorong penguatan produsen pangan skala kecil, sebagaimana Brasil lakukan melalui dukungan terhadap pertanian keluarga dan pembangunan sektor perikanan skala kecil. Mereka menolak keras kalau RUU Pangan hanya berfungsi untuk melegitimasi proyek-proyek pangan yang berpihak pada korporasi.

Meski begitu, Marthin membenarkan UU Pangan saat ini masih bermasalah, terutama karena tidak menjelaskan rinci mengenai hak atas pangan. Padahal, hak atas pangan merupakan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhinya.

Dalam implementasi hak atas pangan, katanya, harus ada jaminan atas keterjangkauan, kelayakan, kualitas, serta keberlanjutan. Tak boleh ada tindakan yang menyebabkan penurunan pemenuhan hak atas pangan, apalagi sampai terjadi kelaparan yang berujung kematian.

Selain itu, penting juga mengakui keberadaan pemegang hak (right holders), yaitu,  masyarakat sebagai konsumen pangan, serta produsen pangan yang paling rentan seperti petani kecil, nelayan tradisional, dan masyarakat adat.

Ironisnya, kata Marthin, krisis pangan masih kerap terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk kasus kelaparan di Tanah Papua. Alih-alih mengimplementasikan hak atas pangan, pemerintah justru sering menyalahkan masyarakat, dengan anggapan sistem pangan lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan secara memadai.

“Saat ini, banyak faktor iklim yang memengaruhi kondisi pangan di Indonesia. Seharusnya, pemerintah membangun sistem tanggap darurat untuk menghadapi berbagai krisis pangan, termasuk kasus kelaparan. Ini belum diatur dalam UU Pangan saat ini.”

Dia skeptis terhadap revisi UU Pangan. Marthin khawatir, masyarakat hanya jadi pekerja dalam proyek-proyek pangan, tanpa memiliki hak atas pangan, akses, maupun kontrol atas produksi pangan di Indonesia.

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment