Sandiwara (Guru) Sekolah

By PorosBumi 20 Jul 2025, 06:40:50 WIB Tilikan
Sandiwara (Guru) Sekolah

Anton Suparyanta

Suka baca, suka nulis

 

Baca Lainnya :

SANDIWARA. Yach, sandiwara makin dihidupkan kembali. Bahkan, candu sandiwara. Inilah yang kini diderita jagat persekolahan, perkelasan, pendidikan, perguruan, dan permuridan. Sekolah bermain sandiwara manakala candu telah gagal menjadi para pemainnya.

Fenomena literasi untuk murid iliterat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Buleleng, Bali, babak bundas. Teridentifikasi 155 murid sama sekali tidak bisa membaca. Ada 208 murid tidak lancar membaca. Terakumulasi 363 murid Buleleng terkendala cakap baca (Disdikpora.bulelengkab.go.id, 2025). Dipertegas pendampingan belajar membaca dan menulis oleh relawan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja kepada murid SMP di Buleleng, dicatat 43,1 persen murid dikategorikan di level dasar atau belum hafal abjad (Beritabali.com, 2025).

Apa yang terbaca? Kecakapan guru untuk mendidik, mengajar, mendampingi, dan mengasuh para murid, babak bundas. Buleleng yang diinisiasi “Kota Pendidikan” bobol. “Kalau disebut sekarang kurang guru, zaman kita dulu juga kekurangan guru. Tapi tidak ada yang tidak bisa baca tulis sampai di tingkat SMP karena tanggung jawab guru kepada anak didiknya tinggi,” tegas politikus Buleleng Dewa Nyoman Sukrawan (Mediaindonesia.com, 2025). Tidak sedikit argumen yang melatarbelakangi fenomena janggal ini, manakala Mendikdasmen RI, Prof. Abdul Mu’ti, menggagas program guru mentor (Naskah Akademik, Pembelajaran Mendalam Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua (Kemdikdasmen, 2025).

Aneh, tapi nyata "Karena ada anak-anak yang lancar baca, tapi disuruh nulis, dia tidak bisa. Waktu saya sodorkan handphone untuk mengetik, lancar sekali. Berarti ada budaya menulis yang hilang di kalangan anak muda," ungkap Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Dewa Sedana (denpasar.kompas.com, 2025).

 

Mari Bercermin

Coba kita ingat-ingat seruan ini “Siapkan diri Anda dan siapkan guru-guru terbaik di sekolah Anda untuk bergabung menjadi guru penggerak. Guru adalah kunci sukses pendidikan Indonesia,” kata Nadiem Makarim saat meluncurkan program Merdeka Belajar Episode 5 era silam. Awalnya 10.000 sekolah penggerak di tanah air segera dikebut. Setidaknya 10.000 guru penggerak pun tercatut. Sudahkah Anda andil gerak?

Program guru mentor Abdul Mu’ti sedang promosi, justru ditampar fenomena iliterat Buleleng. Ini momen krusial untuk pembenahan profesi guru. Era silam saya teringat program guru penggerak melecut nyali ketika guru kehilangan passion. Kenapa? Guru tergerus.

Guru abai terhadap nyali untuk membangun dan membangunkan minat, hobi, ataupun empati edukatif. Guru murni menjadi kendaraan ilmu. Murid sebatas tumpangan. Satirenya, 1001 guru bersama murid tidak berjibaku membuka moda minat, hobi, dan portofolio. Ke mana gerak visioner guru?

Periode silam saya unjuk jago dan babon di antaranya Mas Guru St Kartono, J Sumardianta, R Arifin Nugroho (Yogyakarta) adalah jago-jago guru merdeka. Nick Saragih (Jakarta), Supadilah (Banten), Bambang Kariyawan dan Riki Utomi (Riau), Budi Wahyono (Semarang), Ary Yulistiana dan Wagimin (Solo), Resmiyati (Klaten), Sidik Nugroho (Pontianak), serta Marzuki Wardi (Mataram) adalah tipikal guru petarung yang laik diunggah, guru berjenama, guru bersahabat melek media. Guru komplet melek literasi. Dus, idola guru trendi. Ujungnya, logika visioner adalah huma guru zaman digital.

Kiwari adakah barisan guru mentor yang digalakkan Prof. Abdul Mu’ti?

 

Guru Cura Personalis

Tamsil hidupnya, guru untuk murid! Menjadi guru untuk murid. Saya teringat kitab lawas Sekolah Cinta, Menjadi Pemimpin dan Guru Hebat (2016). Kitab ini menggaransi praksis edukatif di sekolah Athirah, baik Athirah Bone, Athirah Bukit Baroga, ataupun Athirah Kajaolaliddo. Sayang jika kitab ini terlewatkan. Bukan karena semata prolog Jusuf Kalla dan Anies Baswedan ataupun endorsement sastrawan gaek Taufiq Ismail, Helvy Tiana Rosa, dan Asma Nadia yang menyelimuti kitab ini. Akan tetapi, gereget atau passion di dalamnya yang bikin mentereng.

Keteladanan adalah komitmen. Kepala sekolah dan guru melayani dan mengasuh murid dengan pendekatan cinta. Konkretnya, murid dihargai, didengar, disenangbahagiakan, dan dipentingkan. Harga diri ditumbuhkan. Dari sinilah perubahan dan keteladanan dimulai. Inilah jatmika passion!

Paul Suparno, SJ (2020) menuliskan cura personalis (Latin) berarti perhatian secara pribadi. Cura berarti perhatian. Personalis berarti pribadi. Dalam dunia pendidikan, cura personalis lebih dimaknai bahwa setiap peserta didik diolah atau diemong secara pribadi yang unik dan khusus. Peserta didik tidak dijadikan objek atau robot, tetapi diselami sebagai pribadi manusia yang harus diperhatikan.

Peserta didik bukanlah robot atau siborg yang diperlakukan persis sama, tetapi cetaklah menjadi pribadi unik dengan segala persoalan dan kemajuannya dan perlu diperhatikan khusus dengan kekhasan dan keadaannya. Cura personalis berarti guru memperhatikan dan menaruh perhatian secara pribadi kepada setiap peserta didik.

Opini tentang guru sebagai penentu keberhasilan anak adalah juknis. Tamsil guru ideal masih menjebak diri pada zaman-guru. Zaman tenar untuk kategori guru populis. Guru semata mencari legenda. Karena tuntutan zaman pula, zaman-guru yang populis itu kini jadi candaan “sandiwara-guru, guru-sandiwara, bohong dan palsu”, kontraproduktif. Inilah cermin retak guru ideal yang selalu disohorkan.

Zaman berubah drastis. Digitalisasi adalah biangnya. Solutifnya, zaman ini perlu pionir yang disruptif untuk mengisi kekosongan guru-zaman. Kini nihil guru-zaman. Guru yang melek kebutuhan adab literasi. Guru yang punya cermin baru untuk memprediksi kiprah pendidikan masa depan. Sekolah Cinta Athirah adalah anak kuncinya. Apa kabar hari ini sekolah ini?

Kitab lawas tentang sekolah cinta tersebut menjadi satire dahsyat tentang krisis keteladanan guru sebagai pendidik. Sekolah Athirah membuktikannya, jaya pada zamannya, keluar dari manajemen zona nyaman. Kitab ini membujuk intelek yang terdidik untuk menjadi pemimpin dan guru hebat.

Ada empat kayuh Edi Sutarto (Direktur Sekolah Athirah pada eranya) yang membuat gemas kaum guru, yakni 1) mengelola sekolah menjadi sekolah cinta; 2) upaya kepala sekolah menjadi pemimpin cinta; 3) upaya pendidik menjadi guru cinta; dan 4) menumbuhkan karakter positif kepada siswa. Mari berbenah manakala sekolah kini menjadi ajang sandiwara. Sandiwara sekolah manakala akal imitasi (AI) berjaya.

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment