Air Hujan di Jakarta Tercemar Mikroplastik: PATANI DKI Gagas Kampung Patani Bebas Plastik

By PorosBumi 21 Okt 2025, 19:21:24 WIB Lingkungan
Air Hujan di Jakarta Tercemar Mikroplastik: PATANI DKI Gagas Kampung Patani Bebas Plastik

JAKARTA - Jakarta kembali menjadi sorotan publik setelah hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap bahwa air hujan di wilayah Ibu Kota telah tercemar mikroplastik. Temuan ini menunjukkan bahwa partikel plastik kini tidak hanya mencemari laut dan tanah, tetapi juga turun langsung dari langit bersama hujan.

Fenomena ini dengan cepat menjadi viral di media sosial, karena banyak warga terkejut mengetahui bahwa hujan yang selama ini dianggap “air bersih alami” ternyata membawa polusi mikroplastik. Menurut BRIN, partikel plastik itu bisa berasal dari pembakaran sampah, debu ban kendaraan, limbah pakaian sintetis, dan asap industri. Artinya, sampah plastik yang dibuang warga Jakarta akhirnya kembali lagi dalam bentuk lain — lewat udara dan hujan.

Menanggapi temuan ini, Jimmy Yang, Ketua Kantor Wilayah Pandu Tani Indonesia (PATANI) DKI Jakarta, menyebut bahwa kondisi ini adalah “alarm bahaya dari langit”. “Dulu kita percaya hujan itu membersihkan bumi. Sekarang, justru hujan membawa plastik turun dari langit. Ini peringatan keras bagi kita semua — pemerintah dan warga,” ujar Jimmy Yang di Jakarta.

Baca Lainnya :

Ia menegaskan bahwa persoalan mikroplastik bukan hanya urusan lingkungan, tapi juga menyangkut kesehatan manusia dan masa depan pangan perkotaan. “Air hujan ini bisa masuk ke tanah, diserap tanaman, dan akhirnya dikonsumsi manusia. Kalau tidak dikendalikan, Jakarta bisa jadi kota yang hidup di bawah hujan plastik,” tambahnya.

Sebagai gerakan sosial yang berfokus pada pertanian perkotaan dan keberlanjutan lingkungan, PATANI DKI Jakarta di bawah pimpinan Jimmy Yang kini sedang menyiapkan sejumlah langkah konkret dan strategis. Pertama, membentuk “Kampung PATANI Bebas Plastik” di beberapa kelurahan sebagai percontohan pertanian kota yang ramah lingkungan.

Kedua, melatih warga dan petani kota untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan mengganti dengan bahan alami. Ketiga, mengajak BRIN, Pemprov DKI, dan komunitas hijau bekerja sama dalam memantau kandungan mikroplastik di air hujan dan tanah. Keempat, menggelar kampanye publik “Plastik dari Langit”, agar warga memahami bahwa plastik yang dibuang sembarangan tidak hilang — ia hanya berubah bentuk dan kembali lewat udara.

“Kalau langit saja sudah kotor, artinya bumi sedang sakit. Jangan tunggu pemerintah bergerak dulu. Mulailah dari rumah kita sendiri. Kurangi plastik, pilih bahan alami, dan tanam lebih banyak pohon,” tegas Jimmy.

Diketahui, Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan sejak 2022 menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di ibu kota. Partikel-partikel plastik mikroskopis tersebut terbentuk dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia.

“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka,” jelas Reza saat diwawancarai di Jakarta, Kamis (17/10/2025).

Reza menjelaskan, mikroplastik yang ditemukan umumnya berbentuk serat sintetis dan fragmen kecil plastik, terutama polimer seperti poliester, nilon, polietilena, polipropilena, hingga polibutadiena dari ban kendaraan. Rata-rata, peneliti menemukan sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari pada sampel hujan di kawasan pesisir Jakarta.

Menurut Reza, fenomena ini terjadi karena siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer. Mikroplastik dapat terangkat ke udara melalui debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri, kemudian terbawa angin dan turun kembali bersama hujan. Proses ini dikenal dengan istilah atmospheric microplastic deposition.

“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” ujarnya.

Temuan ini menimbulkan kekhawatiran karena partikel mikroplastik berukuran sangat kecil, bahkan lebih halus dari debu biasa, sehingga dapat terhirup manusia atau masuk ke tubuh melalui air dan makanan. Plastik juga mengandung bahan aditif beracun seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat yang dapat lepas ke lingkungan ketika terurai menjadi partikel mikro atau nano. Di udara, partikel ini juga bisa mengikat polutan lain seperti hidrokarbon aromatik dari asap kendaraan.

“Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap polutan lain,” tegas Reza.

Meski penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan, studi global menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat menimbulkan dampak kesehatan serius, seperti stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan. Dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air permukaan dan laut, yang akhirnya masuk ke rantai makanan.

Reza menilai, gaya hidup urban modern menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya mikroplastik di atmosfer. Dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa dan kendaraan mencapai 20 juta unit, Jakarta menghasilkan limbah plastik dalam jumlah besar setiap hari. “Sampah plastik sekali pakai masih banyak, dan pengelolaannya belum ideal. Sebagian dibakar terbuka atau terbawa air hujan ke sungai,” katanya.

Untuk mengatasi persoalan ini, BRIN mendorong langkah konkret lintas sektor. Pertama, memperkuat riset dan pemantauan kualitas udara dan air hujan secara rutin di kota-kota besar. Kedua, memperbaiki pengelolaan limbah plastik di hulu, termasuk pengurangan plastik sekali pakai dan peningkatan fasilitas daur ulang. Ketiga, mendorong industri tekstil agar menerapkan sistem filtrasi pada mesin cuci guna menahan pelepasan serat sintetis.

Selain itu, edukasi publik menjadi kunci penting. Reza mengajak masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik, memilah sampah, dan tidak membakar limbah sembarangan. “Kesadaran masyarakat bisa menekan polusi mikroplastik secara signifikan,” ujarnya.

Menurutnya, hujan yang kini mengandung partikel plastik adalah refleksi dari perilaku manusia terhadap bumi. “Langit Jakarta sebenarnya sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya. Plastik yang kita buang sembarangan, asap yang kita biarkan mengepul, sampah yang kita bakar karena malas memilah semuanya kembali pada kita dalam bentuk yang lebih halus, lebih senyap, tapi jauh lebih berbahaya,” tutup Reza.

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment