- Belantara Foundation Bersama Mitra dari Jepang Kembali Tanam Pohon di Riau
- Manfaatkan PLTS, Desa Energi Berdikari di Karawang Tingkatkan Ekonomi Petani
- Menkeu Terbitkan Aturan Penempatan Rp200 Triliun Uang Negara di Bank Umum Mitra
- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
Dari Liberalisasi ke Proteksi, Tarik Ulur Diplomasi Dagang Indonesia-AS
.jpg)
Muhammad Sirod
Fungsionaris
Kadin Indonesia; Ketum HIPPI Jaktim
Baca Lainnya :
- Celah Memperlambat Mekanisme Fiktif-Positif dalam OSS-RBA 0
- Semester 1/2025 Investasi Hulu Migas Naik 28,6% 0
- Sandiwara (Guru) Sekolah0
- Ini Kata Badan Pangan Nasional Tentang Standar Mutu dan Bentuk Oplosan Beras yang Dilarang0
- Pemerintah Gelontorkan 1,3 Juta Ton Beras SPHP, Mentan Yakin 1-2 MInggu Harga Beras Turun0
NEGOSIASI diplomasi ekonomi antara
Indonesia dan Amerika Serikat baru-baru ini memunculkan angin segar di tengah
tantangan global. Pemerintah Indonesia sukses menurunkan ancaman tarif impor
produk RI ke AS dari 32% menjadi 19%. Bukan hanya kemenangan diplomasi, tapi
juga bukti bahwa Indonesia mampu memainkan peran kunci dalam peta perdagangan
dunia yang kini makin dinamis.
Surplus perdagangan dengan AS selama lebih dari satu dekade
bukan sekadar angka, melainkan representasi ketangguhan sektor ekspor nasional.
Tahun 2023, ekspor non-migas Indonesia ke AS mencapai hampir US$28 miliar,
sementara impor dari AS sekitar US$11 miliar. Surplus stabil sebesar US$17
miliar ini bukan hanya menguntungkan neraca pembayaran, tapi juga
memperlihatkan kepercayaan pasar Amerika pada kualitas produk Indonesia—dari
tekstil, furnitur, hingga makanan olahan.
Penurunan tarif dari 32% ke 19% merupakan hasil diplomasi
aktif pemerintah yang patut diapresiasi. Di tengah kenaikan tarif tinggi untuk
negara tetangga (Malaysia 25%, Thailand 36%, Vietnam 20%, Laos 40%), Indonesia
berhasil menjaga posisi sebagai mitra dagang strategis AS. Ini adalah sinyal
kepercayaan dan peluang bagi Indonesia untuk mengambil peran lebih besar dalam
rantai pasok global yang sedang berubah pasca-pandemi.
Optimisme tidak berhenti di sana. Pembukaan akses lebih luas
ke pasar AS berarti peluang ekspor makin besar, tetapi juga membuka jalan
transfer teknologi. Dalam tiga tahun terakhir, data BKPM menunjukkan, nilai
investasi langsung AS di Indonesia mencapai lebih dari USD2,3 miliar, banyak di
antaranya pada sektor manufaktur berteknologi tinggi, energi, dan
infrastruktur. Saat Indonesia mengimpor mesin dan peralatan industri dari AS,
kita tidak hanya membeli produk jadi, tapi diharapkan juga membawa masuk
pengetahuan, pelatihan, dan teknologi terkini—contohnya di sektor otomotif,
kimia, dan elektronika.
Teknologi mesin pabrik asal AS—mulai dari sistem otomasi
industri, robotik, hingga alat berat—sudah banyak digunakan di sentra
manufaktur Indonesia, khususnya di Karawang dan Cikarang. Kerja sama transfer
teknologi pun semakin intensif, dengan adanya pelatihan tenaga kerja Indonesia
secara langsung di pabrik atau secara daring. Bahkan, beberapa program industrial
offset mewajibkan perusahaan AS membuka pusat pelatihan dan perakitan di
Indonesia, sehingga SDM lokal makin terampil dan produktif.
Di sektor pertahanan dan maritim, peluang kerja sama makin
terbuka lebar. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dan AS telah
menandatangani nota kesepahaman transfer teknologi untuk peralatan pengawasan
laut, radar canggih, serta sistem pelacakan kapal. Hal ini sangat penting untuk
memperkuat pertahanan wilayah strategis, seperti Natuna dan Selat Malaka, yang
menjadi pintu gerbang perdagangan dan rawan terhadap aktivitas ilegal.
Teknologi maritim dari AS seperti maritime domain awareness systems
sudah mulai diadopsi, memungkinkan Indonesia memantau zona ekonomi eksklusif
dengan lebih efektif dan tanggap terhadap ancaman pelanggaran.
Kerja sama ini memberikan efek berlapis: selain meningkatkan
keamanan nasional dan memperkuat kedaulatan maritim, Indonesia juga mendapatkan
akses ke inovasi yang dapat diadaptasi ke sektor sipil—mulai dari pengelolaan
perikanan, perlindungan lingkungan laut, hingga penanganan bencana.
Penurunan tarif pun membawa semangat baru untuk mendorong
reformasi struktural di dalam negeri. Tantangan pangan seperti kedelai harus
dijawab dengan inovasi—pemerintah mustinya semakin mempercepat riset benih
unggul, mekanisasi pertanian, dan diversifikasi sumber impor agar petani lokal
kembali kompetitif. Di bidang industri, strategi local content requirement
atau TKDN yang benar (bukan sekedar dokumen) semakin didorong agar pabrik dalam
negeri tak sekadar menjadi assembler, tapi juga pusat inovasi dan
penciptaan nilai tambah.
Momentum positif negosiasi tarif juga dapat menjadi
katalisator bagi investasi dan kolaborasi global yang lebih luas. Indonesia
kini semakin dipercaya sebagai hub produksi sekaligus pasar potensial bagi
teknologi dan produk baru dari Amerika, Eropa, dan Asia. Hal ini membuka
peluang bagi tenaga kerja terampil, lahirnya startup digital, dan pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan.
Pemerintah di bawah Prabowo dapat memanfaatkan capaian ini
sebagai langkah awal menuju strategi ekonomi ofensif: menggalang kemitraan
perdagangan yang lebih setara, memperkuat posisi tawar, serta memastikan setiap
peluang transfer teknologi membawa manfaat riil bagi ekonomi nasional dan
rakyat banyak.
Pada akhirnya, tarik-ulur antara liberalisasi dan proteksi
bukanlah dilema yang harus ditakuti, melainkan peluang untuk memilih strategi
cerdas. Dengan pengawasan impor yang terintegrasi, filter komoditas strategis,
dan insentif alih teknologi, Indonesia bisa tetap menjaga surplus perdagangan
tanpa jatuh pada jebakan ketergantungan.
Penurunan tarif dari 32% ke 19% bukan hanya kemenangan
angka, tapi simbol bahwa Indonesia siap naik kelas sebagai kekuatan ekonomi
baru yang percaya diri, kolaboratif, dan berdaulat—baik dalam hal ekspor,
teknologi, maupun kedaulatan maritim. Dengan semangat optimis, diplomasi
ekonomi yang aktif, dan reformasi struktural di berbagai sektor, Indonesia bisa
memanfaatkan setiap gelombang tantangan menjadi lompatan kemajuan yang nyata.
