- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
KEHATI Rilis Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia
.jpg)
JAKARTA - Yayasan Keanekaragaman
Hayati Indonesia (KEHATI) meluncurkan Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati
Indonesia, Selasa (16/09/2025). Buku Putih Advokasi ini berisi refleksi
gerakan advokasi masyarakat sipil Indonesia di isu lingkungan hidup sekaligus
refleksi perjalanan panjang advokasi KEHATI bersama elemen masyarakat sipil
lain dan para mitranya dalam memperjuangkan kebijakan yang adil dan lestari.
Buku berjudul “Melawan
Ketidakseimbangan: Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia” ini
ditulis oleh Muhamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI. Dalam
buku ini terekam pelajaran berharga, tentang strategi, kegigihan, kisah
perjuangan, kolaborasi, keberhasilan, kegagalan, serta asa yang terus menyala
demi memperjuangkan kelestarian alam dan menjaga bumi bagi generasi mendatang.
Lebih dari sekadar buku, karya ini juga menjadi salah satu
medium dalam mendorong kesadaran publik agar terlibat dan berjuang bersama demi
membela keanekaragaman hayati. Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI Riki Frindos
mengatakan buku ini menyingkap kenyataan pahit yang perlu menjadi perhatian
kita bersama.
Baca Lainnya :
- Jalur Pendakian Gunung Bawakaraeng Kini Dilengkapi Musola, Toilet, dan Bank Sampah0
- Belantara Foundation Bersama Mitra dari Jepang Kembali Tanam Pohon di Riau0
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli0
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang0
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan0
Dalam 50 tahun terakhir, gas rumah kaca membanjiri atmosfer,
memicu perubahan iklim ekstrem, bencana alam kerap terjadi, dan ekosistem yang
menopang kehidupan mulai tergerus. “Di balik kemajuan ekonomi, ada jejak
pemanfaatan alam yang eksploitatif dan berlebihan, dan kita semua menjadi
penggerak utamanya. Indonesia juga menjadi salah satu negara yang tak luput
dari jejak eksploitatif tersebut,” Riki, dalam siaran persnya, 16 September
2025.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Mei 2023
mengungkapkan suhu rata-rata global pada 2011-2020 adalah 1,1 derajat celcius
lebih tinggi dari periode pra-industri. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) di
atmosfer juga melampaui 400 ppm (parts per million), melebihi ambang
batas aman 350 ppm. Dalam dua dekade terakhir, kenaikan rata-rata suhu di
Indonesia 0,9 derajat celcius, di atas rata-rata global.
“Selain kian mengancam keanekaragaman hayati Indonesia,
tingginya laju perubahan iklim ini juga semakin memperparah kerentanan
sosio-ekonomi dan menimbulkan tantangan bagi mata pencaharian yang penting,”
kata Riki.
Selama dua dekade terakhir, peristiwa hidrometeorologi juga
menyumbang lebih dari 75% bencana di Indonesia dan 60% kerusakan ekonomi. Pada
tahun-tahun mendatang, tren ini diperkirakan akan semakin meningkat.
The World Bank, 2021, menganalisis Indonesia sangat rentan
terhadap kenaikan muka air laut, dengan peringkat kelima tertinggi di dunia
dalam hal jumlah penduduk yang tinggal di pesisir dengan elevasi lebih rendah.
Tanpa adaptasi, total penduduk yang terancam terpapar banjir permanen bisa
mencapai 4,2 juta jiwa lebih pada 2.070–2.100.
World Bank juga memperkirakan 95% wilayah pesisir Jakarta
berpotensi tenggelam pada 2050. Indonesia juga sering mengalami bencana alam,
dengan total 3.622 bencana pada 2019.
Dalam 40 tahun terakhir, Indonesia kehilangan sekitar 33
juta hektare hutan, atau hampir 30% dari total kawasan hutan seluas 125 juta
hektare. Hutan primer yang tersisa hanya 47,2 juta hektar. Deforestasi tersebut
sebagian besar disebabkan oleh konversi lahan untuk ekspansi perkebunan sawit,
hutan tanaman industri, tambang, dan pembangunan infrastruktur lain.
Dalam kesempatan itu, penulis buku ini, Muhamad
Burhanudin, mengatakan kerusakan alam saat ini bukan semata akibat kelalaian,
tapi juga berakar pada desain politik pembangunan yang menempatkan ekologi
sebagai korban.
Regulasi seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba, pun
melemahkan perlindungan lingkungan demi kepentingan investasi jangka pendek.
“Kebijakan dibuat minim partisipasi publik yang memadai,
lebih didorong kepentingan oligarki dan korporasi, serta minimnya
akuntabilitas. Pembangunan berkelanjutan dan transisi hijau sering
menjadi tagline, tapi perlu komitmen keberlanjutan realisasi,”
katanya.
Oleh sebab itu, katanya, di sinilah advokasi masyarakat
sipil mengambil peran penting karena hadir sebagai jalan untuk “melawan
ketidakseimbangan” dalam proses pembuatan kebijakan publik.
“Sebagai pengawal keseimbangan dan sekaligus pengingat bahwa
pembangunan sejati tak bisa lepas dari keberlanjutan ekologi. Advokasi menjadi
suara bagi yang tak terdengar—alam, masyarakat adat, dan generasi masa depan,”
kata Muhamad.
|
Temuan
dan Upaya KEHATI |
|
Muhamad menegaskan bahwa peran masyarakat sipil vital dalam
mendorong kebijakan berbasis bukti, melindungi lingkungan, mencegah korupsi,
serta memastikan suara masyarakat lokal dan adat ikut didengar. Meski penuh
tantangan, gerakan ini adalah harapan bagi masa depan bumi.
“Advokasi harus berfungsi sebagai alat membangun
akuntabilitas dan transparansi. Advokasi organisasi sipil juga harus memperkuat
suara masyarakat lemah, dan memastikan mereka didengar,” katanya.
Sayangnya, advokasi bukan jalan mudah bagi para pembela
lingkungan, seperti aktivis, jurnalis, dan masyarakat adat, yang kerap
menghadapi represi. Walhi mencatat, 1.131 orang menjadi korban kekerasan dan
kriminalisasi karena membela lingkungan pada periode 2014-2024.
“Melawan ketidakseimbangan berarti menjaga bumi bagi
generasi mendatang. Jalan panjang advokasi ini adalah panggilan kita semua.
Semua pihak harus bergandengan tangan memastikan anak cucu kita mewarisi bumi
yang lestari, adil, dan layak huni untuk semua. Advokasi adalah jalan panjang,
namun bukan tidak mungkin.”
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

