- Belantara Foundation Bersama Mitra dari Jepang Kembali Tanam Pohon di Riau
- Manfaatkan PLTS, Desa Energi Berdikari di Karawang Tingkatkan Ekonomi Petani
- Menkeu Terbitkan Aturan Penempatan Rp200 Triliun Uang Negara di Bank Umum Mitra
- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
Celah Memperlambat Mekanisme Fiktif-Positif dalam OSS-RBA
.jpg)
Muhammad Sirod
Fungsionaris
Kadin Indonesia, Ketua Umum HIPPI Jakarta Timur
Baca Lainnya :
- Merindukan Sandiwara (Guru) Growth Mindset0
- Kepala: Trump dan Indonesia0
- Semester 1/2025 Investasi Hulu Migas Naik 28,6% 0
- Tentara Kuat, Kopral Bagyo Meninggal Dunia0
- Sandiwara (Guru) Sekolah0
PERATURAN Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun
2025 resmi diundangkan pada 5 Juni 2025 sebagai dasar hukum terbaru dalam
penyelenggaraan sistem perizinan berusaha berbasis risiko melalui platform
Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA) atau dikenal dengan OSS
Berbasis Risiko. Regulasi ini menggantikan PP Nomor 5 Tahun 2021, memperkuat
posisi OSS-RBA sebagai satu-satunya pintu masuk legal perizinan di Indonesia,
serta mengintegrasikan seluruh sistem kementerian/lembaga secara nasional.
Salah satu penguatan utama dalam PP 28/2025 adalah penerapan
ketat terhadap Service Level Agreement
(SLA) atau batas waktu pelayanan. Setiap proses perizinan diberi waktu maksimal
tertentu. Sebagai contoh, dalam permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang (KKPR), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) diberi tenggat waktu maksimal 25 hari kerja apabila dokumen tidak
memerlukan revisi, atau 40 hari kerja bila ada perbaikan minor.
Dalam konteks ini, mekanisme “fiktif positif” berperan
penting: bila otoritas tidak memberikan keputusan dalam tenggat waktu tersebut,
maka sistem OSS-RBA secara otomatis menerbitkan izin. Tujuannya sederhana:
memastikan kepastian hukum, mempercepat realisasi investasi, dan menghapus
ruang negosiasi birokratik yang tak perlu.
Namun demikian, PP 28/2025 belum mengatur secara eksplisit
bagaimana sistem memperlakukan intervensi administratif yang muncul sebelum SLA habis. Akibatnya, setiap
respons atau permintaan klarifikasi dari dinas atau instansi—terlepas dari
apakah alasan tersebut sah atau tidak— masih memungkinkan membatalkan hitungan
waktu fiktif positif.
Celah ini agak rawan disalahgunakan. Misalnya diasumsikan
ada sebuah kasus di Jawa Tengah, seorang pengusaha mengajukan permohonan KKPR
untuk pembangunan pabrik sepatu melalui OSS-RBA pada 1 Juli 2025. Jika merujuk
aturan, maka pada hari kerja ke-25 atau 26 Juli, izin seharusnya keluar
otomatis bila tidak ada keberatan.
Namun misalkan pada hari ke-23, Dinas Tata Ruang setempat
mengirim surat berisi perintah unggah ulang dokumen peta lokasi dengan alasan
“format tidak sesuai”—padahal sebut saja file tersebut sudah menggunakan format
standar SHP yang dikeluarkan oleh sistem resmi Kementerian ATR/BPN.
Sistem OSS-RBA menganggap surat tersebut sebagai tindakan
administratif yang sah, karena ada celah pintu untuk ditunda dikeluarkannya
izin (karena direspon, walau isinya hanya penolakan/keberatan). Artinya, SLA dianggap “diperpanjang” dan
hitungan waktu dimulai ulang dari nol. Praktis, pengusaha harus menunggu 25
hari kerja lagi hanya untuk proses yang seharusnya sudah selesai. Bila strategi
ini diulang pada hari ke-24 di proses berikutnya, maka seluruh siklus akan
terus tersandera oleh ruang abu-abu birokrasi. Celah administrasi beri
Persoalan mendasar terletak pada tidak adanya pembeda antara
tindakan substansial dan tindakan administratif yang sifatnya kabur. Bila
OSS-RBA mencatat semua interaksi sebagai “respon” tanpa filter verifikasi
substansi maka ini sama saja dengan sistem lama, apabila tidak ada verifikasi
independen dari pusat untuk menentukan apakah klarifikasi tersebut relevan atau
hanya akal-akalan birokrasi.
Akibatnya, logika SLA menjadi semu. Pelaku usaha tidak
memiliki mekanisme sanggah apabila merasa alasan yang diberikan tidak valid.
Dan lebih problematik lagi, tidak ada konsekuensi administratif atau penalti
terhadap dinas yang menunda tanpa dasar kuat.
Padahal, PP 28/2025 secara eksplisit menetapkan bahwa
OSS-RBA adalah single reference—artinya
seluruh syarat dan prosedur perizinan telah terkodifikasi dalam sistem. Tidak
boleh ada permintaan dokumen tambahan atau interpretasi lokal yang bertentangan
dengan aturan pusat. Dalam praktiknya, celah kecil seperti “surat sebelum
tenggat” membuat prinsip ini bisa dibengkokkan.
Mungkin perlu solusi konkret yang perlu diadopsi adalah:
setiap permintaan klarifikasi yang masuk harus dikarantina sementara oleh
sistem pusat OSS-RBA untuk diverifikasi selama maksimal 3 hari kerja. Bila
tidak lolos verifikasi substansi, maka permintaan dianggap tidak sah dan SLA
tetap berjalan.
Selain itu, penting untuk disiapkan modul fast-track appeal atau forum sanggah
cepat. Pelaku usaha harus diberi hak untuk membantah permintaan klarifikasi
yang dirasa tidak sah. Sistem pusat wajib memberi putusan dalam waktu singkat
(maksimal 3 hari), dan hasilnya bersifat final.
Evaluasi kinerja kementerian dan lembaga juga sudah saatnya
bergeser dari kuantitas surat atau respon administratif menuju kualitas
putusan. Misalnya, jumlah izin terbit tanpa revisi dibanding total permohonan
bisa menjadi key performance indicator
(KPI) yang lebih sehat dan mendorong efektivitas.
Peningkatan kualitas audit
trail atau jejak digital dalam OSS-RBA juga perlu didorong. Setiap aksi
instansi—baik permintaan klarifikasi, penolakan, maupun penerbitan—harus
tercatat dengan penanggung jawab, waktu, dan dasar hukum, sehingga setiap
proses bisa diaudit secara real-time.
Menutup celah manipulasi waktu melalui “penolakan sebelum
SLA habis” bukan sekadar urusan teknis. Ini menyangkut kredibilitas Indonesia
dalam menciptakan iklim investasi yang sehat, adil, dan dapat diprediksi.
Fiktif positif harus menjadi kenyataan sistemik, bukan sekadar wacana dalam
regulasi.
