Listrik di Beranda NKRI: Energi Berkeadilan yang Menghidupkan Desa dan Harapan

By PorosBumi 05 Okt 2025, 19:40:11 WIB Tilikan
Listrik di Beranda NKRI: Energi Berkeadilan yang Menghidupkan Desa dan Harapan

Keterangan Gambar : Program listrik di wilayah 3T bukan hanya menerangi tetapi juga menghidupkan desa dan harapan. (dok PLN)


Wahyono, jurnalis porosbumi

Mengusung visi besar menuju Indonesia berdaulat energi, pemerintah menempatkan listrik sebagai pondasi utama mewujudkan energi berkeadilan. Untuk mencapai goal (tujuan) tersebut pemerintah saat ini telah mengeluarkan sejumlah jurus untuk meneguhkan ikhtiar dan komitmen terkait kedaultan energi. Ikhtiar itu di antaranya, dengan mematok target rasio elektrifikasi 100 persen melalui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, kemudian meluncurkan Program Listrik Desa (Lisdes) 2025-2029 yang menyasar 5.758 desa dan 1,2 juta rumah tangga di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Sekadar diketahui, wilayah 3T mencakup daerah-daerah yang selama ini menjadi fokus pembangunan agar tidak tertinggal akibat keterbatasan akses energi.

Jika dibaca lebih lengkap, inisiatif pemerintah di wilayah 3 T ini bukan hanya soal menyulut lampu, melainkan bagaimana menguatkan fondasi bagi keadilan energi yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendidikan, dan peningkatan layanan kesehatan di wilayah yang acap disebut sebagai wilayah beranda atau teras NKRI ini. Apakah saat ini fondasi keadilan dan kedaulatan energi di wilayah 3 T sudah tercapai? Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 99,83 persen pada akhir 2024. Tapi di sisi lain masih ada disparitas atau kesenjangan akses energi yang dialami 1,28 juta rumah tangga tanpa akses listrik, sebagian besar di wilayah 3T.

Baca Lainnya :

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi listrik per kapita Indonesia mencapai 1.337 kWh pada 2024, tertinggi dalam lima tahun terakhir, dengan target 1.464 kWh untuk 2025. Namun, di wilayah 3T seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Maluku, rasio elektrifikasi masih tertinggal di bawah 95 persen, menghambat pembangunan berkelanjutan. Artikel kali ini akan fokus untuk membahas narasi besar bagaimana mewujudkan listrik sebagai energi berkeadilan yang memperkuat fondasi Indonesia di bidang ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan khususnya di wilayah 3T.

 Menyambungkan Konsep Kedaulatan Energi dengan Wilayah 3T

Secara konseptual "Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat" telah menjadi mantra pemerintahan sejak era Presiden Joko Widodo, yang menargetkan swasembada energi melalui diversifikasi Enegeri Baru dan Terbarukan (EBT) hingga 23 persen pada 2025, naik dari 12,3 persen pada 2023. Di sisi lain dalam konteks global, Indonesia menghadapi tekanan transisi energi pasca-Konferensi Perubahan Iklim COP29, di mana komitmen net-zero emission 2060 memerlukan investasi USD7 miliar untuk dekarbonisasi energi dan transportasi hingga 2030. Di tengah target swasembada energi dan juga komitmen transisi energi secara global tersebut, bangsa ini juga dihadapkan pada realitas masih banyaknya wilayah 3T yang belum menikmati listrik. Wilayah 3T, yang mencakup sekitar 15 persen dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, menjadi ujian utama kedaulatan energi pemerintah.

Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), per Mei 2025, terdapat 3.264 desa tanpa aliran listrik, di mana daerah itu mayoritas tergolong 3T, yang berdampak langsung pada 1,6 juta penduduk. Ketimpangan ini tidak hanya soal cahaya, tapi juga akses terhadap layanan dasar seperti ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan. Padahal ketersediaan listrik bagi masyarakat bukan hanya kebutuhkan dasar yang harus dipenuhi tetapi juga memiliki dampak berantai yang cukup positif. Mengutip laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) 2025 misalnya disebutkan bahwa akses listrik di 3T dapat meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga 2-3 persen per tahun melalui peningkatan produktivitas UMKM.

Sejauh ini pemerintah sudah meluncurkan Program Listrik Masuk Desa (Lides) sebagai salah salah satu terobosan solusi untuk mengatasi kesenjangan akses listrik di wilayah 3 T. Program Lisdes dengan anggaran Rp15 triliun dari APBN dan swasta, memprioritaskan EBT seperti energi surya dan mikro-hidro untuk mengatasi tantangan geografis. Perlahan namun pasti program ini sudah memberi dampak nyata di lapangan. Di NTT, misalnya, Program Sumba Iconic Island (SII) sejak 2010 telah mendorong rasio elektrifikasi dari 59,85 persen pada 2017 menjadi 95 persen pada 2023, dengan 88 persen terhubung ke PLN dan 7 persen dari sumber non-PLN. SII juga telah menciptakan 5.000 lapangan kerja baru pada 2023-2025 melalui instalasi panel surya dan bioenergi, dengan kontribusi EBT mencapai 14 persen terhadap PDRB provinsi. Capaian ini telah berada dalam jalur yang benar sebagai bagian dalam mewujudkan target nasional RUPTL dengan kapasitas terpasang 105 GW pada semester I 2025, naik 4,4 GW dari sebelumnya.

 Listrik Mengakselerasi Ekonomi Wilayah 3 T

Data dan fakta di lapangan membuktikan bahwa akses listrik menjadi katalisator utama pertumbuhan ekonomi di wilayah 3T. Di wilayah yang dikenal sebagai beranda nusantara ini, listrik berkontribusi terhadap PDRB per kapita rata-rata sebesar Rp20-30 juta per tahun. Meski jumlah ini masih jauh di bawah PDRB nasional sebesar Rp70 juta namun keberadaan aliran listrik di wilayah 3T bisa dikatakan tetap menjadi pilar utama tumbuhnya perekonomian. Studi dari Jurnal Inovasi Research and Knowledge (JIRK) 2025 menemukan bahwa ketimpangan listrik berdampak negatif hingga 1,5 persen terhadap PDRB di daerah tertinggal, sementara peningkatan akses listrik dapat mendorong pertumbuhan 2,5 persen melalui sektor pertanian dan UMKM.

Data BPS menunjukkan bahwa desa berlistrik di berbagai wilayah 3T mengalami peningkatan pendapatan rumah tangga hingga 20 persen, terutama dari usaha mikro seperti pengolahan hasil laut di Maluku. Di Papua, target elektrifikasi 100 persen pada 2030 diharapkan menaikkan PDRB sektor pertambangan dan perikanan sebesar 15 persen, karena listrik mendukung operasional alat berat dan pendingin ikan. Secara nasional, konsumsi listrik rumah tangga di wilayah 3T hanya 300-500 kWh per kapita per tahun, dibandingkan 1.200 kWh di Jawa, yang menghambat industrialisasi.

Program Lisdes menargetkan 1,2 juta sambungan baru, yang diproyeksikan menyerap 100.000 pekerja di sektor EBT hingga 2029. Dampak listrik bukan hanya dirasakan warga yang berprofesi sebagai pekerja, buruh atau petani tetapi juga para nelayan. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, PLTS di Wakatobi telah meningkatkan produktivitas nelayan hingga 30 persen dengan pencahayaan malam hari. Namun, tantangan seperti biaya distribusi tinggi (Rp 50.000 per kWh di 3T vs Rp 1.000 di Jawa) memerlukan subsidi Rp5 triliun tahunan. Merujuk riset IESR 2025 menyebutkan  bahwa transisi EBT di 3T bukan hanya lingkungan, tapi juga ekonomi. Di wilayah Sumatera Selatan misalnya, campuran EBT 24 persen pada 2023 telah mendiversifikasi ekonomi dari batu bara, dengan 989 MW kapasitas terpasang mendukung agroindustri. Proyeksi 2025: PDRB 3T naik 3 persen jika elektrifikasi mencapai 98 persen

 Menyalakan Spirit Api Pendidikan Lewat Listrik

Mengutip data goodstants.id, akses listrik di wilayah 3T menjadi kunci mutu pendidikan, di mana 70-80 persen sekolah dasar dan menengah telah terhubung listrik pada 2025, naik dari 60 persen pada 2020. Meski demikian, data Kemendikbudristek mencatat  bahwa 5.783 sekolah di 3T masih mengalami kendala listrik, menyebabkan tingkat putus sekolah mencapai 15 persen, dua kali lipat nasional (7 persen). Membaca data tersebut menjadi bukti bahwa keberadaan listrik memang tak bisa dipandang sebelah mata bagi dunia pendidikan. Pakar Pendidikan Universitas Indonesia (UI), Dr. Ari Rockingham dalam sebuah survei Juni 2025 menyatakan bahwa "akses listrik dan gizi adalah kunci mutu pendidikan di daerah tertinggal, karena memungkinkan pembelajaran malam dan akses digital." Di NTT, SII telah menurunkan angka putus sekolah 10 persen sejak 2023, dengan sekolah di Sumba kini memiliki listrik 24 jam untuk kelas online.  Senada dengan data tersebut, BPS juga melaporkan bahwa desa berlistrik meningkatkan angka partisipasi sekolah 12 persen, terutama di Maluku di mana 3.000 desa tanpa listrik sebelumnya menghambat 20 persen anak usia sekolah.

Selain Lisdes, ikhitiar lain yang digulirkan pemerintah untuk mencari solusi pemerataan akses listrik di wilayah 3T adalah meluncurkan Program SuperSUN PLN. Pada 2025, program ini menyediakan listrik surya untuk 500 sekolah dan diproyeksikan bisa meningkatkan nilai Ujian Nasional sebesar 15 persen. Di ujung timur khususnya di wilayah Papua, elektrifikasi sekolah telah mengurangi kesenjangan digital, dengan 40 persen siswa kini bisa mengakses e-learning. Namun, survei Lembaga Masyarakat Indonesia Inklusif (LMII) Agustus 2025 menemukan bahwa 30 persen sekolah 3T masih bergantung genset diesel yang tidak stabil. Kondisi ini menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah untuk diperhatikan.Secara keseluruhan, investasi listrik untuk meningkatkan mutu pendidikan di wilayah 3T bernilai Rp2 triliun yang berasal dari DAK Fisik 2025. Upaya mengenjot mutu pendidikan melalui akses listrik ini diharapkan bisa menaikkan indeks pembangunan manusia (IPM), khususnya provinsi seperti NTT dari 68 menjadi 72 pada 2026.

Listrik Mendobrak Akses Kesehatan Terbuka

Bukan hanya bidang ekonomi dan pendidikan saja yang sangat dipengaruhi akses listrik di tengah masyarakat. Ketimpangan listrik di 3T berdampak juga bisa berdampak fatal pada kesehatan. Mengutip penelitian dalam bajangjournal.com menyebutkan bahwa fasilitas kesehatan tanpa listrik menyebabkan 20 persen kegagalan vaksinasi dan peningkatan mortalitas infantil 5 persen. Data Kementerian Kesehatan 2025 juga menunjukkan bahwa 40 persen puskesmas di 3T kekurangan listrik stabil, menghambat operasi peralatan medis. Berangkat dari kondisi itulah, pembangunan infrastruktur kelistrikan di wilayah 3T juga wajib memperhatkan bidang kesehatan.

Tanpa akses listrik yang memadai mustahil akan tercipta akses kesehatan yang baik bagi warga. Hal ini sudah dibuktikan di NTT misalnya dimana SII telah meningkatkan akses layanan kesehatan 25 persen melalui pendingin vaksin dan pencahayaan operasi, menurunkan angka kematian ibu 12 persen pada 2023-2025. Lain di NTT, lain juga di Aceh. Di wilayah berjuluk Serambi Mekkah ini, program Desa Energi Berdikari menyediakan PLTS 4,91 Wp per rumah tangga, mendukung 17 Wh/hari untuk peralatan medis dasar di Pulo Aceh. Sementara di Wakatobi di Sulawesi Tenggara, listrik PLN telah memungkinkan telemedicine, menjangkau 5.000 pasien terpencil.Menurut catatan BPS, rumah tangga 3T yang teraliri listrik mengalami penurunan penyakit pernapasan hingga 15 persen. Akses fasilitas kesehatan juga mengalami hal positif dengan kehadiran listrik. Program Lisdes misalnya, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3 triliun yang diperuntukkan untuk 1.000 puskesmas pada 2025 ditargetkan mengurangi disparitas kesehatan hingga 10 persen.

 Epilog: Keadilan Energi Masih Menyisakan Tantangan

Mewujudkan listrik sebagai energi berkeadilan dan berdaulat tidak dapat dilakukan secara mandiri oleh pemerintah saja. Selain itu tembok besar berupa tantangan juga masih menunggu visi besar kedaulatan dan keadilan energi. Berkat program Lisdes dan RUPTL, Indonesia diproyeksikan mencapai 100 persen elektrifikasi pada 2029, mendorong IPM nasional naik 5 poin. Di 3T, EBT seperti PLTS atap di kota tertinggal akan ciptakan 50.000 pekerjaan hijau hingga 2030. Meski progresif, elektrifikasi di wilayah 3T juga menghadapi banyak hambatan antara lain berupa biaya tinggi, cuaca ekstrem, dan kapasitas teknis lokal. Laporan ESDM 2024 menyebut kendala distribusi di 3T sebagai "hambatan utama", dengan 3.000 desa masih off-grid.

Dengan kerja sama pemangku kepentingan, teknologi canggih, dan pendekatan partisipatif, Indonesia terus melangkah memperkuat dasar energi berdaulat yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Listrik sebagai energi berkeadilan bukan utopia yang sulit untuk dibumikan, tapi realitas yang sedang dibangun dan terus berproses. Dengan fondasi kuat di ekonomi, pendidikan, dan kesehatan wilayah 3T, kapal besar bernama Indonesia saat ini sudah bergerak dalam jalur yang benar menuju kedaulatan energi inklusif dan berkeadilan. Kehadiran listrik yang merata bukan saja menjadi jembatan menuju pemerataan pembangunan tetapi juga meningkatkan kesejahteraan bangsa secara menyeluruh.

 

 

 

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment