- Belantara Foundation Bersama Mitra dari Jepang Kembali Tanam Pohon di Riau
- Manfaatkan PLTS, Desa Energi Berdikari di Karawang Tingkatkan Ekonomi Petani
- Menkeu Terbitkan Aturan Penempatan Rp200 Triliun Uang Negara di Bank Umum Mitra
- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
FDKI Ajukan Lima Agenda Strategis Penyelenggaraan Kehutanan Indonesia dalam Revisi UU 41/1999
.jpg)
JAKARTA – Forum Dialog Konservasi
Indonesia (FDKI) mendorong lima agenda strategis tata kelola hutan Indonesia
dalam revisi UU 41/1999 tentang Kehutanan.
Lima agenda strategis ini diharapkan dapat menjadi awal perubahan paradigmatik
dan progresif dalam penyelenggaraan kehutanan yang selama ini jauh lebih
bernuansa produksi dan eksploitasi daripada perlindungan hutan sebagai
penyangga kehidupan.
Hal ini disampaikan oleh Manajer Kebijakan Lingkungan
Yayasan KEHATI Muhamad Burhanudin, yang mewakili FDKI dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU) di Komisi IV DPR RI tentang revisi UU
41/1999 tentang Kehutanan, Selasa (15/07/2025).
Dalam RDPU, Burhanudin menyampaikan hasil kajian FDKI
atas Matriks Uji Konsep Revisi UU Kehutanan DPR. Hasil kajian
tersebut merupakan rumusan dari serangkaian Focus Group Discussion (FGD) yang
diselenggarakan FDKI bersama sejumlah perwakilan Komisi IV DPR, berbagai pakar
hukum dan kehutanan dari UGM, UI, IPB University, Universitas Mataram,
Universitas Pattimura, organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan, serta
perwakilan masyarakat, antara Maret-Juli 2025.
Baca Lainnya :
- Banjir di Tengah Musim Kemarau: Bukti Krisis Iklim Semakin Nyata0
- Suntik Terus Tapi Tak Sembuh: Garuda Butuh Operasi, Bukan Obat Ringan0
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan0
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS0
- Penertiban Taman Nasional Tesso Nilo Harus Menyasar Pebisnis Besar Dahulu0
“Revisi UU Kehutanan tidak bisa sekadar menambal regulasi
lama. Kita membutuhkan perubahan paradigma, dari kuasa negara yang sentralistik
yang lebih mengutamakan eksploitasi untuk kepentingan produksi, menuju tata
kelola hutan berbasis hak masyarakat adat, prinsip keadilan ekologis, dan
integritas tata kelola,” tegas Burhanudin.
Kajian FDKI atas Matriks Uji Konsep Revisi UU Kehutanan
Komisi IV DPR, lanjut Burhanudin, menggarisbawahi lima agenda perubahan utama,
yaitu:
- Pengakuan
tegas atas hutan adat dan hak masyarakat adat
- Menetapkan
status hutan menjadi tiga: hutan negara, hutan hak, dan hutan adat,
selaras dengan Putusan MK 35/2012.
- Pengakuan
wilayah adat berbasis fakta sosial budaya, bukan administratif semata.
- Reklasifikasi
fungsi hutan: hutan permanen dan hutan dicadangkan
- Hutan
permanen ditetapkan secara sah, tidak dapat dikonversi, termasuk hutan
adat, kawasan konservasi, dan lindung.
- Hutan
dicadangkan adalah kawasan yang belum ditetapkan permanen, dapat
dialokasikan ulang secara adil dan partisipatif.
- Penetapan
ambang batas ekologis di setiap wilayah
- Ambang
batas minimum luas kawasan hutan minimal 30% dari luas daratan
provinsi—kecuali di pulau-pulau kecil (<2.000 km²), kawasan pesisir,
dan daerah aliran sungai (DAS) yang sebagian besar bahkan secara
keseluruhan—kawasan berhutannya harus dilindungi. Ambang batas ini
bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi, termasuk untuk kepentingan
proyek strategis negara (PSN).
- Reformasi
perizinan dan pencegahan korupsi
- Memperketat
perizinan kehutanan, wajib transparan dan partisipatif.
- Pencabutan
izin jika terbukti terjadi korupsi, pelanggaran ruang, atau konflik
dengan masyarakat adat atau lokal.
- Pemisahan
skema perizinan korporasi dengan perhutanan sosial.
- Penguatan
inventarisasi, data terbuka, dan partisipasi publik
- Inventarisasi
hutan wajib partisipatif dan melibatkan masyarakat lokal/adat.
- Data
kehutanan wajib diperbarui setiap tahun dan tersedia secara terbuka.
- Sanksi
administratif hingga pidana bagi instansi yang lalai memperbarui data.
Catatan Kritis terhadap DPR
FDKI juga menyoroti sejumlah kelemahan dalam draft uji
materi Revisi UU Kehutanan versi DPR. Salah satunya adalah narasi bahwa
“seluruh hutan dikuasai oleh negara” yang bertentangan dengan Putusan MK
35/2012. Selain itu, tidak ada pembatasan pelepasan kawasan hutan di wilayah
yang telah berada di bawah ambang batas ekologis. “Draf uji materi DPR juga
masih minim perlindungan hak masyarakat adat dan belum menjamin keterbukaan
informasi,” ungkap Difa Syafira dari ICEL, perwakilan FDKI lainnya.
Sementara itu, Ayut Enggeliah dari Sawit Watch menambahkan,
dengan 54% kawasan hutan Indonesia saat ini dialokasikan untuk fungsi produksi,
lanjut dia, revisi UU Kehutanan adalah momentum koreksi besar. “Tidak cukup
bicara konservasi secara normatif. Kita butuh hutan permanen yang dilindungi
tegas, pengakuan hak masyarakat adat yang nyata, dan perizinan yang bersih dari
korupsi,” lanjut Ayut.
Dalam RDPU, FDKI mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik
di parlemen maupun eksekutif, untuk melihat revisi UU Kehutanan sebagai langkah
strategis membangun masa depan Indonesia yang adil secara ekologis, menghormati
hak lokal dan adat, dan menjaga hutan sebagai penyangga kehidupan bangsa.
Tentang Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI)
FDKI merupakan sebuah forum dialog, kajian, dan advokasi
terhadap isu dan kebijakan di sektor lingkungan hidup di Indonesia. Forum
tersebut saat ini beranggotakan 11 organisasi masyarakat sipil (OMS) di
Indonesia yang berfokus pada isu sosial dan ekologi, antara lain: Sawit Watch,
Yayasan KEHATI, Garda Animalia, Penabulu-Oxfam, Perkumpulan HUMA, Indonesia
Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Oceans Justice Initiative
(IOJI), Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesia Parlimentary Centre (IPC),
Yayasan PILI, dan Sajogjo Institute.
