- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
Hutan: Iklan dan Bacaan
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Hari Tani Nasional: 25 Ribu Petani Akan Turun ke Jalan, Tagih Reformasi Agraria0
- Menko AHY dan Bendungan Jatigede0
- Gerakan Koeksistensi Manusia-Gajah: Hari Gajah Sedunia 2025 di Distrik Tongod, Sabah0
- Kolaborasi YGSN dan BP Taskin Salurkan Bantuan Seragam hingga Bedah Rumah di Kuningan0
- Menyibak Wajah Arsitektur Pesantren Tradisional Indonesia Timur0
HUTAN itu iklan. Sejak puluhan tahun
lalu, pemerintah dan pelbagai pihak biasa membuat iklan mengandung pesan-pesan
ajakan melestarikan. Iklan-iklan bersekutu dengan buku-buku pelajaran. Pada
suatu masa, murid-murid paling ingat istilah “reboisasi” bila belajar tentang
hutan. Mereka pun pernah mendapat kesedihan gara-gara bencana dipengaruhi
“hutan gundul”. Pemahaman hutan sulit bertambah dan benar bila cuma mengikuti
iklan dan buku pelajaran.
Pidato-pidato menteri dan para pejabat pun susah memberi
kesadaran bermutu agar kita bertanggung jawab terhadap hutan. Acara-acara
diadakan oleh pemerintah justru tak menjamin keseriusan memuliakan hutan.
Indonesia masa Orde Baru bercerita hutan-hutan makin
berkurang digantikan perkebunan-perkebunan. Perubahan peran terus terjadi demi
raihan uang, bukan menghormati alam dan menjadikan peradaban hijau bertebaran
hikmah. Iklan dan buku pelajaran kadang mengelabui ketimbang memberi bekal
pertanggungjawaban sepanjang masa.
Di majalah Tempo, 16 Januari 1993, tersaji dua
halaman untuk iklan buatan Masyarakat Kehutanan Indonesia dan majalah Tempo.
Iklan berkalimat indah: “Hutan kita adalah rumah mereka, warisan ciptaan
kebesaran Tuhan.” Kalimat tak mudah dibuat saat biasa terjadi pembakaran hutan
atau alih fungsi hutan. Kalimat sangat sulit atau mustahil diwujudkan di
Indonesia. Kabar buruk mengenai hutan terus berdatangan. Pembuatan kabar baik
tak terdengar dan meragukan.
Satwa-satwa hidup di hutan. Mereka bertumbuh bersama pohon.
Kehidupan di hutan itu beragam. Bujukan baik disampaikan melalui iklan: “Dengan
melestarikan hutan, lestari pula makhluk-makhluk Tuhan. Dan lengkaplah
kemanusiaan kita. Untuk itulah kita menjaga keras sekitar 49 juta hektare hutan
untuk menjadi suaka para hewan.” Hutan sekadar kalimat-kalimat tercetak di
kertas?
Kita bertemu lagi iklan mewah dua halaman di majalah Tempo,
13 Februari 1993. Iklan dengan rupa dan kata berbeda. Kita melihat tangan
menanam pohon. Iklan berjudul: “Ditanam 9 miliar pohon baru.” Hutan berarti
khazanah tanaman. Ikhtiar diungkapkan dengan kalimat baik: “Dan saat ini kita
telah menanam 9 miliar pohon baru di hamparan lahan kita. Semua bermuara pada
tekad: hutan kita harus senantiasa hijau, bumi kita harus selalu biru.” Iklan
itu mirip impian, Jumlah pohon ditanam bikin terpukau. Apakah iklan membatalkan
dan meralat kerusakan atau kehancuran hutan di Indonesia selama Orde Baru?
Konon, nasib hutan ditentukan kekuasaan. Penentuan
memerlukan permainan modal dan kompensasi politik. Kita mengetahui nama-nama
pernah menjadi menteri mengurusi hutan dan lingkungan hidup tapi Indonesia
bukan negara “terbaik” untuk janji lestari dan hijau.
Pada masa sebelum Soeharto berkuasa, ada usaha pengajaran
hutan. Kita membuka buku berjudul Marilah ke Hutan (1962) susunan R
Supardi. Buku sederhana, dicetak dengan kertas buram atau murahan. Kita belajar
lagi mulai dari hal-hal pokok. Supardi menerangkan: “Jang biasa dinamakan hutan
jaitu tempat atau tanah jang bertumbuh-tumbuhan pohon-pohonan, kaju-kajuan atau
semak-semak, karena alam, jang tak teratur (liar) tumbuhnja dan merupakan
gerombolan hingga mempunjai lingkar jang luas. Hutan jang lebat dinamakan rimba
atau rimbu. Semua tumbuh-tumbuhan jang merupakan hutan adalah bertumbuh karena
kekuatan alam….” Keterangan masih panjang.
Kita merasa disadarkan dengan masalah-masalah hutan saat mau
membaca kepustakaan hutan. Kesadaran terganggu gara-gara mendapat berita atau
peredaran foto. Di situ, kita melihat menteri bertugas mengurusi hutan di suatu
negara tampak berkumpul bareng teman dan “orang tak dikenal”. Mereka tak berada
di hutan. Mereka tak terlihat sedang membaca buku atau rapat. Orang-orang itu
sedang bermain dan bercakap. Kita sulit memastikan mereka sedang membuat
percakapan bertema hutan.
Kita jangan mengimpikan menteri dan orang-orang
berkepentingan dengan hutan membuat foto-foto bertaraf iklan demi pelestarian
hutan. Pekerjaan menteri berat, sulit mencari waktu dalam membuat foto dan
tebar pesan melalui kata-kata indah. Menteri pun tak wajib sering masuk hutan.
Pada suatu hari, kita dapat meminjamkan buku berjudul Mari ke Hutan
kepada menteri dan teman-teman.
Buku lawas mungkin kurang menimbulkan ketertarikan dalam
belajar hutan. Kita sodorkan saja buku cerita anak. Greenpeace mengadakan buku
apik berjudul Kelana ke Hutan Raya. Cerita ditulis Titah Awa dan
ilustrasi dibuat Sekar Bestari. Buku bertema hutan, disajikan kepada anak-anak.
Pemenuhan kebutuhan cerita diharapkan menimbulkan janji melestarikan hutan di
Indonesia. Cerita mungkin berdampak besar ketimbang iklan-iklan boros anggaran
tapi klise.
Pengantar di buku cerita bergambar itu memicu sedih: “Hutan
adalah tempat terakhir di dunia di mana siklus kehidupan menunjukkan wujud
paling sempurna. Selain menjadi suaka bagi keanekaragaman hayati di dalamnya,
hutan yang lestari juga menjadi kunci keberlanjutan peradaban manusia.
Sayangnya, alih-alih menghargai kehidupan, korporasi yang ekspansif (terutama
sawit dan tambang) hanya mampu melihat kekayaan hutan ketika ia dirusak,
dikeruk, dan dimatikan.”
Anak-anak bila paham kalimat-kalimat berat itu bakal marah.
Mereka menangisi nasib hutan-hutan di Indonesia. Mereka belum perlu menentukan
sikap dan menuntut menteri saat berfoto bareng teman dan orang tak dikenal
membikin polemik dibalas klarifikasi dan permintaan maaf. Anak-anak
bertumbuhlah dengan cerita untuk memuliakan hutan, bukan sibuk mengikuti
acara-acara menteri bertugas mengurus hutan.
Konon, Nusantara itu hutan-hutan. Sejak ratusan tahun lalu,
para naturalis berdatangan dan mengukuhkan keilmuan di hutan-hutan. Mereka
menjelaskan dan mengisahkan dalam pelbagai bahasa untuk terbaca di dunia.
Pengisahan hutan-hutan pun diwariskan merujuk epos dan mitos-mitos.
Nusantara itu hutan pada masa lalu. Kini, kita sekadar
diminta mengetahui ada menteri kehutanan dalam kabinet. Masa lalu mengesahkan
“keharusan” menteri kehutanan itu bergengsi dalam sumpah kemuliaan Indonesia
dan keselamatan Bumi. Begitu.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

