- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
Listrik di Beranda NKRI: Energi Berkeadilan yang Menghidupkan Desa dan Harapan

Keterangan Gambar : Program listrik di wilayah 3T bukan hanya menerangi tetapi juga menghidupkan desa dan harapan. (dok PLN)
Wahyono, jurnalis porosbumi
Mengusung
visi besar menuju Indonesia berdaulat energi, pemerintah menempatkan listrik
sebagai pondasi utama mewujudkan energi berkeadilan. Untuk mencapai goal
(tujuan) tersebut pemerintah saat ini telah mengeluarkan sejumlah jurus untuk
meneguhkan ikhtiar dan komitmen terkait kedaultan energi. Ikhtiar itu
di antaranya, dengan mematok target rasio elektrifikasi 100 persen melalui
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, kemudian meluncurkan
Program Listrik Desa (Lisdes) 2025-2029 yang menyasar 5.758 desa dan 1,2 juta
rumah tangga di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Sekadar
diketahui, wilayah 3T mencakup daerah-daerah yang selama ini menjadi fokus
pembangunan agar tidak tertinggal akibat keterbatasan akses energi.
Jika
dibaca lebih lengkap, inisiatif pemerintah di wilayah 3 T ini bukan hanya soal
menyulut lampu, melainkan bagaimana menguatkan fondasi bagi keadilan energi
yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendidikan, dan peningkatan
layanan kesehatan di wilayah yang acap disebut sebagai wilayah beranda atau
teras NKRI ini. Apakah saat ini fondasi keadilan dan kedaulatan energi di
wilayah 3 T sudah tercapai? Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya
Manusia (ESDM), rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 99,83 persen pada
akhir 2024. Tapi di sisi lain masih ada disparitas atau kesenjangan akses
energi yang dialami 1,28 juta rumah tangga tanpa akses listrik, sebagian besar
di wilayah 3T.
Baca Lainnya :
- Sepenggal Ikhtiar Membumikan Energi Hijau Terbarukan ke Pelosok Negeri0
- Pertamina Pimpin Transisi Energi, Kembangkan Green Hydrogen di Indonesia 0
- Manfaatkan PLTS, Desa Energi Berdikari di Karawang Tingkatkan Ekonomi Petani 0
- Inovasi Superkapasitor Berbasis Biomassa Sawit Dorong Transisi Energi Bersih0
- Menakar Hilirisasi MIND ID, Mengukuhkan Nilai Tambah dan Dampak Ekonomi Keberlanjutan0
Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi listrik per kapita Indonesia
mencapai 1.337 kWh pada 2024, tertinggi dalam lima tahun terakhir, dengan
target 1.464 kWh untuk 2025. Namun, di wilayah 3T seperti Nusa Tenggara Timur
(NTT), Papua, dan Maluku, rasio elektrifikasi masih tertinggal di bawah 95 persen,
menghambat pembangunan berkelanjutan. Artikel kali ini akan fokus untuk
membahas narasi besar bagaimana mewujudkan listrik sebagai energi berkeadilan
yang memperkuat fondasi Indonesia di bidang ekonomi, pendidikan dan juga
kesehatan khususnya di wilayah 3T.
Menyambungkan Konsep Kedaulatan Energi dengan Wilayah 3T
Secara
konseptual "Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat" telah menjadi
mantra pemerintahan sejak era Presiden Joko Widodo, yang menargetkan swasembada
energi melalui diversifikasi Enegeri Baru dan Terbarukan (EBT) hingga 23 persen
pada 2025, naik dari 12,3 persen pada 2023. Di sisi lain dalam konteks global,
Indonesia menghadapi tekanan transisi energi pasca-Konferensi Perubahan Iklim
COP29, di mana komitmen net-zero emission 2060 memerlukan investasi USD7 miliar
untuk dekarbonisasi energi dan transportasi hingga 2030. Di tengah target
swasembada energi dan juga komitmen transisi energi secara global tersebut,
bangsa ini juga dihadapkan pada realitas masih banyaknya wilayah 3T yang belum
menikmati listrik. Wilayah 3T, yang mencakup sekitar 15 persen dari 514
kabupaten/kota di Indonesia, menjadi ujian utama kedaulatan energi pemerintah.
Menurut
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes
PDTT), per Mei 2025, terdapat 3.264 desa tanpa aliran listrik, di mana daerah
itu mayoritas tergolong 3T, yang berdampak langsung pada 1,6 juta penduduk.
Ketimpangan ini tidak hanya soal cahaya, tapi juga akses terhadap layanan dasar
seperti ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan. Padahal ketersediaan listrik
bagi masyarakat bukan hanya kebutuhkan dasar yang harus dipenuhi tetapi juga
memiliki dampak berantai yang cukup positif. Mengutip laporan Institute for
Essential Services Reform (IESR) 2025 misalnya disebutkan bahwa akses listrik
di 3T dapat meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga 2-3
persen per tahun melalui peningkatan produktivitas UMKM.
Sejauh
ini pemerintah sudah meluncurkan Program Listrik Masuk Desa (Lides) sebagai
salah salah satu terobosan solusi untuk mengatasi kesenjangan akses listrik di
wilayah 3 T. Program Lisdes dengan anggaran Rp15 triliun dari APBN dan swasta,
memprioritaskan EBT seperti energi surya dan mikro-hidro untuk mengatasi
tantangan geografis. Perlahan namun pasti program ini sudah memberi dampak
nyata di lapangan. Di NTT, misalnya, Program Sumba Iconic Island (SII) sejak
2010 telah mendorong rasio elektrifikasi dari 59,85 persen pada 2017 menjadi 95
persen pada 2023, dengan 88 persen terhubung ke PLN dan 7 persen dari sumber
non-PLN. SII juga telah menciptakan 5.000 lapangan kerja baru pada 2023-2025
melalui instalasi panel surya dan bioenergi, dengan kontribusi EBT mencapai 14
persen terhadap PDRB provinsi. Capaian ini telah berada dalam jalur yang benar
sebagai bagian dalam mewujudkan target nasional RUPTL dengan kapasitas
terpasang 105 GW pada semester I 2025, naik 4,4 GW dari sebelumnya.
Listrik Mengakselerasi Ekonomi Wilayah 3 T
Data
dan fakta di lapangan membuktikan bahwa akses listrik menjadi katalisator utama
pertumbuhan ekonomi di wilayah 3T. Di wilayah yang dikenal sebagai beranda
nusantara ini, listrik berkontribusi terhadap PDRB per kapita rata-rata sebesar
Rp20-30 juta per tahun. Meski jumlah ini masih jauh di bawah PDRB nasional
sebesar Rp70 juta namun keberadaan aliran listrik di wilayah 3T bisa dikatakan
tetap menjadi pilar utama tumbuhnya perekonomian. Studi dari Jurnal Inovasi
Research and Knowledge (JIRK) 2025 menemukan bahwa ketimpangan listrik
berdampak negatif hingga 1,5 persen terhadap PDRB di daerah tertinggal, sementara
peningkatan akses listrik dapat mendorong pertumbuhan 2,5 persen melalui sektor
pertanian dan UMKM.
Data
BPS menunjukkan bahwa desa berlistrik di berbagai wilayah 3T mengalami
peningkatan pendapatan rumah tangga hingga 20 persen, terutama dari usaha mikro
seperti pengolahan hasil laut di Maluku. Di Papua, target elektrifikasi 100
persen pada 2030 diharapkan menaikkan PDRB sektor pertambangan dan perikanan
sebesar 15 persen, karena listrik mendukung operasional alat berat dan
pendingin ikan. Secara nasional, konsumsi listrik rumah tangga di wilayah 3T
hanya 300-500 kWh per kapita per tahun, dibandingkan 1.200 kWh di Jawa, yang
menghambat industrialisasi.
Program
Lisdes menargetkan 1,2 juta sambungan baru, yang diproyeksikan menyerap 100.000
pekerja di sektor EBT hingga 2029. Dampak listrik bukan hanya dirasakan warga
yang berprofesi sebagai pekerja, buruh atau petani tetapi juga para nelayan. Di
Sulawesi Tenggara, misalnya, PLTS di Wakatobi telah meningkatkan produktivitas
nelayan hingga 30 persen dengan pencahayaan malam hari. Namun, tantangan
seperti biaya distribusi tinggi (Rp 50.000 per kWh di 3T vs Rp 1.000 di Jawa)
memerlukan subsidi Rp5 triliun tahunan. Merujuk riset IESR 2025
menyebutkan bahwa transisi EBT di 3T
bukan hanya lingkungan, tapi juga ekonomi. Di wilayah Sumatera Selatan
misalnya, campuran EBT 24 persen pada 2023 telah mendiversifikasi ekonomi dari
batu bara, dengan 989 MW kapasitas terpasang mendukung agroindustri. Proyeksi
2025: PDRB 3T naik 3 persen jika elektrifikasi mencapai 98 persen
Menyalakan Spirit Api Pendidikan Lewat Listrik
Mengutip
data goodstants.id, akses listrik di
wilayah 3T menjadi kunci mutu pendidikan, di mana 70-80 persen sekolah dasar
dan menengah telah terhubung listrik pada 2025, naik dari 60 persen pada 2020.
Meski demikian, data Kemendikbudristek mencatat
bahwa 5.783 sekolah di 3T masih mengalami kendala listrik, menyebabkan
tingkat putus sekolah mencapai 15 persen, dua kali lipat nasional (7 persen).
Membaca data tersebut menjadi bukti bahwa keberadaan listrik memang tak bisa
dipandang sebelah mata bagi dunia pendidikan. Pakar Pendidikan Universitas
Indonesia (UI), Dr. Ari Rockingham dalam sebuah survei Juni 2025 menyatakan
bahwa "akses listrik dan gizi adalah kunci mutu pendidikan di daerah
tertinggal, karena memungkinkan pembelajaran malam dan akses digital." Di
NTT, SII telah menurunkan angka putus sekolah 10 persen sejak 2023, dengan
sekolah di Sumba kini memiliki listrik 24 jam untuk kelas online. Senada dengan data tersebut, BPS juga
melaporkan bahwa desa berlistrik meningkatkan angka partisipasi sekolah 12
persen, terutama di Maluku di mana 3.000 desa tanpa listrik sebelumnya
menghambat 20 persen anak usia sekolah.
Selain
Lisdes, ikhitiar lain yang digulirkan pemerintah untuk mencari solusi
pemerataan akses listrik di wilayah 3T adalah meluncurkan Program SuperSUN PLN.
Pada 2025, program ini menyediakan listrik surya untuk 500 sekolah dan
diproyeksikan bisa meningkatkan nilai Ujian Nasional sebesar 15 persen. Di
ujung timur khususnya di wilayah Papua, elektrifikasi sekolah telah mengurangi
kesenjangan digital, dengan 40 persen siswa kini bisa mengakses e-learning.
Namun, survei Lembaga Masyarakat Indonesia Inklusif (LMII) Agustus 2025
menemukan bahwa 30 persen sekolah 3T masih bergantung genset diesel yang tidak
stabil. Kondisi ini menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah untuk
diperhatikan.Secara keseluruhan, investasi listrik untuk meningkatkan mutu
pendidikan di wilayah 3T bernilai Rp2 triliun yang berasal dari DAK Fisik 2025.
Upaya mengenjot mutu pendidikan melalui akses listrik ini diharapkan bisa
menaikkan indeks pembangunan manusia (IPM), khususnya provinsi seperti NTT dari
68 menjadi 72 pada 2026.
Listrik
Mendobrak Akses Kesehatan Terbuka
Bukan
hanya bidang ekonomi dan pendidikan saja yang sangat dipengaruhi akses listrik
di tengah masyarakat. Ketimpangan listrik di 3T berdampak juga bisa berdampak
fatal pada kesehatan. Mengutip penelitian dalam bajangjournal.com menyebutkan
bahwa fasilitas kesehatan tanpa listrik menyebabkan 20 persen kegagalan vaksinasi
dan peningkatan mortalitas infantil 5 persen. Data Kementerian Kesehatan 2025
juga menunjukkan bahwa 40 persen puskesmas di 3T kekurangan listrik stabil,
menghambat operasi peralatan medis. Berangkat dari kondisi itulah, pembangunan
infrastruktur kelistrikan di wilayah 3T juga wajib memperhatkan bidang
kesehatan.
Tanpa
akses listrik yang memadai mustahil akan tercipta akses kesehatan yang baik
bagi warga. Hal ini sudah dibuktikan di NTT misalnya dimana SII telah
meningkatkan akses layanan kesehatan 25 persen melalui pendingin vaksin dan
pencahayaan operasi, menurunkan angka kematian ibu 12 persen pada 2023-2025.
Lain di NTT, lain juga di Aceh. Di wilayah berjuluk Serambi Mekkah ini, program
Desa Energi Berdikari menyediakan PLTS 4,91 Wp per rumah tangga, mendukung 17
Wh/hari untuk peralatan medis dasar di Pulo Aceh. Sementara di Wakatobi di
Sulawesi Tenggara, listrik PLN telah memungkinkan telemedicine, menjangkau
5.000 pasien terpencil.Menurut catatan BPS, rumah tangga 3T yang teraliri
listrik mengalami penurunan penyakit pernapasan hingga 15 persen. Akses
fasilitas kesehatan juga mengalami hal positif dengan kehadiran listrik.
Program Lisdes misalnya, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3 triliun yang
diperuntukkan untuk 1.000 puskesmas pada 2025 ditargetkan mengurangi disparitas
kesehatan hingga 10 persen.
Epilog: Keadilan Energi Masih Menyisakan Tantangan
Mewujudkan
listrik sebagai energi berkeadilan dan berdaulat tidak dapat dilakukan secara
mandiri oleh pemerintah saja. Selain itu tembok besar berupa tantangan juga
masih menunggu visi besar kedaulatan dan keadilan energi. Berkat program Lisdes
dan RUPTL, Indonesia diproyeksikan mencapai 100 persen elektrifikasi pada 2029,
mendorong IPM nasional naik 5 poin. Di 3T, EBT seperti PLTS atap di kota tertinggal
akan ciptakan 50.000 pekerjaan hijau hingga 2030. Meski progresif,
elektrifikasi di wilayah 3T juga menghadapi banyak hambatan antara lain berupa
biaya tinggi, cuaca ekstrem, dan kapasitas teknis lokal. Laporan ESDM 2024
menyebut kendala distribusi di 3T sebagai "hambatan utama", dengan
3.000 desa masih off-grid.
Dengan
kerja sama pemangku kepentingan, teknologi canggih, dan pendekatan
partisipatif, Indonesia terus melangkah memperkuat dasar energi berdaulat yang
inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Listrik sebagai energi berkeadilan bukan
utopia yang sulit untuk dibumikan, tapi realitas yang sedang dibangun dan terus
berproses. Dengan fondasi kuat di ekonomi, pendidikan, dan kesehatan wilayah
3T, kapal besar bernama Indonesia saat ini sudah bergerak dalam jalur yang
benar menuju kedaulatan energi inklusif dan berkeadilan. Kehadiran listrik yang
merata bukan saja menjadi jembatan menuju pemerataan pembangunan tetapi juga
meningkatkan kesejahteraan bangsa secara menyeluruh.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

