- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
Menyibak Wajah Arsitektur Pesantren Tradisional Indonesia Timur
.jpg)
JAKARTA - Arsitektur pesantren
tradisional di Indonesia Timur menyimpan wajah khas yang berbeda dengan
gambaran umum pesantren di Jawa atau Sumatra. Di balik kesederhanaannya,
bangunan pesantren di kawasan ini merekam jejak panjang interaksi antara Islam,
budaya lokal, dan lingkungan alam.
Sebagian besar pesantren dibangun dengan memanfaatkan
material yang tersedia di sekitar, seperti kayu, bambu, dan atap rumbia.
Kesederhanaan itu bukan sekadar keterbatasan, melainkan wujud kearifan dalam
membaca situasi geografis sekaligus menjaga harmoni dengan alam.
Hal tersebut menjadi bahan diskusi dalam webinar tentang arsitektur pesantren tradisional Indonesia
Timur yang diselenggarakan Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan
Peradaban (PR KKP) BRIN, Rabu (17/9).
Baca Lainnya :
- Phantom Followers: Saat Angka Besar Tidak Menghasilkan Apa-Apa0
- Kecukupan Dalam Melihat Bukti 0
- Bedah Buku dan Film Merawat Harapan di Kampung Halaman0
- Masyarakat Adat Suka Menjaga Tradisi Menghadapi Perubahan Iklim0
- 6 Kontainer Keranjang Serat Alam Produk UMKM Kebumen Tembus Pasar New York 0
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR
Arbastra) BRIN, Herry Yogaswara menyoroti bahwa selama ini pesantren
tradisional cenderung berfokus pada Jawa. Membahas Indonesia Timur, menurutnya,
berarti menyingkap sisi yang kerap berada di luar arus utama.
“Diskusi ini berbasis riset, yang tidak hanya memperkaya
pengetahuan, tetapi juga bisa menginspirasi kajian serupa di masa depan.
Penelitian semacam ini bahkan dapat meluas ke lembaga keagamaan lain, misalnya
arsitektur gereja dengan inkulturasi budaya lokal, atau sekolah adat berbasis
agama lokal seperti Marapu di Sumba Timur,” ujarnya.
Satu hal yang ia cermati, benarkah arus utama itu selalu di
Jawa? Atau justru persepsi yang terbentuk selama ini yang membuatnya demikian?
Maka, baginya, dengan riset, peluang untuk menemukan variasi dan temuan baru
yang lebih kaya terbuka lebar.
“Diskusi seperti hari ini penting sebagai bagian dari upaya
memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan sejarah. Selain itu, saya ingin
menekankan pentingnya ekspedisi. Dari ekspedisi, kita mendapatkan data baru
yang bisa diperdalam melalui riset etnografis. Karena itu, saya berharap
webinar ini tidak hanya berhenti pada diskusi, melainkan juga menginspirasi
penelitian yang lebih intens dan mendalam,” pungkasnya.
Menambahkan itu, Wuri Handoko, Kepala Pusat Riset Khazanah
Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) BRIN menegaskan bahwa pusat risetnya
berkomitmen membangun ekosistem riset yang sistematis, berkerangka jelas, serta
menghasilkan narasi valid bagi masyarakat. Fokus lembaga ini bukan pada isu
konflik, melainkan pada nilai-nilai keagamaan sebagai warisan budaya, baik
kebendaan (tangible) maupun non-kebendaan (intangible).
“Arsitektur pesantren misalnya, bisa dilihat sebagai
bangunan fisik, namun yang kami gali adalah nilai simbolik di balik
kesederhanaannya: budaya, nilai sosial, sejarah, hingga filosofi lokal,”
jelasnya. (Sur/ed: And, mfs)
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

