- Filosofi Kaya Lintas Generasi Orang-Orang China
- Wisata Pulau-Pulau Cantik di Aceh yang Wajib Dikunjungi
- Hari Populasi Dunia, Kampanye Tanam Pohon di Bedono Jadi Contoh Mitigasi Abrasi Pesisir
- Sering Lihat Harga Emas Naik-Turun? Begini Cara Cuan dari Pergerakan Emas!
- Tim PkM UNY Gelar Workshop Perempuan Islam Berkemajuan untuk Mewujudkan Peradaban Utama
- AHY Tegaskan Pentingnya Infrastruktur Transportasi Dorong Pertumbuhan Kawasan
- Teknologi Layar Hisense Mendukung Tampilan VAR di FIFA Club World Cup 2025™
- Fakta dan Mitos Seputar MSG: Apakah Benar Membahayakan Tubuh?
- Disabilitas Tak Menghentikan Junar Asunyi Menuai Harapan Lewat Konten Karier & HR
- LindungiHutan Dorong Tebus Jejak Karbon dengan Penanaman Pohon
Suntik Terus Tapi Tak Sembuh: Garuda Butuh Operasi, Bukan Obat Ringan
.jpg)
Muhammad Sirod
Fungsionaris Kadin Indonesia, Ketum HIPPI Jaktim
Baca Lainnya :
- Realisasi TKD Semester I 2025 Capai Rp400,6 Triliun, Dorong Pemerataan Layanan Publik0
- Waspadai Penipuan Pinjaman Online Lewat WA, Ini Solusi Aman untuk Anda0
- 5 Negara Pemegang Bitcoin Terbesar di Dunia (Dan Cara Mereka Mendapatkannya)0
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan0
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS0
GARUDA Indonesia, maskapai kebanggaan
nasional yang selama puluhan tahun mengangkasa membawa lambang negara, kini
mengalami nasib ironis. Di atas kertas, Garuda memiliki identitas nasional,
rekam jejak internasional, dan armada yang menjangkau banyak pelosok negeri.
Tapi secara fundamental, maskapai ini tengah dalam kondisi yang bisa disebut
akut dan kronis sekaligus.
Per awal 2025, kerugian Garuda tercatat mencapai Rp 1,2
triliun hanya dalam satu kuartal. Ekuitasnya negatif lebih dari USD 1,4 miliar,
dan current ratio—indikator kemampuan membayar kewajiban jangka pendek—hanya
0,46. Artinya, secara teknis Garuda masuk kategori insolven, alias tak mampu
menutupi kewajiban dasarnya. Parahnya, lebih dari 40 armada Garuda dan Citilink
tidak aktif alias mangkrak karena dana perawatan yang terbatas. Di sisi lain,
beban utang, bunga, dan biaya sewa pesawat tetap jalan terus.
Melalui Danantara, sebuah lembaga sovereign wealth fund
(SWF) kedua Indonesia yang baru berdiri, negara menyuntikkan dana segar senilai
USD 405 juta untuk mendukung program perawatan pesawat (MRO). Total komitmen
yang disiapkan bahkan bisa mencapai USD 1 miliar. Tapi sayangnya, pendekatan
ini banyak dikritik sebagai solusi jangka pendek.
Dalam laporan Dilema Maskapai Nasional: Membangun Garuda
Baru atau Membiarkan yang Lama Mati, langkah MRO-only disebut hanya
“menambal luka luar” tanpa menyentuh sumber infeksi di dalam tubuh perusahaan.
Kondisi Garuda ibarat pasien sekarat yang diberi vitamin. Padahal, yang
dibutuhkan adalah operasi besar-besaran: pembedahan utang, transformasi
struktur biaya, dan perubahan sistem tata kelola.
Jika Garuda dibiarkan dalam kondisi seperti ini, risikonya
bukan hanya keuangan, tapi juga reputasi dan tata kelola BUMN secara
keseluruhan. Laporan Risiko Ekspropriasi dan Kerugian Reputasi Jika Garuda
Tidak Restrukturisasi menggarisbawahi adanya ancaman terhadap hak-hak pemegang
saham minoritas akibat dominasi negara.
Dalam struktur seperti ini, pemerintah bisa saja mengalihkan
aset, menunda dividen, atau menerbitkan utang baru tanpa persetujuan publik.
Stigma bailout juga berdampak langsung pada reputasi merek. Studi kasus Virgin
Australia selama COVID-19 menunjukkan bahwa kepercayaan publik dapat turun
signifikan setelah bailout negara, meski tujuannya baik. Tak heran bila
kepercayaan investor pun perlahan menurun.
Selain itu, Garuda berisiko menjadi zombie
company—perusahaan yang hidup karena intervensi negara, bukan karena efisiensi
bisnis. Ini pernah terjadi di Jepang dan Amerika Latin. Bahkan dalam laporan
Zombie Enterprises and Resource Allocation, kondisi seperti ini membuat
perusahaan menunda inovasi, enggan melakukan efisiensi, dan justru menulari
praktik buruk ke ekosistem industri lainnya.
Garuda bukan satu-satunya maskapai nasional yang pernah
bangkrut. Tapi banyak negara lain yang belajar dari kegagalan mereka, dan
mengambil tindakan drastis namun tepat sasaran. Pada 2001, Swissair bangkrut
akibat ekspansi berlebihan dan beban utang tinggi. Pemerintah Swiss tidak
mencoba mempertahankan perusahaan lama.
Sebaliknya, mereka membentuk entitas baru: SWISS
International Air Lines. Hanya aset sehat yang dibawa: pesawat yang laik
terbang, staf kunci, dan slot rute strategis. Utang lama dibiarkan di Swissair
dan dilikuidasi perlahan. Hanya dalam 3–4 tahun, SWISS mencapai profitabilitas
dan kemudian diakuisisi oleh Lufthansa. Hal ini dibahas tuntas dalam laporan
Phoenix Firms in Aviation: Lessons from SWISS oleh John M. Kraus.
Alitalia, maskapai nasional Italia, mengalami kerugian
kronis selama dua dekade dan menelan lebih dari €10 miliar bailout. Akhirnya,
pada 2021, pemerintah Italia menghentikan seluruh operasional Alitalia dan
membentuk entitas baru: ITA Airways. Sama seperti Swiss, utang lama tidak
diwariskan. ITA hanya mengambil rute menguntungkan, armada sehat, dan manajemen
baru. Hasilnya, ITA kini lebih efisien dan sudah menarik investor asing seperti
Lufthansa.
Berbeda dengan Swiss dan Italia, ada tiga maskapai lain yang
tetap bertahan dengan struktur lama dan akhirnya gagal secara tragis. Malaysia
Airlines menerima RM 17 miliar dalam bailout berulang, tapi tidak pernah
memisahkan utang lama. Restrukturisasi hanya administratif. Tidak pernah
menarik investor strategis.
South African Airways mengalami intervensi politik
berlebihan, dan tidak melakukan restrukturisasi model bisnis. Akhirnya lumpuh
dengan utang menggunung. Air India, sebelum dijual ke Tata Group, bertahan
dengan struktur yang sama, merger yang gagal, birokrasi kaku, dan beban warisan
utang. Baru bisa diselamatkan setelah dijual ke swasta dan direstrukturisasi
total. Ketiga kasus ini dibahas dalam makalah When Lightning Strikes Twice dan
Failure to Implement a Turnaround Strategy at SAA, yang menyimpulkan bahwa
bailout tanpa perubahan model bisnis adalah resep gagal.
Berdasarkan pelajaran dari kasus-kasus di atas, solusi
rasional untuk Garuda bukanlah mempertahankan perusahaan lama, tapi membangun
entitas baru—sering disebut NewCo. Sebuah perusahaan baru yang hanya mewarisi
aset sehat, tidak membawa utang lama, fokus pada rute dan lini bisnis yang
menguntungkan, dan dikelola secara profesional dan independen.
Entitas lama (Garuda sekarang) bisa masuk dalam proses
likuidasi bertahap, menyelesaikan utang dan beban warisan secara legal dan
fiskal. Dengan pendekatan ini, negara tidak kehilangan aset strategis dan
keuangan publik bisa diselamatkan.
Sebagai lembaga pengelola investasi negara, Danantara punya
pilihan: menjadi “dokter gizi” yang hanya memberi vitamin (MRO), atau menjadi
“dokter bedah” yang siap melakukan operasi besar (restrukturisasi).
Langkah-langkah strategis yang bisa diambil antara lain: masuk sebagai investor
ekuitas di entitas baru, bukan pemberi utang; pisahkan urusan bisnis dan fungsi
sosial (rute perintis, haji, dan PSO lainnya bisa dilelang melalui Kemenhub);
undang investor strategis global seperti Qatar Airways, Emirates, atau ANA
untuk membeli saham minoritas; serta tetapkan KPI yang jelas dan exit strategy
dengan target IRR 12% dan keluar dalam 5–7 tahun.
Simulasi perbandingan cashflow antara strategi MRO-only dan
NewCo memperlihatkan perbedaan drastis. Pada 2025, strategi MRO-only masih
merugi USD 425 juta, sementara strategi NewCo hanya minus USD 300 juta. Pada
2026, MRO-only hampir impas, tapi NewCo sudah mencatat keuntungan lebih dari
USD 236 juta. Puncaknya pada 2029, strategi MRO-only diperkirakan menghasilkan
surplus USD 1,6 miliar, tapi strategi NewCo bisa mencapai lebih dari USD 3,2
miliar.
Mempertahankan Garuda dalam bentuk sekarang hanyalah
strategi bertahan hidup sesaat. Dengan kerugian besar, reputasi menurun, dan
utang yang kian membebani APBN, menyuntikkan dana tanpa perubahan struktural
justru membuka risiko baru. Pelajaran dari Swiss dan Italia jelas: jika ingin
menyelamatkan maskapai nasional, bangun yang baru dan tinggalkan yang lama.
Garuda punya potensi, tapi hanya jika kita berani memulai
ulang. Seperti yang disebut dalam laporan Dilema BUMN: Haruskah Danantara
Membangun Garuda Baru, “menyelamatkan maskapai bukan soal romantisme
nasionalisme, tapi soal rasionalitas fiskal dan tata kelola yang sehat.”
