- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Merindukan Sandiwara (Guru) Growth Mindset
Tulisan Kedua dari Tlikan, Sandiwara (Guru) Sekolah
.jpg)
Anton Suparyanta
Suka baca, suka nulis
Baca Lainnya :
- Kepala: Trump dan Indonesia0
- Tentara Kuat, Kopral Bagyo Meninggal Dunia0
- Sandiwara (Guru) Sekolah0
- 6 Destinasi Wisata Dekat Stasiun Pasar Turi, Langsung Jelajah Begitu Turun dari Kereta!0
- Membaca Peran dan Kontribusi MIND ID Perkuat Ketahanan Ekonomi Nasional0
SEBERAPA pantaskah kita merindukan guru
yang growth mindset ketika pola pikir konsumtif justru menggilai brain
rot gawai atau media sosial? Selagi AI generatif dan tawaran agen AI ibarat
setan menggodai setiap detik? Ketika ekosistem pendidikan terkini masih suka
memainkan “panggung sandiwara” nasional?
Data iliterat sejumlah murid SMP di Buleleng, Bali,
menjadi noktah kejut untuk programasi eksklusif guru-mentor ala Prof Abdul
Mu’ti. Program ini bertujuan meningkatkan mutu pendidikan melalui pengembangan
profesionalisme guru (Kemdikdasmen, 2025). Program ini melibatkan seleksi dan
pelatihan guru-guru yang berpotensi menjadi mentor bagi rekan sejawatnya,
dengan fokus pada kompetensi dan sikap yang diperlukan untuk menjadi pendidik
yang efektif. Satu kriteria penting dalam seleksi adalah pola pikir bertumbuh (growth
mindset).
Pola pikir bertumbuh adalah konsep yang mengedepankan
kemampuan untuk terus belajar dan berkembang serta kemampuan untuk menghadapi
tantangan dengan sikap positif. Guru dengan pola pikir bertumbuh percaya bahwa
kemampuan dan kecerdasan dapat ditingkatkan melalui usaha dan pembelajaran yang
berkelanjutan. Mereka tidak takut menghadapi kesulitan dan selalu mencari
peluang untuk meningkatkan diri.
Ini bukan sandiwara jika hingga hari ini guru tetap menjadi
ujung tombak dunia pendidikan nasional. Peran dan peranan guru tetap diacungi
jempol meskipun mutu ajar dan mutu didik guru belum joyfull. Justru
predikat guru menumpuk karena tuntutannya adalah mutu visioner guru.
Apakah profesi (guru) kita latah mengapresiasi kinerja Butet
Manurung (Sokola Rimba), Anies Baswedan (program Indonesia Mengajar), atau
Nadiem Makarim (paket guru merdeka Guru Penggerak), bahkan kini Abdul Mu’ti
(program Guru Mentor)? Bukankah Butet, Anies, Nadiem, pun Abdul adalah sosok
idola “guru bangsa”?
Dalam opini advertorial di sejumlah media, tertoreh garansi
lima kompetensi guru yang mau berkiprah pada Abad XXI ini, yakni 1) mampu
memfasilitasi dan menginspirasi pembelajaran murid; 2) mampu memaksimalkan
seluruh potensi murid baik melalui pembelajaran dalam kelas maupun luar kelas;
3) melek teknologi pembelajaran mutakhir; 4) tidak merasa malu dan malas untuk
terus belajar; dan 5) mampu menstimulasi murid untuk mengantisipasi masa depan.
Ini roh, nyawa, elan vital guru.
Jika guru menyadari roh kompetensi tersebut, generasi murid
mendatang adalah lumbung emas. Abad ke-21 makin mondial, global, digital,
kompleks, dan kompetitif. Lima kompetensi guru tadi menjadi dasar antisipasi
untuk tuntutan empat kecakapan murid Abad XXI (yakni 4C: Critical thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication). Inilah momentum tepat
guru harus merenung, refleksi, hingga sadar berbenah diri. Putarlah haluan guru
untuk murid, bukan guru untuk ego pencitraan, apalagi remeh-temeh guru konten
demi tik tok.
Banyak guru kini bersandiwara, tidak lagi pakem pada profesi
mendidik dan mengajar. Banyak sandiwara pula guru memburu laku demi bayaran.
Apakah ini cacat guru yang menggejolak pada zaman panik kapital? Ataukah cara
pandang setiap individu guru justru memilih permisif terhadap profesi-plus,
bukan guru-plus? Efeknya, para guru menyuguhkan hipokrisi massal. Jika kondisi
ini menggila, guru sekadar nama, menjadi profesi latah dengan barisan tabiat
yang hipokrit. Kebohongan yang dilembagakan bersama. Hidup dalam jejaring
kompulsif.
Nostalgia Guru Medioker
Idealnya, inisiasi guru bermakna apresiatif mendidik. Tidak
semata-mata mengajar atau pamer ilmu kognitif. Hari ini bukan zaman nyinyir
guru sebagai profesi ”pahlawan tanpa tanda jasa”. Ini guru-nekrofil. Kolot. Kebanggaan
seperti ini adalah mumi. Sebatas monumen yang menjebak pemikiran terkubur
secara nekrofilia (Yunani, nekros=mati; philia=persahabatan).
Julukan ini jatuh pada nilai bendawi. Tidak terkecuali,
istilah guru direka cipta (digugu lan ditiru). Nilai keampuhannya
sengaja dibenturkan dengan takaran profesi. Ini pun filosofi klasik yang harus
ditanggalkan. Guru kini adalah guru-zaman (bukan zaman-guru). Artinya, profesi
bisa diviralkan oleh atmosfer zaman. Profesi gampang juga dibunuh oleh kecanggihan
zaman. Seberapa pantas kita mau membandingkan antara guru produk lampau dan
guru kemasan terkini?
Beda mencolok, dulu profesi ”disembah” dengan etos,
komitmen, integritas, militansi sehingga mampu mencetak guru berkarakter, penuh
dedikasi dan berkepribadian. Kabar akhir-akhir ini profesi makin diukur oleh
cuan pragmatis dan konsumtif. Ada nilai guna. Ada nilai tukar. Sindiran
mencuat, sertifikasi guru adalah jatah fulus. Urutan ala arisan.
Inilah jerat karakter-baru untuk guru masa kini. Namun,
perlu dipahami bersama dengan akal sehat bahwa karakter ini berkecambah karena
negara suka bermain sandiwara. Jadi, bukanlah penyakit profesi. Bukan penyakit
karakter guru yang direka-reka. Tetapi sebagai akibat ledakan salah sistem.
Negara gagal mengelola. Pemerintah tidak cerdas merawat profesi.
Guru Visioner
Konteks hari ini guru adalah insan cendekia semu. Ini bukan
semata salah guru. Beragam masalah mengerangkeng guru. Kembali Mochtar Buchory
memamerkan tiga sumber menahun tentang kondisi kerja menyedihkan para guru.
Pertama, tingkat kesejahteraan rendah. Kedua, sistem manajemen sekolah
represif. Ketiga, kurikulum sekolah overload.
Dampaknya bahwa kreativitas guru tersita. Produktivitas kerja guru terkebiri.
Sertifikasi guru rapuh. Era guru penggerak guru visioner ala Nadiem menjadi
redup. Era guru mentor ala Abdul Mu’ti dibangkit-bangkitkan lagi. Inikah
sandiwara itu?
Hari ini sejatinya guru memasuki habitus baru dalam huma
kaum insan cendekia. Guru apresiatif yang didambakan setiap saat membawa obor,
menyulut jiwa dan raga murid. Kiblat guru apresiatif itu memancarkan nilai
kehidupan. Kaum cendekia menyebutnya guru-biofilia.
Apakah hari-hari ini masih terbaca sandiwara guru yang berseri berjilid?
Langkah solutifnya, guru apresiatif memilih mendidik. Tidak
semata-mata mengajar. Guru merindukan murid. Murid merindukan guru. Guru
apresiatif adalah guru-zaman. Guru wajib menggerakkan murid. Membuka dan
mengasah mata batin dan kreativitas murid. Guru untuk murid, bukan guru pamer
ego. Guru kredibel hari ini adalah guru peka zaman. Menghidupi kebutuhan zaman
murid. Tetap menomorsatukan mutu, komitmen, integritas, dan militan terhadap
etos profesi, bukan malah larut memainkan sandiwara pembelajaran.
Kapan akan lahir guru yang berkarakter? Kapan akan lahir
guru yang mencerahkan murid? Sudahkah zaman ini membenihkan guru-zaman? Inikah
garansi guru yang diidamkan program guru mentor? “Menjadi guru untuk murid
adalah garansi, bukan sekadar tamsil,” imbuh Mas Guru St Kartono.
Quo
vadis etos guru-guru visioner kita? Masih adakah murid-murid yang
merindukan guru? Nah, selagi para penggawa pendidikan dari tingkat kabupaten,
provinsi, hingga jajaran kementerian masih memainkan panggung sandiwara, ya,
kaum guru pun akan duplikasi bermain sandiwara.
