- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Tim Peneliti UGM Temukan Tujuh Spesies Baru Lobster Air Tawar di Papua Barat
.jpg)
YOGYAKARTA - Peneliti dari Fakultas
Biologi Universitas Gadjah Mada kembali mencatatkan kontribusi penting dalam
eksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia. Dalam artikel berjudul “Seven
New Species of Crayfish of the Genus Cherax (Crustacea, Decapoda, Parastacidae)
from Western New Guinea, Indonesia” yang diterbitkan di jurnal Quartil
2 (Q2) Arthropoda, tim peneliti berhasil mengidentifikasi
tujuh spesies baru lobster air tawar genus Cherax dari wilayah
Papua Barat.
Penelitian ini dipublikasikan secara terbuka pada 6 Juni
2025 dan melibatkan kolaborasi antara UGM, peneliti independen dari Jerman,
serta lembaga riset di Berlin. “Papua adalah hotspot keanekaragaman
hayati yang masih menyimpan banyak misteri. Penemuan ini hanya sebagian kecil
dari potensi luar biasa yang belum tereksplorasi,” ungkap Dr. Rury
Eprilurahman, S.Si., M.Sc., dosen Fakultas Biologi UGM sekaligus penulis kedua
dalam publikasi ini, Kamis (19/6).
Rury menyebutkan ketujuh spesies tersebut, yakni Cherax
veritas, Cherax arguni, Cherax kaimana, Cherax
nigli, Cherax bomberai, Cherax farhadii, dan Cherax
doberai, ditemukan di sejumlah lokasi terpencil di Misool, Kaimana, Fakfak,
dan Teluk Bintuni. Semua wilayah ini dikenal sebagai daerah dengan ekosistem
air tawar yang masih relatif alami dan belum banyak terjamah aktivitas
eksploitasi.
Baca Lainnya :
- BRIN-UNISBA Riset Karakterisasi Sumber Daya Geologi dan Pemanfaatan Mineral Ikutan0
- BRIN - UNPAD Gagas Pusat Kolaborasi Riset Kelautan0
- BRIN Ungkap Proyeksi Angin Ekstrem di Jawa Timur, Tertinggi di Indonesia0
- Prediksi Perubahan Iklim Masa Depan Arus Lintas Indonesia, BRIN Gunakan Pendekatan Masa Lalu0
- Fasilitas Riset Lidar Tingkatkan Pemahaman Dinamika Cuaca dan Iklim di Khatulistiwa0
Proses identifikasinya dilakukan secara integratif,
menggabungkan pendekatan morfologi dan filogeni molekuler berbasis gen
mitokondria 16S dan COI. Pendekatan ini memastikan
hasil yang kuat secara ilmiah dan akurat dari sisi taksonomi. “Kami tidak hanya
melihat bentuk tubuh dan warna, tetapi juga membandingkan DNA-nya untuk
memastikan bahwa ini benar-benar spesies yang berbeda,” jelas Rury.
Menariknya, sebagian besar spesimen yang diteliti awalnya
berasal dari perdagangan akuarium hias internasional. Spesies-spesies ini
muncul dengan nama dagang seperti Cherax sp. “Red Cheek”, Cherax
sp. “Amethyst”, dan Cherax sp. “Peacock” sebelum
diidentifikasi secara ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan spesies
eksotik juga bisa membuka peluang riset keanekaragaman jika dikelola secara
kolaboratif dan etis.
Rury menegaskan pentingnya kerja sama antara peneliti dan
penghobi hewan air dalam mengungkap keanekaragaman spesies. Beberapa kolektor
lokal bahkan terlibat dalam pencarian spesimen di lapangan. “Komunitas pecinta
lobster hias justru sering menjadi sumber awal informasi kami, yang kemudian
kami tindak lanjuti dengan riset sistematis,” ujarnya.
Dari hasil analisis DNA dan morfologi, ketujuh spesies
tersebut tergolong dalam kelompok Cherax bagian utara (northern
lineage), yang sebelumnya telah mencakup 28 spesies dan kini bertambah
menjadi 35. Klasifikasi ini penting karena menunjukkan bahwa wilayah Papua
Barat merupakan pusat evolusi bagi kelompok ini, berbeda dari spesies yang ada
di Australia atau Papua Nugini.
Masing-masing spesies memiliki ciri khas, baik dari warna
tubuh, bentuk capit (chelae), maupun struktur rostrumnya. Ciri
morfologis ini menjadi petunjuk penting dalam membedakan spesies baru dari
kerabat dekatnya. “Misalnya Cherax arguni memiliki tubuh
dominan biru gelap dengan belang krem, serta capit dengan patch putih
transparan yang khas,” kata Rury sambil menunjukkan foto spesimen.
Hasil filogeni molekuler menunjukkan bahwa Cherax
arguni merupakan kerabat dekat Cherax bomberai, dengan
jarak genetik yang cukup signifikan untuk diklasifikasikan sebagai spesies
tersendiri. Analisis ini dilakukan dengan metode Bayesian dan Maximum
Likelihood menggunakan data DNA mitokondria. Penanda genetik ini menjadi
landasan utama dalam menentukan batas antarspesies secara objektif.
Temuan ini memperkuat pentingnya pendekatan genetik dalam
taksonomi modern, terutama di wilayah tropis yang biodiversitasnya sangat
tinggi. “Perbedaan pada sekuens DNA mitokondria bisa mencapai 11%, yang
menunjukkan adanya isolasi evolusioner yang cukup lama,” ujar Rury.
Penemuan ini sekaligus menunjukkan urgensi konservasi
spesies air tawar di Papua yang rentan terhadap eksploitasi dan degradasi
habitat. Menurut Rury, banyak dari spesies ini hidup di sungai kecil dan
anak-anak sungai yang belum banyak terpetakan secara ekologis. Beberapa di
antaranya bahkan baru diketahui dari satu titik lokasi, membuatnya sangat
rentan terhadap perubahan lingkungan sekecil apapun.
Lokasi asal spesimen tidak sepenuhnya diungkap dalam
publikasi demi menjaga kelestarian populasi alami. Ke depan, riset lanjutan dan
pemetaan sebaran spesies akan sangat diperlukan untuk mendukung kebijakan
konservasi yang berbasis data. “Kami harus menjaga keseimbangan antara
eksplorasi ilmiah dan perlindungan habitat, apalagi banyak dari spesies ini
hidup di wilayah yang mulai terjamah aktivitas manusia,” tambah Rury.
Publikasi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan ilmiah
tentang keanekaragaman fauna Indonesia, tetapi juga mempertegas posisi UGM
sebagai pusat unggulan riset hayati tropis. Terlibatnya Fakultas Biologi UGM
dalam proyek lintas negara ini menunjukkan kapasitas akademik yang berdaya
saing global.
Dengan publikasi di jurnal bereputasi tinggi, UGM
memperlihatkan komitmen terhadap riset yang berpihak pada pelestarian
lingkungan dan penguatan basis data biodiversitas nasional. Semangat ini
sejalan dengan misi UGM sebagai universitas kerakyatan yang menjunjung tinggi
nilai keberlanjutan. “Kami percaya bahwa sains yang kuat harus berakar pada
pemahaman lokal, demi masa depan yang lebih lestari,” pungkas Rury. (triya
andriyani)
