- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Mangrove: Benteng Pesisir dan Penyangga Iklim Indonesia
1.jpg)
Dolly Priatna
Pengajar Program Studi Manajemen Lingkungan Universitas Pakuan
Direktur Eksekutif Yayasan Belantara Foundation
PERINGATAN World
Mangrove Day 2025 dengan tema “Coastal Biodiversity & Climate Buffer”
menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali peran mangrove sebagai
benteng pesisir sekaligus penyimpan karbon biru. Indonesia, yang memiliki 3,36
juta hektare mangrove—terluas di dunia—memegang tanggung jawab besar dalam
melindungi ekosistem yang kaya keanekaragaman hayati ini.
Baca Lainnya :
- Menjaga Keabadian Kupu-Kupu melalui Ilmu Biosistematika0
- GAUL’S Sunter: Saat Saya Sadar, Pilah Sampah Bisa Jadi Awal Perubahan Besar0
- Masyarakat Adat Tabalsupa Tolak Pertambangan Nikel di Pegunungan Cykloop Papua0
- Belum Padam: Korban Kabut Asap di Sumsel Ajukan Banding ke Pengadilan Tinggi0
- Hari Populasi Dunia, Kampanye Tanam Pohon di Bedono Jadi Contoh Mitigasi Abrasi Pesisir0
Mangrove bukan sekadar tegakan pohon bakau di tepi pantai;
ekosistem ini merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan, udang, kepiting, burung
air, dan mamalia, serta sekaligus menjadi “nursery ground” atau tempat
pembesaran alami bagi berbagai jenis biota laut termasuk ikan-ikan yang
menopang kehidupan jutaan masyarakat pesisir. Secara ekologis, mangrove meredam
abrasi, menahan tsunami, menyaring polutan, dan menyerap karbon
signifikan—fungsi vital di tengah krisis iklim global.
Selama bertahun-tahun, perlindungan mangrove di Indonesia
berjalan melalui berbagai kebijakan seperti Perpres No. 73 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove dan Permenko Perekonomian No.
4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional.
Namun, kebijakan-kebijakan tersebut bersifat strategis dan
koordinatif tanpa panduan teknis yang mengikat. Fragmentasi kebijakan dan
tekanan pembangunan pesisir kerap memicu alih fungsi mangrove menjadi tambak
atau infrastruktur. Menjawab tantangan tersebut, pemerintah menghadirkan PP No.
27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove sebagai
regulasi payung pertama yang mengatur perlindungan dan pemulihan mangrove
secara terpadu—baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
PP yang disahkan pada 5 Juni 2025 ini memperkenalkan
terobosan penting: penetapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK)
berbasis sains, moratorium alih fungsi mangrove di area kritis, serta sanksi
administratif dan pidana bagi pelanggar. Lebih dari itu, regulasi ini mendorong
kolaborasi lintas sektor—pemerintah pusat, daerah, akademisi, swasta, dan
masyarakat lokal—agar pengelolaan mangrove berjalan konsisten dari perencanaan
hingga pemantauan.
Meski demikian, implementasi PP 27/2025 di lapangan tidak
lepas dari tantangan. Sejumlah kebijakan pemerintah lain masih berpotensi
menghambat pelaksanaannya karena adanya tujuan yang tumpang tindih antara
perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi. UU Cipta Kerja dan turunannya,
misalnya, memprioritaskan percepatan investasi di wilayah pesisir untuk proyek
akuakultur, pariwisata, dan infrastruktur, yang kadang mengesampingkan
perlindungan ekologis.
Program nasional seperti “Shrimp Estate” juga
mendorong ekspansi tambak ke wilayah pesisir yang kerap tumpang tindih dengan
ekosistem mangrove. Sementara itu, proyek energi dan infrastruktur skala besar
yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) memiliki proses
perizinan yang lebih cepat sehingga berpotensi melewati penilaian lingkungan
ketat. Ditambah lagi, program rehabilitasi mangrove yang dilaksanakan oleh
berbagai lembaga secara parsial sebelum PP 27/2025 menyebabkan ketidakterpaduan
metode restorasi, pemantauan, dan pelaporan.
Mengatasi tantangan tersebut membutuhkan harmonisasi
kebijakan dan penguatan koordinasi lintas sektor. Integrasi kawasan
perlindungan mangrove ke dalam RTRW serta penegakan NSPK baru akan membantu
menyelaraskan prioritas pembangunan dengan perlindungan ekologi.
Target perlindungan mangrove perlu dimasukkan ke dalam
penilaian Proyek Strategis Nasional, sementara masyarakat pesisir dan industri
lokal perlu didorong melalui insentif ekonomi seperti skema karbon biru,
pembayaran jasa ekosistem, serta pengembangan mata pencaharian berkelanjutan.
Dengan kebijakan yang terintegrasi, partisipasi masyarakat,
dan dukungan pendanaan inovatif, PP 27/2025 berpotensi menjadi tonggak penting
perlindungan mangrove Indonesia sekaligus memperkuat komitmen terhadap SDGs
serta “Global Target 30x30”, yaitu target ambisius yang bertujuan untuk
melindungi setidaknya 30% daratan dan lautan Bumi sebagai kawasan lindung pada
tahun 2030.
Fakta: Mangrove Indonesia & PP 27/2025
Mangrove Indonesia:
·
Luas mangrove: ±3,36 juta hektare (terluas di
dunia, ±20% mangrove global).
·
Menyimpan karbon biru ±950 ton/ha—penting untuk
mitigasi perubahan iklim.
·
Habitat bagi ±327 spesies fauna, termasuk ikan,
burung air migran, dan kepiting bakau.
Pokok Penting PP No. 27/2025:
·
Berlaku untuk mangrove di dalam dan di luar
kawasan hutan (APL/pesisir).
·
Menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria (NSPK) berbasis sains.
·
Moratorium alih fungsi lahan pada area mangrove
kritis.
·
Memperkuat pendataan nasional mangrove dan
mekanisme pemantauan terpadu.
·
Mendorong kolaborasi pemerintah, swasta,
akademisi, dan masyarakat lokal.
