Ikhtiar Hilirisasi Timah: Dari Lumpur Perut Bumi Bangka Jadi Logam Berharga di Cilegon

By PorosBumi 05 Nov 2025, 19:14:33 WIB Energy & Mining
Ikhtiar Hilirisasi Timah: Dari Lumpur Perut Bumi Bangka Jadi Logam Berharga di Cilegon

Keterangan Gambar : Proses peleburan (smelting) dan pemurnian (refining) biji timah menjadi mata rantai penting hilirisasi timah. (foto wahyono)


BANGKA-Dengan wajah memerah Riski menepi untuk duduk istirahat. Terpanggang suhu 1.350-1.450 derajat celcius dari mesin TSL Ausmelt memaksa Riski sesekali menjauh mengusir hawa panas dengan membuka penutup kepala pakaian Alat Pelindung Diri (APD) berwarna kuning yang dikenakannya. Saat Riski menepi, dua rekannya dengan berpakaian APD lengkap masih berjibaku mengawasi proses peleburan (smelting) dan pemurnian (refining) biji timah dalam tannur (tungku besar) di tengah suhu panas dari jilatan si jago merah yang dikeluarkan dalam proses smelting dan refining. Tannur (tungku besar) inilah yang lazim disebut sebagai smelter.

Riski dan kawannya harus sabar dan telaten untuk menjaga proses dalam smelter. Maklum, proses peleburan memakan waktu berjam-jam. Proses ini umumnya dibagi menjadi beberapa tahapan meliputi konsentrasi (peningkatan kadar bijih), peleburan dan pemurnian. Setiap tahap membutuhkan waktu berbeda tergantung pada jumlah biji timahnya, metode yang digunakan, serta penggunaan teknologi.

Riski adalah pekerja di pabrik peleburan dan pemurnian biji Timah Unit Metalurgi Mentok yang dioperasikan oleh PT Timah Tbk. Unit Metalurgi Mentok adalah bagian dari PT Timah Tbk yang terletak di Mentok, Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Unit ini memiliki fungsi krusial yakni meleburkan biji timah menjadi logam timah, merupakan bagian dari kegiatan PT Timah Tbk yang terintegrasi dari eksplorasi, penambangan, hingga pengolahan dan distribusi. Kawasan Unit Metalurgi Muntok. Kawasan yang memiliki luas sekitar 3.021 km² ini berkontribusi besar pada proses hilir (hilirisasi) dari produk pertambangan timah. 

Baca Lainnya :

Peleburan dan pemurnian biji timah menjadi salah satu mata rantai penting dalam proses hilirisasi timah yang kini menjadi program strategis nasional. Hilirisasi hari hari ini memang menjadi terminologi yang banyak dibicarakan di dunia tambang nasional tak terkecuali di industri timah. Lalu seperti apa awal konsep hilirisasi pertambangan ini bergulir? Bagaimana proses hilirisasi timah yang ada di Indonesia selama ini?

Semua berawal dari terbitnya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara atau Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Salah satu misi undang-undang ini adalah meningkatkan nilai tambah minerba lewat kewajiban mengolah di dalam negeri atau hilirisasi. Pemerintah pun mengadopsi hal ini menjadi kebijakan pemerintah. Padahal jauh sebelum digaungkan sebagai kebijakan pemerintah pusat, PT Timah Tbk sejatinya sudah mengambil langkah hilirisasi. Pada 1998 PT Timah Tbk bergerak cepat dengan membentuk PT Timah Industri untuk mengolah timah mentah menjadi produk hilir.

Muara utama hilirisasi pertambangan termasuk di industri timah hanya dua yakni meningkatkan nilai tambah komoditas dan memperluas pasar produk turunan timah. Setelah di era-era sebelumnya hilirisasi ini hanya ‘sayup-sayup terdengar’, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kebijakan hilirisasi mineral, termasuk timah, dipercepat dan menjadi fokus utama untuk mentransformasikan ekonomi Indonesia.

Pergantian estafet kepemimpinan nasional dari Presiden Jokowi kepada Presiden Prabowo Subianto tak menjadikan kebijakan hilirisasi pertambangan menjadi kendor bahkan justru makin menguat. “Kita melihat hari ini perhatian negara terhadap pertambangan, khususnya terhadap timah sangat luar biasa. Negara memposisikan timah sebagai industri strategis,” tegas Sekretaris Perusahaan (Sekper) PT Timah Tbk Rendi Kurniawan terkait hal itu.

Dimulai dari Aktivitas Penambangan


Jejak panjang hilirisasi timah diawali dari penambangan bijih timah dari areal tambang. Pada tahap ini dilakukan eksplorasi untuk mengetahui potensi cadangan bijih timah dalam suatu tambang. Berikutnya dilakukan kegiatan penambangan yang terbagi menjadi dua metode: penambangan darat dan penambangan lepas pantai. Penambangan darat lazim dilakukan dengan tambang semprot dan alat berat untuk mengangkat lapisan tanah (pengerukan tanah).

Proses ini sangat bergantung pada ketersediaan dan pengelolaan air dalam jumlah besar. Dari penambangan ini nantinya akan menghasilkan bijih timah sebagai output utama. Sedangkan penambangan lepas pantai atau laut melibatkan Kapal Isap Pantai (KIP) dan juga mitra. “Sekitar 60% penambangan kita ada di laut, sedang sisanya 40% di darat,” sebut Rendi.


KIP adalah jenis kapal keruk atau dredger yang digunakan untuk menambang timah dari dasar laut atau sungai. KIP berfungsi menghisap material mentah (pasir timah) dari dasar laut, mengolahnya menjadi konsentrat timah di atas kapal, lalu memindahkannya. KIP dilengkapi dengan peralatan seperti cutter untuk memotong tanah bawah laut dan sistem pengolahan seperti jig untuk memisahkan timah dari material lain. PT Timah Tbk saat ini memili belasan KIP yang beroperasi di perairan Bangka Belitung. 

“Kalau berapa jumlah produksi di KIP ini tidak bisa diprediksi karena tergantung banyak faktor. Termasuk dalam hal ini kualitas bijih timahnya juga tidak bisa diprediksi berapa kadarnya. Mesin di sini harus hidup terus, kecuali kalau ada trobel,” tutur Abdul Salam, Masinis KIP 78 Timah, salah satu kapal KIP PT Timah yang melakukan proses penambangan di Laut Cupat, Pulau Bangka.

Menurut Abdul Salam, dalam proses penambangan, KIP 78 melakukan penggalian hingga sedalam kurang lebih 25 meter di bawah permukaan laut sehingga dapat menjangkau cadangan sisa dari kapal keruk. Penghisapan bijih diakukan menggunakan dredger untuk menghisap campuran sedimen dan bijih timah dari dasar laut.


Setelah dihisap ke atas kapal, sejurus kemudian campuran tersebut akan diolah di dalam fasilitas yang ada di kapal. Hasil olahan bijih timah kotor dari KIP 78 kemudian akan dipindahkan ke kapal tongkang untuk diangkut menuju lokasi pengolahan di Unit Metalurgi PT Timah Tbk Mentok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Perkiraan waktu perjalanan dari kapal KIP 78 di Laut Bangka ke unit Metalurgi Muntok bervariasi tergantung dari kecepatan kapal yang digunakan, tetapi kemungkinan akan memakan waktu beberapa jam hingga kurang dari satu hari.

Begitu sampai di Unit Metalurgi PT Timah Tbk Mentok, dilakukan tahap pencucian bijih timah (washing plant). Bijih timah yang sudah didapatkan dari area tambang kemudian dibawa ke dalam fasilitas pencucian. Pada tahap ini, dilakukan proses separasi fisik untuk memisahkan mineral timah dari material kotor, seperti pasir dan tanah. Tahap pencucian ini menggunakan prinsip perbedaan massa jenis, di mana timah yang lebih berat akan terpisah dari mineral lain yang lebih ringan. Hasilnya adalah konsentrat timah yang memiliki kadar logam timah (Sn) lebih tinggi dan siap untuk diproses ke tahap selanjutnya.

“Di sini mengolah biji timah dari tambang laut dan darat sebelum dikirim ke unit peleburan. Di bagian ini, bijih timah hasil tambang akan di upgrade kualitasnya. Artinya, ada proses pemisahan antara mineral timah dengan mineral lain yang ikut dari proses penambangan. Jadi biji timahnya diupgrade dari kadar lowgrade 20-30 persen menjadi 70 persen,” jelas Firdaus, Kepala Bidang pengolahan biji timah Unit Metalurgi PT Timah Tbk Mentok.


Firdaus menyebutkan, setelah pencucian, konsentrat timah perlu diproses ulang untuk meningkatkan kadar Sn-nya. Tahap ini disebut proses mineral dressing yang bertujuan menghilangkan unsur-unsur kotor, seperti besi, silika, atau bahan mineral lain. Dengan proses ini, konsentrat yang dihasilkan memiliki kadar timah minimal sekitar 40% Sn, yang sudah memenuhi syarat untuk masuk ke tahap peleburan.

Setelah diupgrade, dicuci dan dikeringkan, bijih timah kemudian masuk dalam proses peleburan (smelting). Proses peleburan dilakukan dengan mesin berteknologi modern Top Submerged Lance (TSL) Ausmelt Furnace.  TSL Ausmelt adalah teknologi peleburan terbaru milik PT Timah  yang mulai beroperasi pada 22 Desember 2022. TSL Ausmelt merupakan pabrik pengolahan bijih timah terbesar ke-5 di dunia yang merupakan bentuk transformasi dan inovasi teknologi pengolahan timah kadar rendah, menggantikan teknologi sebelumnya yaitu Reverberatory

TSL Ausmelt di Mentok mampu melebur konsentrat bijih timah, termasuk kadar rendah dan dari lapisan primary deposit, dengan kapasitas hingga 40.000 ton per tahun. Teknologi ini dipilih karena lebih efisien untuk pengolahan bijih timah kadar tinggi, sehingga dapat menjaga keberlanjutan produksi timah dan sesuai dengan pergeseran cadangan ke primary deposit.  Penggunaan TSL Ausmelt bertujuan untuk menjaga keberlanjutan produksi timah dan menjadi bagian dari transformasi teknologi pengolahan bijih timah.

TSL Ausmelt dioperasikan secara terintegrasi melalui room control dengan teknologi mutakhir. Hasil peleburan bijih timah menggunakan teknologi TSL Ausmelt kemudian ditransfer ke tungku pemurnian untuk menghasilkan timah murni (crude tin) dan selanjutnya dapat dicetak menjadi batangan timah (tin ingot) atau diolah lebih lanjut menjadi produk turunan seperti solder dan pelapis. Setelah melalui proses peleburan di TSL Ausmelt, timah cair (crude tin) akan dipindahkan ke tungku pemurnian untuk memisahkan kotoran dan meningkatkan kadar kemurniannya.


Setelah berkutat dalam proses peleburan, timah cair akan dimurnikan kembali supaya menjadi timah yang sepenuhnya murni. Dalam tahap ini, terdapat dua metode berupa crystallizer (metode pendinginan yang mengendapkan timah dalam bentuk kristal) dan electrolytic refining (proses yang memisahkan timah dari unsur kotor secara kimiawi). Hasil dari tahap pemurnian ini adalah timah murni berkualitas tinggi yang memiliki standar internasional.

Timah murni yang sudah jadi selanjutnya dapat dicetak dalam bentuk batangan timah (tin ingot) atau dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti tin solder, tin chemical, dan tin plate. Tin solder digunakan dalam industri elektronik dan otomotif untuk menyambungkan suatu komponen, tin chemical digunakan sebagai stabilisator dalam industri PVC, sedangkan tin plate dapat digunakan sebagai lapisan pelindung untuk kaleng makanan dan minuman. Produk timah di Unit Metalurgi Muntok punya tingkat kemurnian sebanyak 99%.

“Timah di sini tidak ada limbahnya. Yang ada adalah sisa-sisa produksi yang masih berpotensi secara ekonomis, misalnya logam tanah jarang. Bagi PT Timah ke depan tantangannya adalah hilirisasi dari material material ikutan seperti logam tanah  jarang ini, “tutur Wakil Kepala Unit Metalurgi Muntok, Kopdi Kardi Saragih.

Hilirisasi Produk Bernilai Tambah di Cilegon

Setelah semua proses pengolahan, peleburan dan pemurnian timah selesai di Pulau Bangka, logam timah murni kemudian dikirim menggunakan kapal menuju pabrik PT Timah Industri di Kota Cilegon, Provinsi Banten untuk proses hilirisasi berikutnya. PT Timah Industri merupakan anak perusahaan dari PT Timah Tbk, perusahaan induk utama di bidang pertambangan dan pengolahan timah di Indonesia yang berkantor pusat di Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung. PT Timah Industri Cilegon berada di dalam Kawasan Industri Krakatau Cilegon di Kecamatan Citangkil Kota Cilegon yang memiliki luas total 550 hektar dan menjadi lokasi bagi banyak perusahaan besar. 

PT Timah Industri didirikan sebagai entitas hilir (downstream) untuk mengolah produk turunan logam timah, seperti tin chemical dan tin solder, guna meningkatkan nilai tambah dari hasil tambang PT Timah Tbk. Sejak tahun 2013, PT Timah Industri membangun pabrik tin solder powder dua line di Cilegon.

Gerak cepat dilakukan PT Timah Industri yang didapuk melakukan hilirisasi produk. Memiliki tiga pabrik tin chemical dan satu pabrik tin solder sejak 2009, PT Timah Industri saat ini memproduksi Stannic Chloride (SnCl4) berkapasitas 3.000 ton dengan merek BANKASTANNIC dan Dimethyltin Dichloride (DMT) berkapasitas 8.000 ton dengan merek  BANKASTAB DMT Series. Anak usaha PT Timah Tbk itu juga memproduksi Methyltin Stabilizer (MTS) berkapasitas 10.000 ton dengan merek  BANKASTAB MT Series, dan tin solder berkapasitas 2.000 ton dengan merek BANKAESA.


Tin chemical adalah senyawa kimia yang dibuat dari timah (Sn) untuk berbagai kebutuhan industri seperti aditif pada plastik PVC dan bahan pelapis (coating). Senyawa ini digunakan untuk meningkatkan kualitas produk, melindungi dari korosi, dan memberikan stabilitas termal. 

Logam timah lalu diolah di pabrik kimia untuk menghasilkan produk seperti Stannic Chloride (SnCl4) (merek BANKASTANNIC),Dimethyltin Dichloride (DMT) (merek  BANKASTAB DMT Series), dan Methyltin Stabilizer (MTS). Produk ini digunakan sebagai bahan aditif tin stabilizer untuk industri seperti PVC (pembuatan pipa, profile, dan plastik transparan).

Logam timah juga diolah menjadi produk tin solder. Tin solder adalah paduan logam mudah meleleh, biasanya terdiri dari timah dan timbal, yang digunakan untuk menyambungkan dua atau lebih komponen logam. Produk ini digunakan dalam industri elektronik dan otomotif. Produk hilirisasi (tin chemical dan tin solder) kemudian siap diekspor ke pasar luar negeri seperti Amerika Serikat, India, China, Taiwan, dan negara-negara Eropa.

Direktur Utama (Dirut) PT Timah Industri Cilegon, Ria Wardhani Pawan menuturkan, perusahaannya sejauh ini memang tidak memiliki proses hilirisasi massif seperti di nikel dan tembaga. Produk-produk turunan timah secara persentase selama ini memang terhitung kecil tetapi hampir di semua produk ada kandungan timahnya.

“Secara teknis produk timah ada di banyak tempat, misalnya dalam produk PVC.  Secara persentase, tin stabilizer yang kita produksi hanya menyumbang 3% dalam seratus adonan PVC. Ini sangat kecil sekali, tapi kalau tidak ada kandungan timah, PVC-nya tidak jadi,”ujar Ria memberi gambaran betapa pentingnya produk timah.

Ria menambahkan, sebenarnya PT Timah Industri sudah masuk menjalankan hilirisasi logam timah sejak tahun 2010. Ria mengklaim bahwa PT Timah Industri sebagai prusahaan perintis yang kali pertama membangun industri tin stabilizer di Indonesia. Sebagai perintis produk-produk baru di industri timah, PT Timah Industri harus menghadapi banyak tantangan.

“Tantanganya banyak, utamanya adalah bagaimana memasarkan produk karena harus bersaing dengan produk lain dari perusahaan negara lain. Tapi alhamdulilah selama ini kami memiliki tim SDM yang perlahan akhirnya bisa menguasai teknologi pembuatan tin stabilizer dan ini menjadi salah satu kekuatan kami untuk terus berinovasi menemukan produk-produk turunan dari logam timah yang dipasarkan dengan nilai tambah lebih baik,”ujarnya.

Sekretaris Perusahaan PT Timah Tbk, Rendi Kurniawan menimpali, proses produksi logam timah yang dilakukan pihaknya selama ini sebenarnya sudah merupakan bagian dari hilirisasi. Jadi kalau sekarang program hilirisasi massif menyasar dunia pertambangan, hal itu sebenarnya bukan hal baru karena sudah berjalan di PT Timah Tbk jauh sebelumnya. Menurut Rendi, produk hilirisasi PT Timah itu selama ini ada di PT Timah Industri Cilegon baik dari tin solder dan tin chemical serta sejumlah varian produk turunannya.

“Itu sebenarnya bagian dari hilirisasi yang kami lakukan sejak tahun 2010. Jadi kalau bicara komoditas timah, sebenarnya PT timah sudah jauh lebih lama dalam melakukan hilirisasi namun memang secara market kami juga melihat kebutuhan dominannya. Mayoritas produk kita saat ini kebutuhannya memang untuk ekspor sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 7-10%,” ujarnya.

Rendi mengatakan, bicara hilirisasi timah, sebenarnya hal itu tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan pasar. Dia mencontohkan, saat ini perusahaan sedang fokus di tin solder karena memang ada kebutuhan pasar. Jadi di hilirisasi produk timah, domain terbesarnya saat ini adalah tin solder.

“Tin solder seperti apa yang dibutuhkan? Jadi kebutuhan bentuk produknya itu kita selalu sesuaikan dengan permintaan pasar seperti apa. Sedangkan untuk tin chemical saat ini memang pasar ke luar kita itu masih kecil terhadap kebutuhan tin chemical dunia. Jadi tantangannya kedepan adalah bagaimana kita bisa memperluas marketnya untuk tin chemical,” bebernya.

Rendi menyebutkan, saat ini pihaknya juga sedang melakukan langkah-langkah untuk memperbesar pasar dalam negeri. Hanya saja memang hal itu sangat tergantung dari permintaan (demand) yang ada dan juga regulasi. “Soal pasar bicaranya tentu terkait supply dan demand ya. Kalau soal supply tentu kita siap asal ada demand dan industrinya tumbuh. Kalau itu terjadi, kita pasti akan mampu melakukan supply pasar dalam negeri,” tambahnya.

Kedepan, lanjut Ria, perusahaan memiliki sejumlah tantangan besar dalam mensukseskan program hilirisasi di antaranya soal teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Terkait teknologi, PT Timah Industri diharapkan segera menemukan teknologi tepat guna yang cocok diterapkan dalam proses produksi. Kemudian tantangan yang kedua adalah soal kemampuan tenaga kerja dalam penguasaan teknologi. “Tentunya penguasaan teknologi ini juga harus disesuaikan dengan kemampuan perusahaan dan kebutuhan pasar,” tambahnya.


Disinggung penerapan paradigma ESG (Environmental, Social, and Governance) dan aspek keberlanjutan di PT Timah Industri, Ria menyebutkan hal itu sudah dijalankan pabriknya di Cilegon. Menurut Ria, prinsipnya perusahaan berusaha menyeimbangkan antara kepentingan bisnis dan kepentingan sosial/lingkungan. “Kami memastikan keduanya harus berjalan beriringan,” tandasnya. ESG merupakan tiga pilar utama yang digunakan untuk mengukur keberlanjutan dan dampak etis dari suatu investasi atau kegiatan bisnis, termasuk di sektor pertambangan.

Soal komitmen menjaga lingkungan, sejauh ini PT Timah Industri akan selalu menaati dan tunduk pada regulasi yang ada. “Misalnya soal aturan buangan dari pabrik baik dari cerobong maupun limbah, selama ini kami selalu patuhi sebaik mungkin dan kami jaga. Kami menyadari proses produksi kita berkaitan dengan bahan-bahan kimia yang cukup berbahaya, karena itu karyawan juga kami lindungi dengan penggunaan APD, maintanace peralatan pabrik secara rutin juga kita lakukan,” tukas Ria.

Rendi mengamini apa yang diungkapkan Ria terkait kepatuhan pihak perusahaan dalam mengimplementasikan ESG dan aspek keberlanjutan. “Kita hari ini sangat fokus pada regulasi yakni memenuhi kompetensi untuk ESG. Kita kemarin-kemarin juga melakukan assesmen kembali dalam beberapa tahapan produksi kita. Untuk penggunaan energi berkelanjutan, kita sudah coba di beberapa tempat dengan penggunaan PLTS di bangunan gedung, kemudian juga menggunakan bio solar di beberapa mesin operasi kita. Upaya-upaya itu adalah cara bagaimana kita bisa menurunkan emisi dalam proses produksi,”timpalnya.

Penggunaan PLTS dalam operasional perusahaan memang bukan sekadar wacana. Di PT Timah Industri Cilegon misalnya, perusahaan sudah sejak Juni 2025 memakai PLTS untuk kebutuhan energi di lingkungan pabrik. “Dari penggunaan PLTS ini kami bisa menurunkan biaya listrik hingga 10%. Selain itu kami berharap PLTS ini bisa menekan emisi karbon dan harapannya suatu saat nanti kita bisa menjual karbon,”sebut Ria.

Selain di pabrik PT Timah Industri Cilegon, penggunaan PLTS juga dilakukan pabrik PT Timah Tbk di Belitung. Menurut data PT Timah, PLTS terapung di Belitung ini terdiri dari 522 unit panel surya dengan kapasitas total daya sekitar 1.184 kilowatt-puncak (kWp) dan dapat menghasilkan energi sekitar 400 megawatt-jam (MWh) per tahun, serta dapat menurunkan emisi karbon hingga 300 ton CO₂ per tahun. “Ada juga di beberapa lokasi produksi, kita gunakan kolong (danau bekas pertambangan) untuk menjadi PLTS terapung,” tambah Rendi.

Selain penggunaan PLTS di sejumlah unit produksi, lanjut Rendi, pihaknya selama ini juga serius untuk meningkatkan pengunaan energi rendah emisi (energi hijau). Terkait hal itu perusahaan bahkan sudah mematok target terkait bagaimana cara menurunkan emisi di beberapa alat tambang.

“Contohnya penggunaan bio solar. Sebenarnya secara regulasi kita juga berusaha untuk menyesuaikan dengan apa yang diputuskan pemerintah terkait penggunaan bio solar maupun PLTS. Termasuk dalam hal ini hitung-hitunganya terkait berapa jumlah pengurangan emisinya jika kita gunakan bio solar dan PLTS. Berapa angka pastinya saya lupa, yang jelas hal itu selalu kita hitung karena harus dilaporkan rutin,” ujarnya.

Hidupkan Ekosistem Industri Produk Turunan Timah

Direktur PT Timah Industri, Andy Widiyanto menambahkan hal paling dibutuhkan untuk industri hilirisasi timah saat ini adalah peran dan keterlibatan pemerintah untuk menghidupkan industrinya. Andy mencontohkan pemerintah bisa membuat regulasi terkait pipa PVC (Polivinil Klorida) yang mewajibkan adanya kandungan timbal dalam industri solder.

“Kalau kita lihat industri solder misalnya, teknologinya makin kesini kebutuhannya makin banyak. Tapi ketika masuk ke Indonesia, soldernya itu udah nempel di vcd, sehingga nyampai di sini tinggal assembly saja. Ini yang masih perlu diperhatikan,”ujar Andy.

Andy menjelaskan, sebagai upaya untuk menghidupkan industri hilirisasi timah, salah satu yang juga bisa dilakukan adalah dengan memperkuat aturan soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDA) terkait komponen di dunia industri.


“Pemerintah saat ini kan sudah ada TKDA, tinggal kuatkan lagi saja aturannya antar kementerian yang ada. Misalnya dengan aturan yang mewajibkan industri dalam negeri menggunakan solder dalam negeri. Saya tidak tahu bagaimana teknisnya, intinya ada aturan yang mewajibkan penggunaan solder domestik untuk industri dalam negeri. Ya semacam regulasi mandatory. Dengan demikian industri solder akan tumbuh,” beber Andy.

Soal menghidupkan ekosistem industri timah, PT Timah Tbk punya cara tersendiri, salah satunya dengan memperluas keterlibatan masyarakat dalam kemitraan. Pola kemitraan itu selama ini sudah dilakukan di operasional perusahaan di penambangan darat maupun laut. Secara regulasi, adanya kemitraan dengan masyarakat itu sah dan diperbolehkan.

“Kenapa harus melibatkan masyarakat? Karena disitu ada peluang kita untuk memberikan informasi atau membantu masyarakat dalam menjalankan usahanya secara safety (aman) karena bagaimanapun dunia pertambangan itu resikonya cukup besar,” ujar Rendi.

Rendi menuturkan, pola kemitraan dengan masyarakat dalam hal penambangan timah sebenarkan merupakan upaya perusahaan untuk memasukkan masyarakat dalam ekosistem penambangan yang benar. Lewat kemitraan di penambangan perusahaan diharapkan juga bisa menjaga masyarakat untuk melakukan penambangan sesuai tata kelola.

“Saat ini kita berusaha melakukan transformasi pola kemitraan kita, salah satunya masyarakat bisa langsung berinteraksi dengan PT Timah. Per hari ini kita mendorong bagaimana koperasi mayarakat itu bisa menjadi wadah masyaraat yang bekerja di IUP wilayah PT Timah,” timpalnya.

Hingga September 2025, PT Timah telah memberdayakan 30 koperasi sebagai mitra pertambangan, yang terdiri dari 10 koperasi karyawan, 10 koperasi tambang, dan 10 koperasi nelayan. Sebanyak 10 mitra usaha penambangan terbaik mendapatkan penghargaan dari PT Timah atas kinerja produksi yang baik.

Rendi menambahkan sebagai perusahaan terbuka (Tbk) pada prinsipnya PT Timah Tbk akan patuh dan tunduk kepada regulasi yang ada. PT Timah selama ini selalu meminta dukungan dari kementrian teknis dan pihak terkait untuk bagaimana bisa melihat kembali aturan atau regulasi mengenai tata kelola industri timah yang ada.

“Karena bagaimana pun timah adalah mineral yang tidak terbaharukan. Kita melihat hari ini negara memposisikan timah sebagai industri strategis, karena strategis kita berharap ada pembaharuan terkait regulasi tata kelola timah,” harap Rendi.

Ria menimpali, pihaknya berharap dukungan pemerintah untuk bisa memperluas pasar dalam negeri. Terlebih saat ini secara nasional sudah ada regulasi soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang harapannya hal ini bisa ditingkatkan. “Sehingga pabrik-pabrik PMA yang masuk ke Indonesia dengan regulasi TKDA itu bisa mengambil produk-produk dari dalam negeri Indonesia dan tidak mengimpor dari negara asalnya,”ujarnya.

Ria menambahkan, kedepan pihaknya fokus pada produk-produk hilirsasi turunan produk timah yang selama ini belum bisa diproduksi di PT Timah Industri karena teknologi untuk memproduksinya saat ini di dunia belum ada atau masih minim. Selain melihat kebutuhan pasar, baik di luar maupun dalam negeri, untuk mengembangkan produk-produk baru kedepan PT Timah Industri juga akan melihat penggunaan teknologinya.

Suara positif atas hilirisasi pertambangan termasuk yang kini dilakukan PT Timah Tbk datang dari lembaga legislatif. Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya menilai kebijakan hilirisasi yang telah dijalankan saat ini bukan slogan kosong melainkan sudah dibuktikan dalam tindakan kongkrit sebagai wujud transformasi ekonomi nasional.

“Hilirisasi itu bukan sekadar wacana ya. Hilirisasi ini adalah bentuk dari transformasi ekonomi Indonesia, dari yang tadinya berbasis komoditas menjadi minimal pengolahan barang setengah jadi,” kata Bambang dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (19/10/2025).

Dalam pandangan Bambang, hilirisasi menjadi implementasi untuk mewujudkan Asta Cita kelima Presiden Prabowo Subianto, yakni melanjutkan hilirisasi dan melaksanakan industrialisasi untuk memperkuat ekonomi dalam negeri. Atas hal itu DPR akan terus berkomitmen mengawal pelaksanaan kebijakan tersebut secara kontinyu dan berkelanjutan.

Sedangkan pengamat energi Fahmy Fadhi mengatakan, hilirisasi memang proses yang wajib dilakukan oleh PT Timah Tbk saat ini. Hilirisasi itu konteksnya harus menghasilkan beragam nilai tambah khususnya dalam produk-produk turunan dari timah batangan (ingot). Selain nilai tambah, hal penting lain yang perlu dilakukan dalam hilirisasi timah adalah membangun ekosistem industrinya.

“Kita harus mendorong PT Timah untuk membuat pabrik baru untuk mengolah produk-produk turunan itu sehingga produk turunan itu bisa dimanfaatkan atau diserap oleh industri lain. Dengan demikian akan terbangun ekosistem hilirisasi dimana di situ juga akan membuka banyak lapangan kerja,” ujar Fahmi, Jumat (31/10).

Menurut Fahmi, proses hilirisasi yang dilakukan PT Timah Tbk tidak bisa dilakukan sendirian karena perlu dukungan pemerintah di dalamnya. Sejauh ini peran pemerintah dalam mengakselerasi hilirisasi dinilai belum maksimal. Dia mengusulkan selain segi regulasi, pemerintah hendaknya bisa membut road map/peta jalan terkait pengolahan produk-produk turunan timah.

“Jadi dalam road map itu harus ada di dalamnya bagaimana produk turunan yang dihasilkan itu bisa terkait atau nyambung dengan industri-industri lain sehingga dengan sendirinya akan terbangun ekosistem industrinya,”katanya

Fahmy menyebut, untuk menghidupkan ekosistem industri dari produk turunan timah tersebut memang tidak mudah. Selain perlu payung hukum berupa regulasi, pemerintah disarankan juga perlu memberikan insentif maupun kemudahan-kemudahan bagi investor yang akan berperan dalam ekosistem industri produk turunan timah tersebut.

“Berikan insentif kepada investor yang akan masuk. Misalnya pembebasan pajak impor dll. Dan paling penting insentif fiscal karena hal itu akan sangat membantu investor untuk menekan biaya produksi,” tambah dosen UGM ini. (Wahyono)

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment