Merindukan Sandiwara (Guru) Growth Mindset
Tulisan Kedua dari Tlikan, Sandiwara (Guru) Sekolah

By PorosBumi 22 Jul 2025, 07:52:16 WIB Tilikan
Merindukan Sandiwara (Guru) Growth Mindset

Anton Suparyanta

Suka baca, suka nulis


Baca Lainnya :

SEBERAPA pantaskah kita merindukan guru yang growth mindset ketika pola pikir konsumtif justru menggilai brain rot gawai atau media sosial? Selagi AI generatif dan tawaran agen AI ibarat setan menggodai setiap detik? Ketika ekosistem pendidikan terkini masih suka memainkan “panggung sandiwara” nasional?

Data iliterat sejumlah murid SMP di Buleleng, Bali, menjadi noktah kejut untuk programasi eksklusif guru-mentor ala Prof Abdul Mu’ti. Program ini bertujuan meningkatkan mutu pendidikan melalui pengembangan profesionalisme guru (Kemdikdasmen, 2025). Program ini melibatkan seleksi dan pelatihan guru-guru yang berpotensi menjadi mentor bagi rekan sejawatnya, dengan fokus pada kompetensi dan sikap yang diperlukan untuk menjadi pendidik yang efektif. Satu kriteria penting dalam seleksi adalah pola pikir bertumbuh (growth mindset).

Pola pikir bertumbuh adalah konsep yang mengedepankan kemampuan untuk terus belajar dan berkembang serta kemampuan untuk menghadapi tantangan dengan sikap positif. Guru dengan pola pikir bertumbuh percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat ditingkatkan melalui usaha dan pembelajaran yang berkelanjutan. Mereka tidak takut menghadapi kesulitan dan selalu mencari peluang untuk meningkatkan diri.

Ini bukan sandiwara jika hingga hari ini guru tetap menjadi ujung tombak dunia pendidikan nasional. Peran dan peranan guru tetap diacungi jempol meskipun mutu ajar dan mutu didik guru belum joyfull. Justru predikat guru menumpuk karena tuntutannya adalah mutu visioner guru.

Apakah profesi (guru) kita latah mengapresiasi kinerja Butet Manurung (Sokola Rimba), Anies Baswedan (program Indonesia Mengajar), atau Nadiem Makarim (paket guru merdeka Guru Penggerak), bahkan kini Abdul Mu’ti (program Guru Mentor)? Bukankah Butet, Anies, Nadiem, pun Abdul adalah sosok idola “guru bangsa”?

Dalam opini advertorial di sejumlah media, tertoreh garansi lima kompetensi guru yang mau berkiprah pada Abad XXI ini, yakni 1) mampu memfasilitasi dan menginspirasi pembelajaran murid; 2) mampu memaksimalkan seluruh potensi murid baik melalui pembelajaran dalam kelas maupun luar kelas; 3) melek teknologi pembelajaran mutakhir; 4) tidak merasa malu dan malas untuk terus belajar; dan 5) mampu menstimulasi murid untuk mengantisipasi masa depan. Ini roh, nyawa, elan vital guru.

Jika guru menyadari roh kompetensi tersebut, generasi murid mendatang adalah lumbung emas. Abad ke-21 makin mondial, global, digital, kompleks, dan kompetitif. Lima kompetensi guru tadi menjadi dasar antisipasi untuk tuntutan empat kecakapan murid Abad XXI (yakni 4C: Critical thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication). Inilah momentum tepat guru harus merenung, refleksi, hingga sadar berbenah diri. Putarlah haluan guru untuk murid, bukan guru untuk ego pencitraan, apalagi remeh-temeh guru konten demi tik tok.

Banyak guru kini bersandiwara, tidak lagi pakem pada profesi mendidik dan mengajar. Banyak sandiwara pula guru memburu laku demi bayaran. Apakah ini cacat guru yang menggejolak pada zaman panik kapital? Ataukah cara pandang setiap individu guru justru memilih permisif terhadap profesi-plus, bukan guru-plus? Efeknya, para guru menyuguhkan hipokrisi massal. Jika kondisi ini menggila, guru sekadar nama, menjadi profesi latah dengan barisan tabiat yang hipokrit. Kebohongan yang dilembagakan bersama. Hidup dalam jejaring kompulsif.

 

Nostalgia Guru Medioker

Idealnya, inisiasi guru bermakna apresiatif mendidik. Tidak semata-mata mengajar atau pamer ilmu kognitif. Hari ini bukan zaman nyinyir guru sebagai profesi ”pahlawan tanpa tanda jasa”. Ini guru-nekrofil. Kolot. Kebanggaan seperti ini adalah mumi. Sebatas monumen yang menjebak pemikiran terkubur secara nekrofilia (Yunani, nekros=mati; philia=persahabatan).

Julukan ini jatuh pada nilai bendawi. Tidak terkecuali, istilah guru direka cipta (digugu lan ditiru). Nilai keampuhannya sengaja dibenturkan dengan takaran profesi. Ini pun filosofi klasik yang harus ditanggalkan. Guru kini adalah guru-zaman (bukan zaman-guru). Artinya, profesi bisa diviralkan oleh atmosfer zaman. Profesi gampang juga dibunuh oleh kecanggihan zaman. Seberapa pantas kita mau membandingkan antara guru produk lampau dan guru kemasan terkini?

Beda mencolok, dulu profesi ”disembah” dengan etos, komitmen, integritas, militansi sehingga mampu mencetak guru berkarakter, penuh dedikasi dan berkepribadian. Kabar akhir-akhir ini profesi makin diukur oleh cuan pragmatis dan konsumtif. Ada nilai guna. Ada nilai tukar. Sindiran mencuat, sertifikasi guru adalah jatah fulus. Urutan ala arisan.

Inilah jerat karakter-baru untuk guru masa kini. Namun, perlu dipahami bersama dengan akal sehat bahwa karakter ini berkecambah karena negara suka bermain sandiwara. Jadi, bukanlah penyakit profesi. Bukan penyakit karakter guru yang direka-reka. Tetapi sebagai akibat ledakan salah sistem. Negara gagal mengelola. Pemerintah tidak cerdas merawat profesi.

 

Guru Visioner

Konteks hari ini guru adalah insan cendekia semu. Ini bukan semata salah guru. Beragam masalah mengerangkeng guru. Kembali Mochtar Buchory memamerkan tiga sumber menahun tentang kondisi kerja menyedihkan para guru. Pertama, tingkat kesejahteraan rendah. Kedua, sistem manajemen sekolah represif. Ketiga, kurikulum sekolah overload. Dampaknya bahwa kreativitas guru tersita. Produktivitas kerja guru terkebiri. Sertifikasi guru rapuh. Era guru penggerak guru visioner ala Nadiem menjadi redup. Era guru mentor ala Abdul Mu’ti dibangkit-bangkitkan lagi. Inikah sandiwara itu?  

Hari ini sejatinya guru memasuki habitus baru dalam huma kaum insan cendekia. Guru apresiatif yang didambakan setiap saat membawa obor, menyulut jiwa dan raga murid. Kiblat guru apresiatif itu memancarkan nilai kehidupan. Kaum cendekia menyebutnya guru-biofilia. Apakah hari-hari ini masih terbaca sandiwara guru yang berseri berjilid?

Langkah solutifnya, guru apresiatif memilih mendidik. Tidak semata-mata mengajar. Guru merindukan murid. Murid merindukan guru. Guru apresiatif adalah guru-zaman. Guru wajib menggerakkan murid. Membuka dan mengasah mata batin dan kreativitas murid. Guru untuk murid, bukan guru pamer ego. Guru kredibel hari ini adalah guru peka zaman. Menghidupi kebutuhan zaman murid. Tetap menomorsatukan mutu, komitmen, integritas, dan militan terhadap etos profesi, bukan malah larut memainkan sandiwara pembelajaran.

Kapan akan lahir guru yang berkarakter? Kapan akan lahir guru yang mencerahkan murid? Sudahkah zaman ini membenihkan guru-zaman? Inikah garansi guru yang diidamkan program guru mentor? “Menjadi guru untuk murid adalah garansi, bukan sekadar tamsil,” imbuh Mas Guru St Kartono.

Quo vadis etos guru-guru visioner kita? Masih adakah murid-murid yang merindukan guru? Nah, selagi para penggawa pendidikan dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga jajaran kementerian masih memainkan panggung sandiwara, ya, kaum guru pun akan duplikasi bermain sandiwara.

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment