Mangrove: Benteng Pesisir dan Penyangga Iklim Indonesia

By PorosBumi 27 Jul 2025, 06:56:33 WIB Tilikan
Mangrove: Benteng Pesisir dan Penyangga Iklim Indonesia

Dolly Priatna
Pengajar Program Studi Manajemen Lingkungan Universitas Pakuan
Direktur Eksekutif Yayasan Belantara Foundation


 PERINGATAN World Mangrove Day 2025 dengan tema “Coastal Biodiversity & Climate Buffer” menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali peran mangrove sebagai benteng pesisir sekaligus penyimpan karbon biru. Indonesia, yang memiliki 3,36 juta hektare mangrove—terluas di dunia—memegang tanggung jawab besar dalam melindungi ekosistem yang kaya keanekaragaman hayati ini.

Baca Lainnya :

Mangrove bukan sekadar tegakan pohon bakau di tepi pantai; ekosistem ini merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan, udang, kepiting, burung air, dan mamalia, serta sekaligus menjadi “nursery ground” atau tempat pembesaran alami bagi berbagai jenis biota laut termasuk ikan-ikan yang menopang kehidupan jutaan masyarakat pesisir. Secara ekologis, mangrove meredam abrasi, menahan tsunami, menyaring polutan, dan menyerap karbon signifikan—fungsi vital di tengah krisis iklim global.

Selama bertahun-tahun, perlindungan mangrove di Indonesia berjalan melalui berbagai kebijakan seperti Perpres No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove dan Permenko Perekonomian No. 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional.

Namun, kebijakan-kebijakan tersebut bersifat strategis dan koordinatif tanpa panduan teknis yang mengikat. Fragmentasi kebijakan dan tekanan pembangunan pesisir kerap memicu alih fungsi mangrove menjadi tambak atau infrastruktur. Menjawab tantangan tersebut, pemerintah menghadirkan PP No. 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove sebagai regulasi payung pertama yang mengatur perlindungan dan pemulihan mangrove secara terpadu—baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.

PP yang disahkan pada 5 Juni 2025 ini memperkenalkan terobosan penting: penetapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) berbasis sains, moratorium alih fungsi mangrove di area kritis, serta sanksi administratif dan pidana bagi pelanggar. Lebih dari itu, regulasi ini mendorong kolaborasi lintas sektor—pemerintah pusat, daerah, akademisi, swasta, dan masyarakat lokal—agar pengelolaan mangrove berjalan konsisten dari perencanaan hingga pemantauan.

Meski demikian, implementasi PP 27/2025 di lapangan tidak lepas dari tantangan. Sejumlah kebijakan pemerintah lain masih berpotensi menghambat pelaksanaannya karena adanya tujuan yang tumpang tindih antara perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi. UU Cipta Kerja dan turunannya, misalnya, memprioritaskan percepatan investasi di wilayah pesisir untuk proyek akuakultur, pariwisata, dan infrastruktur, yang kadang mengesampingkan perlindungan ekologis.

Program nasional seperti “Shrimp Estate” juga mendorong ekspansi tambak ke wilayah pesisir yang kerap tumpang tindih dengan ekosistem mangrove. Sementara itu, proyek energi dan infrastruktur skala besar yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) memiliki proses perizinan yang lebih cepat sehingga berpotensi melewati penilaian lingkungan ketat. Ditambah lagi, program rehabilitasi mangrove yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga secara parsial sebelum PP 27/2025 menyebabkan ketidakterpaduan metode restorasi, pemantauan, dan pelaporan.

Mengatasi tantangan tersebut membutuhkan harmonisasi kebijakan dan penguatan koordinasi lintas sektor. Integrasi kawasan perlindungan mangrove ke dalam RTRW serta penegakan NSPK baru akan membantu menyelaraskan prioritas pembangunan dengan perlindungan ekologi.

Target perlindungan mangrove perlu dimasukkan ke dalam penilaian Proyek Strategis Nasional, sementara masyarakat pesisir dan industri lokal perlu didorong melalui insentif ekonomi seperti skema karbon biru, pembayaran jasa ekosistem, serta pengembangan mata pencaharian berkelanjutan.

Dengan kebijakan yang terintegrasi, partisipasi masyarakat, dan dukungan pendanaan inovatif, PP 27/2025 berpotensi menjadi tonggak penting perlindungan mangrove Indonesia sekaligus memperkuat komitmen terhadap SDGs serta “Global Target 30x30”, yaitu target ambisius yang bertujuan untuk melindungi setidaknya 30% daratan dan lautan Bumi sebagai kawasan lindung pada tahun 2030.

 

Fakta: Mangrove Indonesia & PP 27/2025

Mangrove Indonesia:

·         Luas mangrove: ±3,36 juta hektare (terluas di dunia, ±20% mangrove global).

·         Menyimpan karbon biru ±950 ton/ha—penting untuk mitigasi perubahan iklim.

·         Habitat bagi ±327 spesies fauna, termasuk ikan, burung air migran, dan kepiting bakau.

Pokok Penting PP No. 27/2025:

·         Berlaku untuk mangrove di dalam dan di luar kawasan hutan (APL/pesisir).

·         Menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) berbasis sains.

·         Moratorium alih fungsi lahan pada area mangrove kritis.

·         Memperkuat pendataan nasional mangrove dan mekanisme pemantauan terpadu.

·         Mendorong kolaborasi pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat lokal.

 

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment