- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Sandiwara (Guru) Sekolah
.jpg)
Anton Suparyanta
Suka baca, suka nulis
Baca Lainnya :
- 6 Destinasi Wisata Dekat Stasiun Pasar Turi, Langsung Jelajah Begitu Turun dari Kereta!0
- Membaca Peran dan Kontribusi MIND ID Perkuat Ketahanan Ekonomi Nasional0
- Menakar Transformasi Teknologi, Mengakselerasi Penerapan Good Governance di PT ASDP 0
- BPA Institute Gelar Bincang Arsitektur Jenius Lokal Omah Tanah di Pesisir Pantai Loji Pelabuhan Ratu0
- Prof Ariawan Gunadi Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Asean University International Malaysia0
SANDIWARA. Yach, sandiwara
makin dihidupkan kembali. Bahkan, candu sandiwara. Inilah yang kini diderita
jagat persekolahan, perkelasan, pendidikan, perguruan, dan permuridan. Sekolah
bermain sandiwara manakala candu telah gagal menjadi para pemainnya.
Fenomena literasi untuk murid iliterat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di Buleleng, Bali, babak bundas. Teridentifikasi 155
murid sama sekali tidak bisa membaca. Ada 208 murid tidak lancar membaca.
Terakumulasi 363 murid Buleleng terkendala cakap baca (Disdikpora.bulelengkab.go.id,
2025). Dipertegas pendampingan belajar membaca dan menulis oleh relawan
Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja kepada
murid SMP di Buleleng, dicatat 43,1 persen murid dikategorikan di level dasar
atau belum hafal abjad (Beritabali.com, 2025).
Apa yang terbaca? Kecakapan guru untuk mendidik, mengajar,
mendampingi, dan mengasuh para murid, babak bundas. Buleleng yang diinisiasi
“Kota Pendidikan” bobol. “Kalau disebut sekarang kurang guru, zaman kita dulu
juga kekurangan guru. Tapi tidak ada yang tidak bisa baca tulis sampai di
tingkat SMP karena tanggung jawab guru kepada anak didiknya tinggi,” tegas
politikus Buleleng Dewa Nyoman Sukrawan (Mediaindonesia.com, 2025).
Tidak sedikit argumen yang melatarbelakangi fenomena janggal ini, manakala
Mendikdasmen RI, Prof. Abdul Mu’ti, menggagas program guru mentor (Naskah
Akademik, Pembelajaran Mendalam Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua
(Kemdikdasmen, 2025).
Aneh, tapi nyata "Karena ada anak-anak yang lancar
baca, tapi disuruh nulis, dia tidak bisa. Waktu saya sodorkan handphone untuk
mengetik, lancar sekali. Berarti ada budaya menulis yang hilang di kalangan
anak muda," ungkap Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Dewa
Sedana (denpasar.kompas.com, 2025).
Mari Bercermin
Coba kita ingat-ingat seruan ini “Siapkan diri Anda dan
siapkan guru-guru terbaik di sekolah Anda untuk bergabung menjadi guru
penggerak. Guru adalah kunci sukses pendidikan Indonesia,” kata Nadiem Makarim
saat meluncurkan program Merdeka Belajar Episode 5 era silam. Awalnya 10.000
sekolah penggerak di tanah air segera dikebut. Setidaknya 10.000 guru penggerak
pun tercatut. Sudahkah Anda andil gerak?
Program guru mentor Abdul Mu’ti sedang promosi, justru
ditampar fenomena iliterat Buleleng. Ini momen krusial untuk pembenahan profesi
guru. Era silam saya teringat program guru penggerak melecut nyali ketika guru
kehilangan passion. Kenapa? Guru
tergerus.
Guru abai terhadap nyali untuk membangun dan membangunkan
minat, hobi, ataupun empati edukatif. Guru murni menjadi kendaraan ilmu. Murid
sebatas tumpangan. Satirenya, 1001 guru bersama murid tidak berjibaku membuka
moda minat, hobi, dan portofolio. Ke mana gerak visioner guru?
Periode silam saya unjuk jago dan babon di antaranya Mas
Guru St Kartono, J Sumardianta, R Arifin Nugroho (Yogyakarta) adalah jago-jago
guru merdeka. Nick Saragih (Jakarta), Supadilah (Banten), Bambang Kariyawan dan
Riki Utomi (Riau), Budi Wahyono (Semarang), Ary Yulistiana dan Wagimin (Solo),
Resmiyati (Klaten), Sidik Nugroho (Pontianak), serta Marzuki Wardi (Mataram)
adalah tipikal guru petarung yang laik diunggah, guru berjenama, guru
bersahabat melek media. Guru komplet melek literasi. Dus, idola guru trendi. Ujungnya, logika visioner adalah huma guru
zaman digital.
Kiwari adakah barisan guru mentor yang digalakkan Prof.
Abdul Mu’ti?
Guru Cura Personalis
Tamsil hidupnya, guru untuk murid! Menjadi guru untuk murid.
Saya teringat kitab lawas Sekolah Cinta,
Menjadi Pemimpin dan Guru Hebat (2016). Kitab ini menggaransi praksis
edukatif di sekolah Athirah, baik Athirah Bone, Athirah Bukit Baroga, ataupun
Athirah Kajaolaliddo. Sayang jika kitab ini terlewatkan. Bukan karena semata
prolog Jusuf Kalla dan Anies Baswedan ataupun endorsement sastrawan gaek Taufiq Ismail, Helvy Tiana Rosa, dan
Asma Nadia yang menyelimuti kitab ini. Akan tetapi, gereget atau passion di dalamnya yang bikin
mentereng.
Keteladanan adalah komitmen. Kepala sekolah dan guru
melayani dan mengasuh murid dengan pendekatan cinta. Konkretnya, murid
dihargai, didengar, disenangbahagiakan, dan dipentingkan. Harga diri
ditumbuhkan. Dari sinilah perubahan dan keteladanan dimulai. Inilah jatmika passion!
Paul Suparno, SJ (2020)
menuliskan cura personalis
(Latin) berarti perhatian secara pribadi. Cura
berarti perhatian. Personalis berarti
pribadi. Dalam dunia pendidikan, cura
personalis lebih dimaknai bahwa setiap peserta didik diolah atau diemong
secara pribadi yang unik dan khusus. Peserta didik tidak dijadikan objek atau
robot, tetapi diselami sebagai pribadi manusia yang harus diperhatikan.
Peserta didik bukanlah robot atau siborg yang
diperlakukan persis sama, tetapi cetaklah menjadi pribadi unik dengan segala
persoalan dan kemajuannya dan perlu diperhatikan khusus dengan kekhasan dan
keadaannya. Cura personalis berarti
guru memperhatikan dan menaruh perhatian secara pribadi kepada setiap peserta
didik.
Opini tentang guru sebagai penentu keberhasilan anak adalah
juknis. Tamsil guru ideal masih menjebak diri pada zaman-guru. Zaman tenar
untuk kategori guru populis. Guru semata mencari legenda. Karena tuntutan zaman
pula, zaman-guru yang populis itu kini jadi candaan “sandiwara-guru,
guru-sandiwara, bohong dan palsu”, kontraproduktif. Inilah cermin retak guru
ideal yang selalu disohorkan.
Zaman berubah drastis. Digitalisasi adalah biangnya.
Solutifnya, zaman ini perlu pionir yang disruptif untuk mengisi kekosongan
guru-zaman. Kini nihil guru-zaman. Guru yang melek kebutuhan adab literasi.
Guru yang punya cermin baru untuk memprediksi kiprah pendidikan masa depan.
Sekolah Cinta Athirah adalah anak kuncinya. Apa kabar hari ini sekolah ini?
Kitab lawas tentang sekolah cinta tersebut menjadi satire
dahsyat tentang krisis keteladanan guru sebagai pendidik. Sekolah Athirah
membuktikannya, jaya pada zamannya, keluar dari manajemen zona nyaman. Kitab
ini membujuk intelek yang terdidik untuk menjadi pemimpin dan guru hebat.
Ada empat kayuh Edi Sutarto (Direktur Sekolah Athirah pada eranya) yang membuat gemas kaum guru, yakni 1) mengelola sekolah menjadi sekolah cinta; 2) upaya kepala sekolah menjadi pemimpin cinta; 3) upaya pendidik menjadi guru cinta; dan 4) menumbuhkan karakter positif kepada siswa. Mari berbenah manakala sekolah kini menjadi ajang sandiwara. Sandiwara sekolah manakala akal imitasi (AI) berjaya.
