Kelezatan (Pengetahuan) Pangan

By PorosBumi 01 Mar 2025, 11:31:24 WIB Tilikan
Kelezatan (Pengetahuan) Pangan

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

HARI-hari berlalu, murid-murid membentuk biografi sebagai penikmat makanan cap pemerintah. Mereka mendapat suguhan makanan bergizi. Di piring atau wadah, murid-murid pernah melihat daun-daun. Mereka dianjurkan menikmati beragam daun. Pada saat makan, murid-murid mungkin sekadar berpikir lezat. Mereka belum memiliki kewajiban mengurusi nama dan asal.

Peristiwa ribuan atau jutaan murid makan dapat membujuk kita kembali membuka lembaran-lembaran sejarah Indonesia bersayur. Daun-daun itu biasa berarti sayuran. Daun-daun dalam pelbagai olahan dan tampilan. Di Indonesia, sayuran itu bukan sekadar santapan.

Pada masa lalu, sayuran berkaitan kedaulatan. Pada babak awal Indonesia bercerai dari kolonialisme, sayuran turut menjadi tema. Jutaan orang memang sedang kebingungan dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Revolusi biasa bercerita lapar dan prihatin. Indonesia sedang mengusahakan ketersediaan pangan. Sawah, kebun, atau ladang itu alamat agar revolusi berarti menumpas lapar. Indonesia belum kepikiran makmur.

Ingatan silam berhak diajarkan kepada para guru dan murid. Secuil pengetahuan agar melek Indonesia bersayur dalam arus revolusi. Pada 1947, Balai Pustaka menerbitkan buku berjudul Sajoer-Sajoeran Negeri Kita. Buku itu disalin oleh Nur Sutan Iskandar. Kita perhatikan tahun terbit buku dan kepentingan penerbit. Dua tahun setelah proklamasi, Indonesia memiliki tajuk revolusi dalam sayuran. Pengetahuan sayuran diajarkan melalui bacaan dan pengalaman atas tanah subur di Indonesia.

Sayuran tentu bukan berupa daun-daun saja. Di situ, ada penjelasan dan gambar-gambar mengajak pembaca mengenali beragam sayuran. Keterangan dicantumkan dalam buku: “Istimewa di Djawa Barat njata sekali anak negeri koerang soeka makan sajoer. Siapa jang djadi koerban hal itoe! Teroetama anak-anak ketjil! Padahal makan sajoer itoe besar paedahnja bagi memelihara kesehatan. Tetapi karena tidak tahoe, hal itoe diabaikan sadja. Sajoer tidak dimakan apabila tidak enak rasanja.” Kabar itu buruk. Indonesia ingin kuat. Anak-anak dianjurkan rajin makan sayuran. Tanggung jawab besar berada di keluarga dan sekolah.

Soekarno dan Hatta memang tak membuat teks berisi seruan menanam dan makan sayuran. Buku lawas itu sekadar mengingatkan Indonesia bukan negara sakit gara-gara bodoh dalam gizi atau abai sayuran. Indonesia justru “surga” sayuran meski belum mendapat pemaknaan terpenting saat revolusi. Di buku, kita membaca: “Hampir di mana-mana ada sajoer dan dapat ditanam dengan setjoekoepnja. Tambahan poela di Indonesia terlaloe amat banjak sajoer-sajoeran…” Kita mengerti sayur bisa ditanam di pekarangan. Keluarga-keluarga berakraban dengan sayur mulai dari rumah, sebelum mengerti perdagangan sayur di pasar atau warung.

Masa lalu Indonesia itu sayur. Sejak puluhan tahun lalu ajaran sayur turut membentuk (kemuliaan) Indonesia sebelum ada kebijakan fantastis: makan bergizi gratis. Murid-murid menikmati sayuran berhak mengetahui tempat dan cara mengurusi tanaman sayuran.

Kita membuka buku berjudul Kebun Sajur di Pekarangan Anda (1966) susunan Slamet Soeseno. Buku terbit setelah malapetaka 1965. Jutaan orang Indonesia merana akibat kisruh kekuasaan. Mereka membutuhkan pangan tapi kekacauan politik mengakibatkan kesulitan dalam pemenuhan pangan. Sayuran mendingan diadakan sendiri ketimbang selalu membeli demi kecukupan pangan bergizi dan penghematan.

Slamet Soeseno menerangkan: “Kalau mempunjai halaman disekitar rumah, kemudian mengusahakannja sebagai sumber bahan makanan untuk keperluan dapur sendiri sehari-hari, itulah jang kami maksud dengan berswasembada pangan.” Dulu, Soekarno pernah berseru agar orang-orang mengartikan pekarangan itu sumber pangan. Seruan itu berulang oleh Soeharto meski ia memiliki misi besar: swasembada beras. Slamet Soeseno memastikan swasembada sayuran itu penting.

Sayur itu hidup dan harga diri Indonesia. Sayur bermakna dalam sejarah revolusi Indonesia. Kita simak penjelasan Slamet Soeseno: “Ketika kita mendjalankan revolusi fisik melawan agresi Belanda tempo hari, kita djuga bisa bertahan sampai menang karena mendapat suplai makanan dari kaum tani kita di gunung-gunung. Sokoguru revolusi kita ini memang sudah berswasembada pangan sedjak dulu kala.”

Penjelasan itu bisa diterapkan lagi masa sekarang. Kebijakan makanan bergizi gratis disempurnakan anjuran bertema sayuran di pekarangan rumah atau lahan-lahan kosong dalam asuhan publik. Indonesia abad XXI tetap membutuhkan sayuran. Kita memiliki sumber pustaka berlimpah jika ingin mengadakan pengajaran sayur di seantero Indonesia. Guru dan murid menjadi sasaran terpenting dalam menumbuhkan pengetahuan sayuran. Mereka bakal memiliki keistimewaan imbuhan setelah berperan dalam adegan makan bergizi gratis.

Buku mutakhir itu berjudul Upaboga di Indonesia (2003) susunan Suryatini N Ganie. Ensiklopedia sederhana mudah dipelajari guru dan murid dalam selingan suguhan belasan mata pelajaran di sekolah. Kita membaca entri daun bawang: “Termasuk jenis sayur-sayuran untuk berbagai hidangan Barat atau Cina yang kini juga digunakan dalam masakan Indonesia.” Penjelasan mengenai bayam: “Jenis sayur-sayuran, dan karena yang dimakan adalah daunnya, maka harus dipetik pada waktu masih muda. Bayam dapat dimakan mentah sebagai lalap, dikukus, dan dibuat sayur. Daun bayam muda banyak mengandung vitamin A.”

Kini, kita menanti kebijakan pemerintah berlanjut dengan pengadaan pustaka pangan agar murid-murid turut merasakan “kelezatan” pengetahuan setelah menghabiskan menu di piring. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment