Kepala: Trump dan Indonesia

By PorosBumi 22 Jul 2025, 07:43:27 WIB Tilikan
Kepala: Trump dan Indonesia

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

DI Iran, tersiar kabar menantang. Seorang ulama menawarkan duit belasan miliar rupiah. Duit imbalan untuk orang berani membunuh Donald Trump. Bukti kematian Trump: kepala dibawa ke Iran. Permusuhan belum selesai. Kematian penguasa Amerika Serikat itu dikehendaki agar dunia tak makin kisruh.

Trump bukan manusia “biasa”. Ia suka omong dan pamer kekuasaan. Orang-orang tergiur duit miliaran rupiah atau bermisi menata ulang politik dunia wajib memikirkan jurus paling ampuh. Usaha mendapatkan kepala Trump tak seperti permainan dalam gawai. Trump memiliki tentara, senjata, dan teknologi untuk menghindari orang-orang bermaksud membunuh dan mendapatkan kepala untuk dibawa ke Iran.

Kita membaca kabar itu mirip lelucon pahit. Trump telah membuat dunia amburadul. Iran tak gentar. Bermusuhan dengan Amerika Serikat itu kepastian untuk raihan kemenangan. Kita di Indonesia menunduk malu gara-gara mengetahui ketangguhan Iran berhadapan dengan Israel dan Amerika Serikat. Indonesia sedang pusing dan ruwet, belum ada gelagat ikut meramaikan gegeran dunia. Indonesia malah dikutuk debat-debat tiada henti.

Sekian bulan lalu, debat besar di Indonesia bertema kepala. Debat itu berlalu tergantikan debat-debat makin membuat jutaan orang pusing. Hidup di Indonesia, hidup dengan seribu perdebatan untuk urusan-urusan sepele dan genting. Hari-hari riuh kata. Orang-orang bernafsu dalam tuduhan, bantahan, makian, pujian, dan lain-lain. Debat-debat di Indonesia sulit menjadi bukti kematangan berdemokrasi. Kita mulai mengerti gelaran debat-debat di pelbagai tempat justru menjadi selebrasi kemustahilan berdemokrasi.

Di buku Neksus (2025) garapan Noah, kita diajak memasalahkan informasi-informasi diproduksi dalam kelimpahan dan bersebaran ke segala arah Di situ, ada pihak-pihak sempat mengukuhkan kebenaran. Di seberang, orang-orang insaf terjadi jalinan-jalinan mengejutkan dalam ikhtiar mengerti beragam perkara: politik, agama, hiburan, makanan, dan lain-lain. Petaka-petaka dipicu bah informasi menimbulkan retak, sesat, runtuh, ilusif, kacau, buram, dan renggang. Pengharapan atas kebaikan, kebenaran, ketulusan, atau keadilan tampak menciut.

Seribu peringatan atas keterpurukan hidup dalam abad XXI jarang mendapat perhatian. Kemunculan rombongan tanda seru justru dipandang dengan kelakar. Kita memastikan debat-debat tak keruan di Indonesia memang bertumpu jalinan dan edaran informasi-informasi untuk adu kemenangan. Kebohongan dan hasutan menambahi bobot keruwetan debat. Peningkatan jumlah omelan atau bantahan memungkinkan peminggiran kebenaran. Kita telanjur mengalami hari-hari ramai debat berakibat lupa puisi.

Kita membaca “Puisi Kubangan” gubahan Emha Ainun Nadjib (1994) saat masih muda. Ia berpuisi dalam lakon Orde Baru. Indonesia lelah oleh seribu perintah Soeharto. Indonesia tersandung janji. Indonesia dipaksa putus asa. Emha mengerti dan mengamati untuk mengingatkan:

Engkau menikmati jari-jemarimu memainkan seribu/ wayang, engkau gerakan ke kiri dan ke kanan, engkau/ gebug dan lemparkan, tanpa hari-hari menjelang ajal bisa/ menghentikanmu. Engkau menyangka sedang berpesta/ kekuasaan, kepandaian dan harta, sedangkan yang/ engkau lakukan sebenarnya adalah membuang habis/ jatah hari depanmu sendiri di dalam kehidupan yang/ sesungguhnya. Kita membaca lari-larik itu sambil mengenang masa kekuasaan Soeharto.

Kini, Emha mungkin tak lagi menggubah puisi dengan kekuatan seperti silam. Ia menua dan raga tak lagi kokoh. Cara berbahasa berubah meski ia mengerti Indonesia makin sulit bermimpi indah. Di “Puisi Seadanya Mengenai Kepala”, Emha (1994) suguhkan humor menggelap kepada para pembaca: Jangan salah sangka. Ia takut bukan karena khawatir akan/ kehilangan kepala, melainkan justru ia sangat/ mendambakan betapa bahagianya kalau pada suatu hari ia/ kehilangan kepala.

Ia melakukan kritik telak atas keinginan menjadi Indonesia. Kepala bukan jaminan waras. Indonesia memiliki kepala negara tapi nasib jutaan orang berada di kaki. Orang-orang diminta belajar agar berkepala pintar tapi Indonesia dijerat kebodohan dan kebebalan. Kepala tak lagi mengisahkan kehormatan. Di Indonesia, kepala-kepala menjadi kepongahan dan kehancuran.

Emha berkelakar ingin kehilangan kepala. Ia tak sedang meremehkan atau memaki orang lain. Emha merenungi keinginan kehilangan kepala: Tuhan/ sendiri sepertinya terlalu bersabar dan menyimpan teka-teki ini,/ bahkan sesekali ia merasakan Tuhan seakan-akan bersikap/ ogah-ogahan terhadap masalah ini.

Permintaan aneh menantikan tanggapan Tuhan. Emha terlalu berani memasalahkan kepala: Apa jawab/ penyair kita ini seandainya Tuhan mengucapkan/ argumentasi begini: “Bagaimana mungkin kuganti/ kepalamu, sedangkan kepala-kepala lain di tangan-Ku belum/ punya pengalaman sama sekali untuk bertindak sebagai/ kepala? Bukankah untuk menjadi kepala, segumpal kepala/ harus memiliki pengalaman sebagai kepala/ sekurang-kurangnnya lima tahun?”

Dulu, orang-orang membaca puisi gubahan Emha sebagai keberanian dan kurang ajar. Kini, kita tergoda lagi mengutip dan membahas saat lakon kekuasaan terbaru sempat dimulai dengan debat tentang kepala terucap dalam bahasa Jawa.

Kita bisa menafsir kepala itu berada di atas. Kepala menjadi pihak tertinggi. Emha justru merasa lelah dan kecewa dengan kepala. Puisi itu terbaca saat kita memiliki halaman-halaman sejarah politik sangat ditentukan oleh kepala (negara) atau kepala (pemerintahan). Lakon bertajuk demokrasi memang menempatkan seseorang di derajat tinggi dengan sebutan kepala. Konon, sosok sebagai “kepala” haru memiliki kebijaksanaan agar kekuasaan itu baik, indah, dan adil.

Emha Ainun Nadjib terbiasa menulis puisi mengenai kepala. Kita bisa membaca lagi sambil mengikuti dampak kabar dari Iran. Kita berimajinasi kepala Trump. Kepala itu berpengaruh di dunia meski kita menganggap mustahil untuk keberhasilan pembunuhan Trump.

Kita membaca saja “Syair Seonggok Kepala” gubahan Emha Ainun Nadjib (1983). Puisi tak ada kaitan dengan demokratisasi di Indonesia dan impian atas kematian Trump. Enam larik menghasilkan renungan ringan: Di depan pintu rumahku, pagi itu/ Tergeletak seonggok kepala// Orang-orang berkerumun/ Dan tersenyum-senyum// Berbinar-binar cahaya mata mereka/ Beberapa orang membayangkan bermain bola.

Trump berkuasa di Amerika Serikat. Di sana, pertandingan-pertandingan sepak bola digelar di pelbagai stadion. Ribuan orang menonton bola menggelinding atau terbang. Bola itu bola. Bola bukan kepala (Trump). Di Stadion MetLife, Amerika Serikat, 14 Juli 2025, Trump menjadi penonton.

Konon, Trump mendapat sorakan dan siulan mengandung ejekan. Penguasa itu menjadi saksi PSG dihajar Chelsea. Ia jeda sejenak dari kesibukan membikin onar di dunia. Puisi lawas gubahan Emha Ainun Nadjib itu tak berkaitan dengan Trump, meski kita bisa membaca dan merenungkan pemandangan seonggok kepala tergeletak di depan pintu. Kepala itu kekuasaan. Kepala pun bukti kalah dan tamat. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment