- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Revisi UU Pangan: Benahi Sistem, Jangan Akomodasi Proyek Jangka Pendek
.jpg)
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) tengah membahas perubahan Undang-undang Nomor 18/2012 tentang Pangan.
Parlemen menyebut tujuan revisi untuk memperkuat kedaulatan pangan nasional,
mengurangi ketergantungan pada impor, serta memberikan perlindungan lebih kepada
petani.
Meski begitu, sejumlah organisasi masyarakat sipil
mengingatkan, jangan sampai perubahan ini hanya upaya mengakomodasi kebijakan
pemerintah, seperti food estate. Mereka pun memberikan masukan dan usulan.
Muhamad Burhanudin, perwakilan dari Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL),
menyatakan, revisi UU Pangan menitikberatkan pada aspek-aspek seperti penguatan
Bulog, swasembada, dan proyek food estate.
“Pendekatan semacam ini justru berpotensi membuat
pembangunan sistem pangan nasional berjalan mundur, serta bertentangan dengan
prinsip keadilan ekologis dan kebutuhan akan mitigasi serta adaptasi terhadap
perubahan iklim,” katanya melalui rilis kepada media, awal Agustus lalu.
Baca Lainnya :
- Fakta Unik Kondusifitas Demo Mahasiswa dan Driver Online di Kota Palembang0
- Kritik DPR Memuncak: Saatnya Rekrutmen Politik yang Bersih dan Transparan0
- Inovasi Superkapasitor Berbasis Biomassa Sawit Dorong Transisi Energi Bersih0
- Presiden Prabowo Sampaikan Belasungkawa, Perintahkan Usut Tuntas Insiden Demonstrasi0
- Hentikan Kekerasan Oleh Oknum Aparat, Bebaskan Semua Demonstran0
KSPL sepakat, mendorong advokasi terhadap revisi UU Pangan.
Revisi ini, katanya, harus jadi kesempatan membenahi fondasi sistem pangan yang
selama ini terlalu teknokratis, tersentralisasi, dan belum cukup berpihak pada
petani kecil, masyarakat adat, serta keberagaman pangan lokal.
Koalisi menekankan, arah perubahan UU ini harus fokus pada
penyelesaian akar permasalahan dalam sistem pangan nasional dan perbaikan
terhadap berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pangan ini. Revisi, katanya,
tidak semata-mata untuk mengakomodasi program-program pangan pemerintah yang
bersifat jangka pendek.
Pertengahan Juli lalu, KSPL menyampaikan 12 usulan strategis
kepada Komisi IV DPR sebagai dasar arah perubahan yang perlu jadi pertimbangan
dalam proses revisi. “Usulan ini bertujuan memperkuat ketahanan dan kedaulatan
pangan nasional dengan pendekatan yang berkelanjutan dan berkeadilan,” kata
Burhanudin, juga Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan Keanekaragaman Hayati
Indonesia (Kehati) ini.
Adapun 12 usulan strategis itu, pertama, KSPL menekankan
pentingnya penegasan prinsip keadilan ekologis, ketahanan iklim, kedaulatan
pangan berbasis pangan lokal, keadilan distribusi, serta ekoregionalisasi
pangan sebagai bagian dari asas dan tujuan dalam rancangan UU baru. Hal ini mereka usulkan masuk dalam perubahan
bab dan pasal terkait asas dan tujuan pangan.
Kedua, meminta penguatan tanggung jawab negara dalam
menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi. Mereka harapkan, pemerintah dapat
memastikan ketersediaan pangan, stabilitas harga, perlindungan bagi produsen
kecil seperti petani dan nelayan, serta memberikan prioritas pada produksi
pangan lokal.
Ketiga, pengurangan ketergantungan pada impor pangan, dengan
syarat bahwa impor harus berdasarkan pada data kebutuhan akurat dan tidak
mengganggu produksi dalam negeri. Perlindungan terhadap lahan pangan dan
regenerasi petani muda, katanya, juga
menjadi bagian penting dari usulan ini.
Penanganan kehilangan, susut, dan sisa pangan juga isu
krusial yang harus ada penanganan dari tahap produksi hingga distribusi akhir,
melalui insentif dan dukungan kelembagaan yang kuat.
Keempat, koalisi turut mendorong penguatan cadangan pangan
nasional yang mencakup pangan lokal, pangan biru, dan pangan strategis, dengan
sistem pengelolaan transparan dan berbasis data.
Strategi penanggulangan kerawanan pangan masyarakat,
katanya, menggunakan pendekatan wilayah, kelompok rentan, dan dampak perubahan
iklim. “Disertai pengembangan sistem peringatan dini serta skema penanganan
darurat dan struktural.”
Kelima, KSPL mendorong pembentukan sistem pendanaan pangan
inklusif dan terstruktur. Harapannya, dengan sistem ini dapat melibatkan
berbagai sumber, termasuk APBN/APBD, investasi swasta dan internasional. Juga,
platform pendanaan nasional melalui skema blended finance yang mendukung
pembangunan sistem pangan berkelanjutan.
Keenam, penguatan sistem informasi pangan. KSPL mendorong
pengembangan Dashboard Sistem Pangan Indonesia (DSPI) sebagai pusat data
terpadu yang mencakup berbagai aspek penting, sepert,i keragaman pangan,
tingkat food loss, rantai pasok, hingga dampak perubahan iklim terhadap sistem
pangan nasional.
Ketujuh, KSPL juga mengusulkan penguatan tata kelola
kelembagaan pangan, termasuk memperkuat peran strategis Bulog dan Badan Pangan
Nasional (Bapanas). Kedelapan, KSPL mendorong pembentukan clearing house
kebijakan pangan nasional yang berfungsi menyinkronkan data, anggaran, dan
program lintas sektor secara terpadu.
Kesembilan, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat
dalam sistem pangan nasional. Hal ini, katanya, mencakup akses wilayah dan
sumber daya, serta keterlibatan aktif masyarakat adat dalam perencanaan pangan
dan pelestarian kearifan lokal.
Kesepuluh,KSPL juga mendorong pemberian insentif untuk
pengembangan ekosistem bisnis pangan lokal, khusus bagi produsen kecil,
masyarakat adat, perempuan, nelayan tradisional, dan pelaku UMKM. Insentif itu,
kat Burhanudin, bisa berupa subsidi, keringanan pajak, akses kredit berbunga
rendah, pelatihan kapasitas, serta pengakuan terhadap inovasi lokal.
Kesebelas, koalisi juga menekankan pentingnya partisipasi
masyarakat dalam sistem pangan nasional. Keterlibatan ini mencakup partisipasi
dalam perencanaan, penyediaan dan akses informasi, pengawasan, pembentukan
kelembagaan pangan lokal, serta pengelolaan sumber daya secara lestari.
Keduabelas, KSPL mengusulkan penerapan pendekatan
ekoregionalisasi dalam sistem pangan. Pendekatan ini bertujuan untuk
mengintegrasikan kebijakan pangan nasional dengan kondisi ekologi lokal, budaya
pangan masyarakat, sistem pertanian setempat, serta distribusi gizi yang merata
antar wilayah.
Usulan ini, kata Burhanudin, merupakan bentuk kontribusi
masyarakat sipil untuk memastikan revisi UU Pangan tak hanya menjawab tantangan
kedaulatan pangan nasional. Ia juga memperkuat keadilan sosial, perlindungan
ekologi, ketahanan terhadap perubahan iklim, serta kedaulatan pangan yang
berpihak pada rakyat. “Kami hadir dengan 12 rekomendasi strategis yang dapat
menjadi arah pembaruan.”
Urgensi Revisi UU Pangan
Menurut KSPL, UU Pangan saat ini perlu revisi menyeluruh
bukan sebatas penyesuaian teknis atau penguatan terhadap program-program jangka
pendek pemerintah. UU Pangan sudah tidak lagi relevan menjawab tantangan pangan
nasional yang makin kompleks, terutama terkait krisis iklim, ketimpangan akses,
serta lemahnya perlindungan terhadap produsen kecil dan kearifan pangan lokal.
“Kami mencatat sedikitnya 12 alasan mendasar yang
menunjukkan urgensi revisi UU Pangan. Revisi ini harus mengarah pada
transformasi sistem pangan nasional lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan,”
kata Romauli Panggabean, Perwakilan dari Sekretariat KSPL sekaligus
Environmental Economist WRI Indonesia.
Urgensi pertama, integrasi tindakan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim dalam kebijakan dan praktik sistem pangan nasional agar lebih
tangguh dan berkelanjutan. Menurut dia, tanpa pendekatan itu, sistem pangan
Indonesia akan rentan krisis dan bencana iklim yang makin sering terjadi.
UU Pangan sebelumnya belum mengakui pentingnya asas
ekologis, keadilan distribusi, ketahanan iklim, maupun pendekatan ekoregional.
Ia masih berfokus pada aspek “ketersediaan pangan” yang cenderung bias terhadap
komoditas tertentu seperti beras, terigu, gula, dan jagung.
Kedua, perlu memperkuat keberagaman pangan lokal, termasuk
pangan biru, melalui pendekatan ekoregionalisasi. Strategi ini menyesuaikan
sistem pangan dengan potensi ekologi lokal, budaya masyarakat, serta distribusi
gizi antar daerah.
Ketiga, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan
komunitas lokal sangat diperlukan. Hal ini mencakup pengetahuan tradisional,
benih lokal, serta pengelolaan wilayah adat yang selama ini menjadi bagian
penting dari keberlanjutan sistem pangan, namun belum dijamin secara hukum
dalam UU Pangan saat ini.
Menurut KSPL, skema cadangan pangan nasional saat ini masih
berorientasi pada negara, tanpa pengakuan terhadap peran komunitas, lumbung
adat, koperasi, maupun pangan lokal dan pangan biru. Ketidaklibatan struktur
komunitas ini memperlemah ketahanan pangan berbasis lokal.
Keempat, menekankan pentingnya mewujudkan keadilan
struktural dalam sistem pangan agar seluruh rakyat mendapatkan akses,
distribusi, dan manfaat pangan secara setara. Saat ini, UU Pangan belum
menegaskan peran negara sebagai penjamin hak asasi atas pangan.
“Kewajiban negara melindungi petani kecil, nelayan
tradisional, kelompok rentan, dan konsumen masih bersifat implisit dan tidak
memiliki kekuatan hukum yang memadai,” kata Romauli.
Kelima, keterlibatan generasi muda sebagai pelaku utama
dalam transformasi sistem pangan dianggap krusial. Mereka perlu dukungan dalam
menghadapi tantangan masa depan, termasuk digitalisasi dan perubahan iklim,
agar sistem pangan lebih inovatif dan adaptif.
Keenam, penguatan kelembagaan pangan dan perlindungan
produksi pangan lokal sebagai fondasi utama dalam membangun ketahanan dan
kedaulatan pangan nasional.
Ketujuh, peningkatan tata kelola cadangan pangan, terutama
dari segi transparansi, efisiensi, dan ketepatan sasaran sangat penting. Hal
ini krusial dalam menghadapi kondisi darurat seperti bencana alam dan krisis
pangan.
Apalagi, kata Romauli, UU Pangan lama belum memiliki bab
khusus mengenai kerawanan pangan. Tidak ada definisi operasional maupun sistem
peringatan dini untuk menghadapi krisis pangan di daerah-daerah rawan. Aspek
pendanaan sistem pangan pun belum ada secara terstruktur, termasuk dukungan
fiskal melalui APBN/APBD maupun insentif bagi petani kecil.
UU Pangan saat ini, katanya, juga tidak mengakui sistem
pangan masyarakat adat, serta belum memberikan perlindungan hukum terhadap
wilayah kelola adat, pengetahuan tradisional, dan benih lokal. Pelaku kecil
seperti petani, nelayan, UMKM, dan koperasi pangan pun belum memperoleh
insentif maupun perlindungan pasar yang adil.
Kedelapan, menyangkut norma dan pasal dalam UU No. 18/2012
yang dinilai terlalu teknokratis dan cenderung bias pasar. UU ini belum tegas
mengusung paradigma kedaulatan pangan, hak asasi atas pangan, keanekaragaman
hayati, serta keadilan ekologis.
Kesembilan, menyoroti perlu penguatan koordinasi dan
kelembagaan pangan dari tingkat pusat hingga daerah agar perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan dapat berjalan secara terpadu dan
efektif. Saat ini, sistem informasi pangan belum terintegrasi, dan UU belum
menetapkan clearing house nasional sebagai pusat integrasi data, anggaran, dan
kewenangan.
Kesepuluh, harus atur jelas dan terintegrasi pendanaan
sistem pangan berkelanjutan. Pendanaan ini, katanya, mencakup anggaran publik,
bantuan internasional, serta investasi dari sektor swasta dalam kerangka
kebijakan yang harmonis.
Kesebelas, penanganan
kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan mikronutrien (triple burden of
malnutrition) melalui kebijakan pangan nasional yang lebih komprehensif dan
inklusif. Pendekatan sentralistik dalam UU Pangan selama ini mengabaikan
keragaman geografis dan budaya pangan di tiap daerah hingga kebijakan seragam
dan tak kontekstual.
Keduabelas, penanganan potensi kehilangan dan sisa pangan
(food loss and waste) diperkirakan mencapai 50 juta ton per tahun harus secara
sistematis. Selain penting bagi kedaulatan pangan, katanya, juga berdampak
besar terhadap lingkungan dan efisiensi sumber daya.
“UU Pangan ini juga tidak mengatur secara spesifik soal
susut, kehilangan, dan sisa pangan. Tanpa strategi nasional dan kelembagaan
yang bertanggung jawab, kerugian di sepanjang rantai pasok pangan terus terjadi
tanpa mitigasi yang memadai,” kata Romauli.
Jalan Mengakomodasi Food Estate?
Ada kekhwatiran revisi UU Pangan ini untuk mengakomodasi
program food estate. Koalisi pun menolak keras. Dari hasil kajian koalisi, tak
ada bukti bahwa program food estate sejak era Orde Baru hingga sekarang,
berhasil sebagai solusi pangan. Sebaliknya, program ini justru menimbulkan
dampak ekologis serius, menjauh dari upaya mitigasi dan adaptasi iklim, serta
berisiko besar memicu konflik tenurial.
Selain itu, food estate adalah program jangka pendek, bukan
norma hukum yang bersifat abadi. Seharusnya, UU memuat prinsip, asas, dan norma
yang berlaku jangka panjang dan lintas rezim. Sedang food estate adalah
kebijakan temporer yang bersifat eksperimental, masih diperdebatkan efektivitas
serta dampaknya, dan sangat bergantung pada keputusan politik pemerintah yang
sedang berkuasa.
“Memasukkan food estate ke dalam UU Pangan berarti
membekukan kebijakan yang belum terbukti efektif ke dalam kerangka hukum yang
permanen. Langkah ini berisiko besar, baik secara konstitusional maupun
ekologis,” tegas Burhanudin.
Food estate, katanya, bertentangan dengan prinsip
ekoregionalisasi dan keberagaman pangan lokal. Pendekatannya cenderung
menyeragamkan produksi, seperti beras atau jagung, tanpa mempertimbangkan
kesesuaian wilayah dan potensi pangan lokal seperti sagu, sorgum, atau talas.
“Program food estate ini justru kontraproduktif terhadap arah pembaruan sistem
pangan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan.”
Koalisi juga menyoroti kurangnya transparansi dalam proses
revisi RUU Pangan. Meski berbagai usulan dan urgensi telah mereka sampaikan,
keterlibatan organisasi masyarakat sipil masih sangat minim. Hingga kini, belum
ada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan perwakilan organisasi
masyarakat sipil, nelayan, maupun masyarakat adat.
“Selain itu, hingga kini belum ada draf RUU Pangan yang
dipublikasikan di laman resmi DPR sebagai bentuk transparansi atas materi dan
perkembangan pembahasannya.”
Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia,
menyampaikan pandangan serupa. RUU Pangan, katanya, kemungkinan besar akan mengakomodasi
kepentingan korporasi, khusus yang terlibat dalam proyek food estate, program
makan bergizi gratis (MBG), dan hilirisasi produk komoditas pangan.
Dia menilai, proyek-proyek itu bermasalah dan tidak berpihak
pada produsen pangan yang rentan, seperti petani kecil. RUU Pangan ini,
katanya, akan membawa masalah baru kalau hanya akan menguntungkan korporasi,
bukan petani yang selama ini menjadi produsen utama pangan.
“Dalam konteks sistem pangan, pemerintah seharusnya
melindungi kelompok-kelompok yang paling marginal, seperti petani kecil,
nelayan tradisional, dan masyarakat adat,” katanya kepada Mongabay.
Bukan sebaliknya, kata Marhin, malah melindungi korporasi
yang berpotensi menggantikan peran petani sebagai produsen utama pangan. Proyek
food estate, yang pemerintah klaim sebagai solusi pangan, justru berisiko
menjadi bom waktu menggerus peran petani dan masyarakat adat sebagai produsen
pangan. Proyek ini telah beberapa kali gagal pemerintah jalankan.
Seharusnya, pemerintah mendorong penguatan produsen pangan
skala kecil, sebagaimana Brasil lakukan melalui dukungan terhadap pertanian
keluarga dan pembangunan sektor perikanan skala kecil. Mereka menolak keras
kalau RUU Pangan hanya berfungsi untuk melegitimasi proyek-proyek pangan yang
berpihak pada korporasi.
Meski begitu, Marthin membenarkan UU Pangan saat ini masih
bermasalah, terutama karena tidak menjelaskan rinci mengenai hak atas pangan.
Padahal, hak atas pangan merupakan kewajiban negara untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhinya.
Dalam implementasi hak atas pangan, katanya, harus ada
jaminan atas keterjangkauan, kelayakan, kualitas, serta keberlanjutan. Tak
boleh ada tindakan yang menyebabkan penurunan pemenuhan hak atas pangan,
apalagi sampai terjadi kelaparan yang berujung kematian.
Selain itu, penting juga mengakui keberadaan pemegang hak
(right holders), yaitu, masyarakat
sebagai konsumen pangan, serta produsen pangan yang paling rentan seperti
petani kecil, nelayan tradisional, dan masyarakat adat.
Ironisnya, kata Marthin, krisis pangan masih kerap terjadi
di berbagai wilayah Indonesia, termasuk kasus kelaparan di Tanah Papua.
Alih-alih mengimplementasikan hak atas pangan, pemerintah justru sering
menyalahkan masyarakat, dengan anggapan sistem pangan lokal tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan secara memadai.
“Saat ini, banyak faktor iklim yang memengaruhi kondisi
pangan di Indonesia. Seharusnya, pemerintah membangun sistem tanggap darurat
untuk menghadapi berbagai krisis pangan, termasuk kasus kelaparan. Ini belum
diatur dalam UU Pangan saat ini.”
Dia skeptis terhadap revisi UU Pangan. Marthin khawatir,
masyarakat hanya jadi pekerja dalam proyek-proyek pangan, tanpa memiliki hak
atas pangan, akses, maupun kontrol atas produksi pangan di Indonesia.
