- BRIN-UNISBA Riset Karakterisasi Sumber Daya Geologi dan Pemanfaatan Mineral Ikutan
- Mentan Ungkap Kejanggalan Data Beras di Cipinang, Diduga Permainan Mafia Pangan
- AHY Dorong UMKM di Indonesia Maju, Berkembang dan Mendunia
- Kisah Gayatri, Istri Raja Pertama Majapahit, Nenek Hayam Wuruk
- Ini Sejumlah Lokasi Berburu Matahari Terbit sambil Wisata Kuliner
- KKP Tangkap 2 Kapal Ikan Asal Malaysia di Selat Malaka
- Dari Pesisir Nusa Lembongan, PLN Bangun Kemandirian Ekonomi Melalui Rumput Laut
- Beras!
- BRIN Manfaatkan Drone LiDAR Pantau Keberhasilan Konservasi Hutan Mangrove
- Greenpeace Dukung Kongres Dunia Pertama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari Tiga Kawasan Hutan
Beras!

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- KKI Karangsambung Jadi Laboratorium Mahasiswa Universitas Jember Memahami Geodiversitas0
- Serapan Beras Lokal Periode Jan–Mei Tertinggi Selama 57 Tahun, Tembus 2,3 Juta Ton0
- Penemuan Roti Tertua Ini Mengubah Sejarah Pertanian0
- Om Lay, Volunteer Jakarta Kibarkan Bendera Putih, Pulang Kampung ke Ambon0
- Panen Perdana Sawah Wanam Merauke Buka Jalan Swasembada Pangan dari Papua0
PADA 27 Mei 2025, Emha Ainun Nadji
bertambah tua. Di Jogjakarta, orang-orang membuat penghormatan dengan
penerbitan buku. Kita pun bisa turut memberi pemaknaan tambah usia dengan
membaca buku-buku lama Emha Ainun Nadjib. Sejak remaja, ia keranjingan membuat tulisan
selain membuat percakapan dengan umat selama belasan tahun.
Buku kecil terbuka berjudul Cahaya Maha Cahaya (1991).
Kita mengutip sedikit petuah dinamakan sajak: lahir dari tanah, menguning di
sawah, menjadi/ beras di tampah, kemudian sebagai nasi memasuki/ tenggorokan
hambamu yang gerah adalah cara/ paling mulia bagi padi untuk tiba kembali di/
pengakuanmu. Pembaca merenungi pangan. Di Indonesia, para leluhur telah
mengajarkan padi, gabah, beras, dan nasi dalam geliat peradaban sekian abad.
Pada abad XX dan XXI, urusan pangan tetap terbesar untuk
daulat manusia. Di keseharian, pangan termaknai melalui beragam peristiwa
berpijak iman. Emha Ainun Nadjib bukan memberi pengertian beras bersaing dengan
pemerintah sering “sembrono” dalam penjelasan dan pembuatan kebijakan pangan.
Pada masa Orde Baru, politisasi beras biasa dilakukan para
pejabat. Konon, mereka bermain kata agar para petani sungkan mengeluh atau
takut mengajukan protes. Soeharto mendapat pujian bertaraf internasional tapi
beras justru tema paling pelik di Indonesia. Istilah swasembada mengikutkan
masalah-masalah sulit dirampungkan pemerintah berakibat nelangsa kaum petani.
Di majalah Tempo, 18 Mei 1985, pembaca melihat
garapan sampul depan menampilkan gambar dua petani bercaping. Tangan mereka
memegang setangkai pagi mengisahkan panen. Di pengertian klise, panen padi
memancarkan bahagia dan menebus segala lelah di bawah matahari. Pengertian itu
diralat dalam alur kekuasaan Orde Baru. Judul dicantumkan: “Beras Melimpah Kok
Petani Resah?”
Kondisi masa lalu: “Jalan sepanjang Desa Kedung Jaya,
Kerawang, menampilkan pemandangan istimewa. Tumpukan gabah dalam jumlah
mencolok mata kelihatan teronggok berderet memenuhi teras rumah-rumah pendidik.
Sekali ini, selepas panen raya, petani di daerah lumbung padi di Jawa Barat itu
tidak bisa sepenuhnya menikmati hasil panen. Agak di luar dugaan, tampaknya,
banyak KUD enggan membeli gabah mereka.” Ingatan (pangan) Orde Baru memang KUD.
Institusi itu (jarang) memberi bahagia.
Di laporan Tempo, kita menemukan penjelasan menteri:
“Kami tidak pernah mengatakan ini tahun kualitas… Kami meminta petani untuk
benar-benar menjaga kualitas dan jangan mengharapkan tahun ini Bulog memberikan
toleransi. Ini semata-mata untuk menjamin kualitas beras.”
Pemerintah menghendaki beras berkualitas. Konon, kuantitas
terabaikan dulu dan kesalahan ditanggungkan para petani. Kita bertambah ingat
Orde Baru itu Bulog. Dulu, pemerintah sudah berseru mengenai kualitas dimulai
dari benih. Murid-murid di sekolah dasar pun ingat masalah (benih) padi
diajarkan di kelas dan dicantumkan dalam soal-soal ujian.
Beras bukan masalah terbesar muncul tiba-tiba dalam “orde”
pembangunan nasional. Pada masa revolusi, Soekarno dipusingkan beras. Ia malu
jika jutaan orang Indonesia kelaparan. Indonesia itu sawah. Indonesia
diharuskan bergelimang beras. Di piring-piring, nasi disantap orang-orang demi
memastikan revolusi, Segala impian pangan sangat sulit terwujud.
Ingatan terbaca dalam cerita. Tokoh bernama Fatimah datang
ke toko berharap bisa berutang beras dua liter. Kejadian pada 1946. Beras dua
liter dihargai enam rupiah. Fatimah tak memiliki uang. Keinginan berhutang
ditolak pedagang. Nasib ditanggungkan Fatimah bersama suami dan anak memang
berat. Mereka ingin rutin makan tapi kemustahilan. Pergi meninggalkan toko,
jalan justru menjadi ajang penembakan oleh para serdadu mau mengganggu
proklamasi dan revolusi. Beras terbaca dalam novel berjudul Djalan Tak Ada
Udjung (1952) gubahan Mochtar Lubis.
Kita mengetahui beras dalam masa kekuasaan Soekarno dan
Soeharto belum memberi kebahagiaan. Babak setelah kejatuhan rezim Orde Baru,
beras tetap masalah besar dengan bukti keberadaan pelbagai institusi
pemerintah. Beragam kebijakan kadang tumpang-tindih atau membingungkan dalam
misi keberlimpahan atau kecukupan pangan (beras).
Pada 2008, terbit buku berukuran besar dan berat berjudul Padi:
Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan diadakan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Di situ, ada keterangan Menteri Pertanian RI:
“Departemen Pertanian senantiasa berupaya meningkatkan pendapatan petani padi
melalui pelbagai strategi: subsidi harga pupuk, penyediaan fasilitas dan prasarana
irigasi, penyediaan kredit usaha tani dengan pelbagai skema, penentuan harga
dasar gabah, pengaturan impor dan ekspor, penyediaan teknologi maju, dan
penyebarluasan informasi teknologi oleh penyuluh pertanian.” Kalimat itu biasa
berulang oleh pejabat pada masa-masa berbeda. Publik menganggap kalimat-kalimat
dari pemetintah itu indah.
Pengisahan beras di Indonesia masa lalu memberi sedih.
Jepang pun sedang dilanda sedih gara-gara beras. Di Kompas, 20 Mei 2025,
terbaca: “Lonjakan harga beras membuat dukungan ke pemerintah Jepang tinggal 27
persen. Warga Jepang tidak mau makan beras impor. Mereka mau beras dari sawah
Jepang.” Warga marah dan menanggungkan sedih dalam usaha kecukupan beras.
Situasi makin rumit saat menteri membuat lelucon murahan. Menteri itu bilang
tak membeli beras tapi mendapatkan sebagai hadiah. Warga makin marah. Parlemen
pun gerah. Menteri itu mundur sebagai pertanggungjawaban dan pemenuhan etika
berpolitik.
Di Indonesia, beras memang masalah tapi tak sedramatis di
Jepang. Indonesia terbiasa bermasalah dengan beras. Kebijakan-kebijakan
diadakan demi “ketenangan” bersama meski beragam kecurangan berakibat menteri
dan pejabat biasa berurusan di KPK atau menjadi sasaran kecaman publik. Pada
abad XXI, Jepang memberi tanda seru mengenai beras saat Indonesia belum
berhasil mencipta “firdaus”. Beras masih memicu keluhan panjang dan impian
belum tentu indah. Begitu.
