- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Kesusastraan, Pahlawan, Kekuasaan
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga
Baca Lainnya :
- Schumpeter, Nobel Ekonomi 2025 dalam Novel 0
- Kita Adalah Jawaban dari Doa Kita Sendiri dan Orang Lain0
- Thomas Hiram Holding, Bapak Camping Dunia0
- SPM Jadi Kunci Peningkatan Layanan Dasar di Wilayah Timur0
- Menginap di Lebih 400 Hotel, Don Hasman Terkesan Sambutan Hangat Hotel Azza Palembang0
PADA setiap menjelang Hari Pahlawan,
tebakan nama terjadi berdasarkan beragam argumentasi. Nama-nama tokoh masa lalu
menjadi sumber perdebatan. Kesibukan berlangsung demi sejarah dan penetapan
pahlawan nasional. Jumlah pahlawan terus bertambah tapi ingatan kita tentang
nama-nama tak menguat. Kita mudah lupa atau gagal mengenali tokoh-tokoh sudah
ditetapkan sebagai pahlawan. Sekian nama pahlawan dijadikan nama jalan, gedung,
atau universitas kadang tak mengikutkan biografi atau penjelasan sejarah.
Murid-murid di sekolah bakal bingung bila mendapat soal
ujian dengan permintaan menjawab 20 nama pahlawan. Di universitas, pengetahuan
para mahasiswa menganai pahlawan biasa terkalahkan oleh nama-nama artis,
pengusaha, atau pemain bola. Kebiasaan pemerintah membuat peringatan Hari
Pahlawan dan mengumumkan nama-nama jarang berkesan atau menimbulkan makna-makna
lestari.
Publik kadang bergosip mengenai pahlawan merujuk profesi
atau pengabdian: militer, politik, dakwah, seni, dan lain-lain. Konon, jumlah
pahlawan berlatar militer sulit disaingi atau dilampaui. Pengenalan tokoh
sebagai pahlawan kadang membingungkan dalam menentukan jasa terbesar.
Pada 1928, terbit novel berjudul Salah Asoehan
gubahan Abdoel Moeis. Novel mendapat pelbagai tanggapan. Abdoel Moeis itu
pengarang tapi sibuk dalam pers dan pergerakan politik kebangsaan. Murid-murid
biasa mengingat Abdoel Moeis itu pengarang melalui buku pelajaran dan koleksi
novel Salah Asoehan di perpustakaan. Para mahasiswa dan peminat sejarah,
mengetahui si tokoh memiliki peran dalam perkembangan Sarekat Islam dan
pemajuan pers.
“Salah Asoehan gubahan Abdoel Moeis merupakan salah
satu ciptaan utama bukan hanya dari Angkatan Balai Pustaka saja, melainkan juga
dari sastra Indonesia secara keseluruhan,” pendapat Yamamato Haruki dalam buku
berjudul Gelora Menuju Indonesia Baru (2010). Novel memuat debat-debat
sengit, mengawali masa ramai dengan polemik panjang masa 1930-an dipicu oleh
Sutan Takdir Alisjahbana. Novel itu mendahului polemik menghadirkan esai-esai.
Abdoel Moeis mengajukan cerita tapi menguak perbedaan dan perkelahian paham di
tanah jajahan mengenai modernitas, pernikahan, pekerjaan, dan identitas.
Novel itu terbit berdekatan dengan penggarapan teks dalam
Kongres Pemuda II (1928) dinamakan Sumpah Pemuda. Abdoel Moeis bercerita pemuda
dalam pelbagai masalah pelik. Kita jarang menaruh dua teks itu bersama agar
terjadi pembacaan sastra dan sejarah. Yamamato Haruki mengusulkan: “Novel tak
cuma hendak dipertimbangkan dari segi kesusastraan secara sempit, melainkan
dari segi keberartiannya sebagai saksi zaman.”
Pada 1959, Soekarno menginginkan Indonesia memiliki sejarah
besar dan tokoh-tokoh panutan. Indonesia itu negara besar memerlukan para tokoh
disebut pahlawan untuk dihormati dengan beragam cara: dari upacara sampai
penulisan buku. Tokoh awal ditetapkan sebagai pahlawan: Abdoel Moeis
(1918-1959). Pada suatu masa, orang-orang memiliki pengertian: tokoh bisa
disebut pahlawan bila sudah mati.
Semula, orang-orang mengenali Abdoel Moeis itu pengarang.
Warisan terpenting berjudul Salah Asoehan. Pada masa kekuasaan Soekarno,
Abdoel Moeis itu pahlawan mengartikan memiliki peran atau jasa besar dalam
sejarah Indonesia. Di pengajaran sastra masa Orde Baru, guru dan murid belum
tentu mengetahui Abdoel Moeis itu pengarang. Mereka melulu mengingat sebagai
tokoh sastra. Kegagalan ingatan dan pemahaman itu disokong oleh gambar atau
foto pahlawan di dinding tak mengikutkan Abdoel Moeis.
Kondisi itu justru menimbulkan dampak unik. Pada masa Orde
Baru, ada celotehan agar orang bercita-cita menjadi tentara agar kelak disahkan
sebagai pahlawan. Ada lagi nasihat agar berkecimpung dalam politik. Sibuk di
politik menggampangkan penetapan pahlawan. Di sekolah, murid-murid jarang
bercita-cita menjadi pengarang bermisi menjadi pahlawan. Mereka mungkin tak
mengharuskan belajar sejarah telah memuat nama-nama pengarang diangkat menjadi
pahlawan. Mereka sekadar mengetahui M Yamin dan Amir Hamzah tangguh dalam
menggubah puisi.
Klaus H Schreiner (2005) mencatat kebijakan Soekarno dan
Soeharto berbeda dalam pengangkatan atau penetapan pahlawan. Soekarno dalam
babak awal dalam menunjukkan nama-nama menentukan sejarah Indonesia.
Argumentasi dalam pemilihan Abdoel Moeis dan tokoh-tokoh kadang samar. Peran
kaum militer mendapat pengistimewaan. Pada saat Soeharto berkuasa, jumlah
pahlawan terus bertambah dengan pembenahan definisi dan kategori.
Kebijakan penting dari masa Orde Baru: penulis buku biografi
(pahlawan). Kerja besar dimulai pada 1975. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menjadi penanggung jawab utama penulisan ratusan buku biografi.
Konon, penulisan buku tergesa demi ketersediaan bacaan di sekolah dan
universitas. Buku-buku mendapat stempel pemerintah berarti terlarang
diperdagangkan. Di luar pemerintah, penerbit-penerbit partikelir pun mengadakan
buku-buku biografi para tokoh. Terbitan mereka sering bermutu ketimbang edisi
buatan pemerintah.
Kita bisa membuktikan dengan buku biografi berjudul Abdul
Muis (1981). Buku tipis tak mencapai 100 halaman. Buku ditulis oleh Azmi.
Pihak pemerintah dalam pengantar menjelaskan: “Tujuan utama dari penulisan
biografi pahlawan nasional ini ialah membina persatuan dan kesatuan bangsa,
membangkitkan kebanggaan nasional, mengungkapkan nilai-nilai budaya bangsa, dan
melestarikan jiwa dan semangat kepahlawanan dalam kehidupan bangsa dan negara.”
Kalimat sangat resmi dan megah. Pembaca mungkin sulit paham dan patuh.
Pujian diberikan kepada Abdoel Moeis (Abdul Muis) berlatar
sejarah: “Abdul Muis telah berjuang dengan gigihnya membela nasib bangsanya
yang terjajah dan berusaha dengan gigih agar bangsanya mendapatkan kembali
hak-haknya dalam tingkat terakhir berbentuk kemerdekaan.” Kalimat diharapkan
dimengerti dan direnungkan oleh murid, guru, mahasiswa, dan dosen. Buku
berpenampilan sederhana dengan isi tak dijamin bermutu.
Kini, kita mengingat Abdoel Moeis itu pahlawan, tak sekadar
pengarang novel berjudul Salah Asoehan. Ia pun dijadikan sumber dalam
penetapan Hari Sastra Indonesia, berdasarkan kelahiran: 3 Juli 1918. Abdoel
Moeis itu tokoh istimewa bagi kita mengingat pemaknaan Hari Pahlawan dan
pemuliaan sastra. Kita cuma bersedih belum ada buku biografi tebal dan bermutu
untuk menghormati Abdoel Moeis. Nama itu memang teringat meski jumlah pembaca Salah
Asoehan sulit bertambah dan biografi terbitan pemerintah susah dijadikan
referensi utama dalam mengenali pengarang dan pahlawan. Begitu.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

