Suntik Terus Tapi Tak Sembuh: Garuda Butuh Operasi, Bukan Obat Ringan

By PorosBumi 09 Jul 2025, 19:13:17 WIB Tilikan
Suntik Terus Tapi Tak Sembuh: Garuda Butuh Operasi, Bukan Obat Ringan

Muhammad Sirod

Fungsionaris Kadin Indonesia, Ketum HIPPI Jaktim

 

Baca Lainnya :

GARUDA Indonesia, maskapai kebanggaan nasional yang selama puluhan tahun mengangkasa membawa lambang negara, kini mengalami nasib ironis. Di atas kertas, Garuda memiliki identitas nasional, rekam jejak internasional, dan armada yang menjangkau banyak pelosok negeri. Tapi secara fundamental, maskapai ini tengah dalam kondisi yang bisa disebut akut dan kronis sekaligus.

Per awal 2025, kerugian Garuda tercatat mencapai Rp 1,2 triliun hanya dalam satu kuartal. Ekuitasnya negatif lebih dari USD 1,4 miliar, dan current ratio—indikator kemampuan membayar kewajiban jangka pendek—hanya 0,46. Artinya, secara teknis Garuda masuk kategori insolven, alias tak mampu menutupi kewajiban dasarnya. Parahnya, lebih dari 40 armada Garuda dan Citilink tidak aktif alias mangkrak karena dana perawatan yang terbatas. Di sisi lain, beban utang, bunga, dan biaya sewa pesawat tetap jalan terus.

Melalui Danantara, sebuah lembaga sovereign wealth fund (SWF) kedua Indonesia yang baru berdiri, negara menyuntikkan dana segar senilai USD 405 juta untuk mendukung program perawatan pesawat (MRO). Total komitmen yang disiapkan bahkan bisa mencapai USD 1 miliar. Tapi sayangnya, pendekatan ini banyak dikritik sebagai solusi jangka pendek.

Dalam laporan Dilema Maskapai Nasional: Membangun Garuda Baru atau Membiarkan yang Lama Mati, langkah MRO-only disebut hanya “menambal luka luar” tanpa menyentuh sumber infeksi di dalam tubuh perusahaan. Kondisi Garuda ibarat pasien sekarat yang diberi vitamin. Padahal, yang dibutuhkan adalah operasi besar-besaran: pembedahan utang, transformasi struktur biaya, dan perubahan sistem tata kelola.

Jika Garuda dibiarkan dalam kondisi seperti ini, risikonya bukan hanya keuangan, tapi juga reputasi dan tata kelola BUMN secara keseluruhan. Laporan Risiko Ekspropriasi dan Kerugian Reputasi Jika Garuda Tidak Restrukturisasi menggarisbawahi adanya ancaman terhadap hak-hak pemegang saham minoritas akibat dominasi negara.

Dalam struktur seperti ini, pemerintah bisa saja mengalihkan aset, menunda dividen, atau menerbitkan utang baru tanpa persetujuan publik. Stigma bailout juga berdampak langsung pada reputasi merek. Studi kasus Virgin Australia selama COVID-19 menunjukkan bahwa kepercayaan publik dapat turun signifikan setelah bailout negara, meski tujuannya baik. Tak heran bila kepercayaan investor pun perlahan menurun.

Selain itu, Garuda berisiko menjadi zombie company—perusahaan yang hidup karena intervensi negara, bukan karena efisiensi bisnis. Ini pernah terjadi di Jepang dan Amerika Latin. Bahkan dalam laporan Zombie Enterprises and Resource Allocation, kondisi seperti ini membuat perusahaan menunda inovasi, enggan melakukan efisiensi, dan justru menulari praktik buruk ke ekosistem industri lainnya.

Garuda bukan satu-satunya maskapai nasional yang pernah bangkrut. Tapi banyak negara lain yang belajar dari kegagalan mereka, dan mengambil tindakan drastis namun tepat sasaran. Pada 2001, Swissair bangkrut akibat ekspansi berlebihan dan beban utang tinggi. Pemerintah Swiss tidak mencoba mempertahankan perusahaan lama.

Sebaliknya, mereka membentuk entitas baru: SWISS International Air Lines. Hanya aset sehat yang dibawa: pesawat yang laik terbang, staf kunci, dan slot rute strategis. Utang lama dibiarkan di Swissair dan dilikuidasi perlahan. Hanya dalam 3–4 tahun, SWISS mencapai profitabilitas dan kemudian diakuisisi oleh Lufthansa. Hal ini dibahas tuntas dalam laporan Phoenix Firms in Aviation: Lessons from SWISS oleh John M. Kraus.

Alitalia, maskapai nasional Italia, mengalami kerugian kronis selama dua dekade dan menelan lebih dari €10 miliar bailout. Akhirnya, pada 2021, pemerintah Italia menghentikan seluruh operasional Alitalia dan membentuk entitas baru: ITA Airways. Sama seperti Swiss, utang lama tidak diwariskan. ITA hanya mengambil rute menguntungkan, armada sehat, dan manajemen baru. Hasilnya, ITA kini lebih efisien dan sudah menarik investor asing seperti Lufthansa.

Berbeda dengan Swiss dan Italia, ada tiga maskapai lain yang tetap bertahan dengan struktur lama dan akhirnya gagal secara tragis. Malaysia Airlines menerima RM 17 miliar dalam bailout berulang, tapi tidak pernah memisahkan utang lama. Restrukturisasi hanya administratif. Tidak pernah menarik investor strategis.

South African Airways mengalami intervensi politik berlebihan, dan tidak melakukan restrukturisasi model bisnis. Akhirnya lumpuh dengan utang menggunung. Air India, sebelum dijual ke Tata Group, bertahan dengan struktur yang sama, merger yang gagal, birokrasi kaku, dan beban warisan utang. Baru bisa diselamatkan setelah dijual ke swasta dan direstrukturisasi total. Ketiga kasus ini dibahas dalam makalah When Lightning Strikes Twice dan Failure to Implement a Turnaround Strategy at SAA, yang menyimpulkan bahwa bailout tanpa perubahan model bisnis adalah resep gagal.

Berdasarkan pelajaran dari kasus-kasus di atas, solusi rasional untuk Garuda bukanlah mempertahankan perusahaan lama, tapi membangun entitas baru—sering disebut NewCo. Sebuah perusahaan baru yang hanya mewarisi aset sehat, tidak membawa utang lama, fokus pada rute dan lini bisnis yang menguntungkan, dan dikelola secara profesional dan independen.

Entitas lama (Garuda sekarang) bisa masuk dalam proses likuidasi bertahap, menyelesaikan utang dan beban warisan secara legal dan fiskal. Dengan pendekatan ini, negara tidak kehilangan aset strategis dan keuangan publik bisa diselamatkan.

Sebagai lembaga pengelola investasi negara, Danantara punya pilihan: menjadi “dokter gizi” yang hanya memberi vitamin (MRO), atau menjadi “dokter bedah” yang siap melakukan operasi besar (restrukturisasi). Langkah-langkah strategis yang bisa diambil antara lain: masuk sebagai investor ekuitas di entitas baru, bukan pemberi utang; pisahkan urusan bisnis dan fungsi sosial (rute perintis, haji, dan PSO lainnya bisa dilelang melalui Kemenhub); undang investor strategis global seperti Qatar Airways, Emirates, atau ANA untuk membeli saham minoritas; serta tetapkan KPI yang jelas dan exit strategy dengan target IRR 12% dan keluar dalam 5–7 tahun.

Simulasi perbandingan cashflow antara strategi MRO-only dan NewCo memperlihatkan perbedaan drastis. Pada 2025, strategi MRO-only masih merugi USD 425 juta, sementara strategi NewCo hanya minus USD 300 juta. Pada 2026, MRO-only hampir impas, tapi NewCo sudah mencatat keuntungan lebih dari USD 236 juta. Puncaknya pada 2029, strategi MRO-only diperkirakan menghasilkan surplus USD 1,6 miliar, tapi strategi NewCo bisa mencapai lebih dari USD 3,2 miliar.

Mempertahankan Garuda dalam bentuk sekarang hanyalah strategi bertahan hidup sesaat. Dengan kerugian besar, reputasi menurun, dan utang yang kian membebani APBN, menyuntikkan dana tanpa perubahan struktural justru membuka risiko baru. Pelajaran dari Swiss dan Italia jelas: jika ingin menyelamatkan maskapai nasional, bangun yang baru dan tinggalkan yang lama.

Garuda punya potensi, tapi hanya jika kita berani memulai ulang. Seperti yang disebut dalam laporan Dilema BUMN: Haruskah Danantara Membangun Garuda Baru, “menyelamatkan maskapai bukan soal romantisme nasionalisme, tapi soal rasionalitas fiskal dan tata kelola yang sehat.”

 

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment