Beras!

By PorosBumi 31 Mei 2025, 06:37:54 WIB Tilikan
Beras!

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

PADA 27 Mei 2025, Emha Ainun Nadji bertambah tua. Di Jogjakarta, orang-orang membuat penghormatan dengan penerbitan buku. Kita pun bisa turut memberi pemaknaan tambah usia dengan membaca buku-buku lama Emha Ainun Nadjib. Sejak remaja, ia keranjingan membuat tulisan selain membuat percakapan dengan umat selama belasan tahun.

Buku kecil terbuka berjudul Cahaya Maha Cahaya (1991). Kita mengutip sedikit petuah dinamakan sajak: lahir dari tanah, menguning di sawah, menjadi/ beras di tampah, kemudian sebagai nasi memasuki/ tenggorokan hambamu yang gerah adalah cara/ paling mulia bagi padi untuk tiba kembali di/ pengakuanmu. Pembaca merenungi pangan. Di Indonesia, para leluhur telah mengajarkan padi, gabah, beras, dan nasi dalam geliat peradaban sekian abad.

Pada abad XX dan XXI, urusan pangan tetap terbesar untuk daulat manusia. Di keseharian, pangan termaknai melalui beragam peristiwa berpijak iman. Emha Ainun Nadjib bukan memberi pengertian beras bersaing dengan pemerintah sering “sembrono” dalam penjelasan dan pembuatan kebijakan pangan.

Pada masa Orde Baru, politisasi beras biasa dilakukan para pejabat. Konon, mereka bermain kata agar para petani sungkan mengeluh atau takut mengajukan protes. Soeharto mendapat pujian bertaraf internasional tapi beras justru tema paling pelik di Indonesia. Istilah swasembada mengikutkan masalah-masalah sulit dirampungkan pemerintah berakibat nelangsa kaum petani.

Di majalah Tempo, 18 Mei 1985, pembaca melihat garapan sampul depan menampilkan gambar dua petani bercaping. Tangan mereka memegang setangkai pagi mengisahkan panen. Di pengertian klise, panen padi memancarkan bahagia dan menebus segala lelah di bawah matahari. Pengertian itu diralat dalam alur kekuasaan Orde Baru. Judul dicantumkan: “Beras Melimpah Kok Petani Resah?”

Kondisi masa lalu: “Jalan sepanjang Desa Kedung Jaya, Kerawang, menampilkan pemandangan istimewa. Tumpukan gabah dalam jumlah mencolok mata kelihatan teronggok berderet memenuhi teras rumah-rumah pendidik. Sekali ini, selepas panen raya, petani di daerah lumbung padi di Jawa Barat itu tidak bisa sepenuhnya menikmati hasil panen. Agak di luar dugaan, tampaknya, banyak KUD enggan membeli gabah mereka.” Ingatan (pangan) Orde Baru memang KUD. Institusi itu (jarang) memberi bahagia.

Di laporan Tempo, kita menemukan penjelasan menteri: “Kami tidak pernah mengatakan ini tahun kualitas… Kami meminta petani untuk benar-benar menjaga kualitas dan jangan mengharapkan tahun ini Bulog memberikan toleransi. Ini semata-mata untuk menjamin kualitas beras.”

Pemerintah menghendaki beras berkualitas. Konon, kuantitas terabaikan dulu dan kesalahan ditanggungkan para petani. Kita bertambah ingat Orde Baru itu Bulog. Dulu, pemerintah sudah berseru mengenai kualitas dimulai dari benih. Murid-murid di sekolah dasar pun ingat masalah (benih) padi diajarkan di kelas dan dicantumkan dalam soal-soal ujian.

Beras bukan masalah terbesar muncul tiba-tiba dalam “orde” pembangunan nasional. Pada masa revolusi, Soekarno dipusingkan beras. Ia malu jika jutaan orang Indonesia kelaparan. Indonesia itu sawah. Indonesia diharuskan bergelimang beras. Di piring-piring, nasi disantap orang-orang demi memastikan revolusi, Segala impian pangan sangat sulit terwujud.

Ingatan terbaca dalam cerita. Tokoh bernama Fatimah datang ke toko berharap bisa berutang beras dua liter. Kejadian pada 1946. Beras dua liter dihargai enam rupiah. Fatimah tak memiliki uang. Keinginan berhutang ditolak pedagang. Nasib ditanggungkan Fatimah bersama suami dan anak memang berat. Mereka ingin rutin makan tapi kemustahilan. Pergi meninggalkan toko, jalan justru menjadi ajang penembakan oleh para serdadu mau mengganggu proklamasi dan revolusi. Beras terbaca dalam novel berjudul Djalan Tak Ada Udjung (1952) gubahan Mochtar Lubis.

Kita mengetahui beras dalam masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto belum memberi kebahagiaan. Babak setelah kejatuhan rezim Orde Baru, beras tetap masalah besar dengan bukti keberadaan pelbagai institusi pemerintah. Beragam kebijakan kadang tumpang-tindih atau membingungkan dalam misi keberlimpahan atau kecukupan pangan (beras).

Pada 2008, terbit buku berukuran besar dan berat berjudul Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan diadakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Di situ, ada keterangan Menteri Pertanian RI: “Departemen Pertanian senantiasa berupaya meningkatkan pendapatan petani padi melalui pelbagai strategi: subsidi harga pupuk, penyediaan fasilitas dan prasarana irigasi, penyediaan kredit usaha tani dengan pelbagai skema, penentuan harga dasar gabah, pengaturan impor dan ekspor, penyediaan teknologi maju, dan penyebarluasan informasi teknologi oleh penyuluh pertanian.” Kalimat itu biasa berulang oleh pejabat pada masa-masa berbeda. Publik menganggap kalimat-kalimat dari pemetintah itu indah.

Pengisahan beras di Indonesia masa lalu memberi sedih. Jepang pun sedang dilanda sedih gara-gara beras. Di Kompas, 20 Mei 2025, terbaca: “Lonjakan harga beras membuat dukungan ke pemerintah Jepang tinggal 27 persen. Warga Jepang tidak mau makan beras impor. Mereka mau beras dari sawah Jepang.” Warga marah dan menanggungkan sedih dalam usaha kecukupan beras. Situasi makin rumit saat menteri membuat lelucon murahan. Menteri itu bilang tak membeli beras tapi mendapatkan sebagai hadiah. Warga makin marah. Parlemen pun gerah. Menteri itu mundur sebagai pertanggungjawaban dan pemenuhan etika berpolitik.

Di Indonesia, beras memang masalah tapi tak sedramatis di Jepang. Indonesia terbiasa bermasalah dengan beras. Kebijakan-kebijakan diadakan demi “ketenangan” bersama meski beragam kecurangan berakibat menteri dan pejabat biasa berurusan di KPK atau menjadi sasaran kecaman publik. Pada abad XXI, Jepang memberi tanda seru mengenai beras saat Indonesia belum berhasil mencipta “firdaus”. Beras masih memicu keluhan panjang dan impian belum tentu indah. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment